Alat untuk Melakukan Kejahatan, Dirampas untuk Negara ataukah Dikembalikan Kepada Terpidana?

CONTRA LEGAM, Pembangkangan Praktik Penuntutan dan Praktik Kehakiman terhadap Norma Hukum Positif, yang Menjelma Kebiasaan Praktik Peradilan

Question: Barang yang dipakai oleh seorang terdakwa, bila terbukti sah dan meyakinkan bersalah sebagaimana didakwakan pihak jaksa penuntut umum dipersidangan, maka akan dirampas oleh negara dalam putusan hakim. Aturannya seperti itu, menurut hukum pidana. Namun mengapa masih banyak putusan pengadilan yang justru berkata lain?

Brief Answer: Itulah sebabnya, sarjana hukum yang selama ini lebih banyak mendalami preseden (praktik peradilan), memiliki opini hukum yang kerap bertolak-belakang dengan kalangan akademisi maupun sarjana hukum “Undang-Undang”. Contoh, dalam text-book, baik teori ilmu hukum maupun pasal peraturan perundang-undangan, disebutkan bahwa “hakim adalah corong undang-undang” (sekadar membunyikan apa yang diatur dalam undang-undang. Faktanya, “apa yang diucapkan oleh hakim sebagai amar putusannya, itulah hukum yang konkret, apapun bunyi undang-undang-nya”. Bahkan, Mahkamah Agung RI dalam putusan tingkat kasasi, kerap membuat distingsi antara “law in abstracto” dan “law in concreto”—sehingga memberi alibi (justifikasi terselubung) bagi Hakim Agung untuk memutus secara menyimpang dari Undang-Undang maupun dari putusan uji materiil Mahkamah Konstitusi RI.

Contoh lainnya ialah perihal “akta perdamaian yang disahkan dan dikukuhkan oleh hakim di persidangan (isitlah dalam praktik : “acta van dading”)—secara teori, “acta van dading” artinya akta perdamaian di luar pengadilan, sementara itu “acta van vergelijk” ialah akta perdamaian di dalam pengadilan—diklaim dapat dieksekusi seketika itu juga bilamana salah satu pihak ingkar-janji terhadap akta perdamaian yang mereka sepakati di pengadilan, karena seketika “inkracht” dan terdapat “title eksekutorial” (irah-irah). Itu benar hanya di lembar ujian pada perguruan tinggi hukum. Fakta di lapangan, berkata lain. Banyak teori hukum, yang tidak berangkat dari kenyataan alias “tidak membumi”, serta bisa sangat menyesatkan. Tidak terkecuali perihal alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan, tidak selalu “dirampas untuk negara”, sekalipun sang Terdakwa menjelma Terpidana.

PEMBAHASAN:

Kita buka dengan membahas pasal peraturan perundang-undangan, yakni Pasal 39 Ayat (1) KUHP: “Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.” Dapat, bermakna bisa dilakukan, namun juga bisa disimpangi—sehingga sifatnya iualah tentatif, bukan fakultatif-imperatif. Adapun perihal status barang sitaan, diatur secara eksplisit dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana:

(1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:

c. perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.”

Terdapat sebuah ilustrasi konkret yang dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk untuk memudahkan pemahaman perihal “hakim bukanlah corong Undang-Undang” (justru sebaliknya), sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana “pengrusakan” register Nomor 245 K/PID/2014 tanggal 2 April 2014, dimana Terdakwa didakwa karena dengan sengaja dan melawan hukum telah menghancurkan atau merusak membikin tidak dapat dipakai sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 406 ayat (1) KUHP.

Bermula ketika Terdakwa menagih hutang kepada ALAI, selanjutnya Terdakwa mendapat informasi bahwa ALAI sudah tidak tinggal lagi di daerah semula. Selanjutnya Terdakwa bersama dengan temannya pergi ke suatu tempat yang diyakini menjadi kediaman baru ALAI. Setelah tiba, saksi FAISAL menunjukkan rumahnya kepada Terdakwa. Selanjutnya Terdakwa bersama dengan rekannya sampai di dekat depan pintu rumah RUSDI, kemudian Terdakwa menabrak pintu rumah tersebut. Pada saat itu korban RUSDI sedang tidur di dalam rumahnya dan terbangun, selanjutnya korban RUSDI keluar rumah lalu membuka pintu dan melihat keberadaan Terdakwa bersama dengan rekannya.

Terdakwa lalu berkata kepada korban RUSDI “mana abangmu, mana adikmu (dengan nada kasar)”. Korban RUSDI melihat pintu rumahnya sudah rusak, lalu berkata, “kok arogan kali kau datang ke rumah orang, sampai pintu rumah aku rusak”. Dijawab Terdakwa : “aku tidak sengaja.” Selanjutnya Terdakwa bersama dengan rekannya pergi meninggalkan korban RUSDI dengan menggunakan sepeda motor Yamaha Jupiter MX warna merah BK-3534-YAO (hit and run). Akibat perbuatan Terdakwa, saksi Rusdi mengalami kerugian sebesar Rp2.000.000,00.

Yang menjadi tuntutan pihak Jaksa / Penuntut Umum, ialah menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan. Yang unik, dalam tuntutannya pihak Penuntut Umum meminta agar barang bukti berupa sepeda motor Yamaha warna Merah Maron Nomor Polisi BK-3534-YAQ, dikembalikan kepada pemiliknya yang berhak yaitu Terdakwa—sekalipun kendaraan tersebut yang digunakan oleh Terdakwa sebagai alat untuk melakukan delik pidana pengrusakan.

Yang kemudian putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat, sebagaimana register Nomor 859/Pid.B/2012/PN.RAP tanggal 29 Mei 2013, dengan amar sebagai berikut:

MENGADILI :

1. Menyatakan Terdakwa STEVEN HIE WIJAYA alias AHl, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pengrusakan”;

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan;

3. Memerintahkan Terdakwa ditahan dalam Rumah Tahanan Negara;

4. Menetapkan agar barang bukti berupa:

- 1 (satu) unit sepeda motor Yamaha warna merah Maron Nomor Polisi BK 3534 YAQ Nomor Rangka: MH355S001BK039806, Nomor Mesin 55S-040752, dikembalikan kepada pemiliknya yang berhak yaitu Terdakwa;”

Dalam tingkat banding, yang menjadi putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 359/PID/2013/PT-MDN. tanggal 29 Agustus 2013, dengan amar sebagai berikut:

MENGADILI :

- Menerima permintaan banding dari Jaksa / Penuntut Umum dan Penasehat Hukum Terdakwa tersebut;

- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat tanggal 29 Mei 2013, Nomor: 859/Pid.B/2012/PN-Rap, yang dimintakan banding tersebut;”

Pihak Terdakwa mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa pengadilan tidak mempertimbangkan dengan baik unsur “dengan sengaja” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 406 ayat (1) KUHP, tetapi menyimpulkan lewat asumsi bahwa tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa telah memenuhi unsur “dengan sengaja” sebagaimana diatur Pasal 406 Ayat (1) KUHP.

Unsur sengaja sebagaimana yang dijelaskan oleh Jan Remmelink dalam bukunya “HUKUM PIDANA : Komentar atas pasal-pasal penting dari KUHP Belanda dan pandangannya dalam KUHP Indonesia” menyebutkan dalam kesengajaan (dolus) terkandung elemen “diketahui dan dikehendaki” akibat dari suatu perbuatan pidana, dimana dijelaskan lebih lanjut tindakan dengan sengaja selalu dikehendaki dan disadari akibatnya. Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Rantau Prapat ada pula menyinggung perihal teori “dengan sengaja”, bahwa harus diartikan salah satu bentuk dari:

a. sengaja sebagai tujuan/maksud;

b. sengaja sebagai tujuan yang pasti sebagai keharusan; atau

c. sengaja sebagai kemungkinan akan timbul akibatnya.

Ketiga bentuk “sengaja” di atas di dalam praktek pengadilan dapat bersifat alternatif, dimana penerapannya kasuistik sesuai karakter suatu perkara. Akan tetapi, masalahnya, Majelis Hakim tidak merinci dengan jelas apakah tindakan yang dilakukan dengan sengaja oleh Terdakwa telah memenuhi kehendak dan pengetahuan dari unsur “dengan sengaja” ini. Majelis Hakim bersikap sumir, tidak merinci dari fakta hukum yang mana elemen kehendak dan pengetahuan tersebut telah terpenuhi dari perbuatan Terdakwa.

Majelis Hakim juga dinilai tidak menyebutkan bentuk sengaja yang mana dari ketiga bentuk “dengan sengaja” yang disebutkan diatas, yang terpenuhi dari tindakan yang dilakukan Terdakwa sehingga dapat dikatakan Terdakwa telah sengaja melakukan pengerusakan terhadap barang milik korban pelapor. Pihak Terdakwa mendalilkan,  Terdakwa mendatangi rumah korban karena Terdakwa hendak menagih hutang adik dari korban yang berada di rumah korban. Kondisi jalan menuju rumah korban kontrunya menurun dan licin oleh karena baru turun hujan, menjadi pemicu Terdakwa secara “tidak sengaja” menabrak pintu garasi rumah saksi korban oleh karena Terdakwa terpeleset saat hendak memasuki halaman rumah korban, sehingga Terdakwa terjatuh dan sepeda motor Terdakwa mengenai pintu garasi rumah korban.

Terdakwa mendalilkan pula, saat kejadian, Terdakwa juga telah “meminta maaf” kepada pihak korban, akan tetapi saksi korban tidak mengindahkannya—yang dibutuhkan korban ialah sikap bertanggung-jawab pelaku, yakni membayar ganti-kerugian, bukan “maaf”. Sebagaimana namanya, “MEMINTA maaf”. Maka bila “maaf” tidak diberikan, itu adalah hak prerogatif pihak yang diminta “maaf”. “Meminta maaf” bukanlah alasan pemaaf, baik secara pidana maupun secara perdata.

Terdakwa menambahkan, tindakan yang dilakukan Terdakwa bukanlah dengan sebab sengaja serta merta akan tetapi di luar kemampuan Terdakwa. Dengan adanya faktor kondisi jalan yang licin dan menurun menuju rumah korban, mengakibatkan pintu garasi rumah saksi korban mengalami sedikit penyok akibat Terdakwa terjatuh sewaktu menjalani jalan menuju rumah korban. Tidak terbukti adanya kesengajaan, maka Pasal 406 Ayat (1) KUHPidana menjadi tidak dapat diberlakukan terhadap Terdakwa.

Terdakwa mendalilkan pula, dalam hukum pidana dikenal dengan “teori kausalitas” yang menunjukkan hubungan sebab akibat dalam mewujudkan delik, namun pengadilan telah tidak mempertimbangkan bahwa tindakan yang dilakukan Terdakwa merupakan tindakan yang tidak sengaja, diluar kemampuan Terdakwa, oleh karena kondisi jalan yang menuju rumah korban yang licin akibat turun hujan, mengakibatkan Terdakwa tergelincir dan sepeda motor Terdakwa mengenai pintu garasi rumah korban. Pengadilan tidak mempertimbangkan serangkaian peristiwa yang melatar-belakangi kejadian tersebut. Pengadilan mengambil keputusan atas suatu perkara atas potongan-potongan suatu kejadian, tanpa melihat keseluruhan rangkaian peristiwa. terutama yang melatar-belakangi sekaligus menjadi sebab terjadinya suatu peristiwa.

Secara panjang-lebar Terdakwa membuat dalil dan berteori, namun tidak satupun baik eksplisit maupun implisit hendak bertanggung-jawab saat maupun sesudah kejadian. Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

“Bahwa alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi / Terdakwa tersebut tidak dapat dibenarkan oleh karena putusan Judex Facti / Pengadilan Tinggi yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri untuk keseluruhannya merupakan putusan yang mempertimbangkan secara tepat dan benar seluruh fakta hukum yang terungkap di persidangan dan relevan secara yuridis, sesuai dengan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan yaitu Terdakwa melakukan perbuatan menabrak dengan sepeda motornya terhadap pintu garasi rumah milik saksi korban Rusdi alias Apeng sehingga rusak, yang mana perbuatan tersebut termasuk lingkup tindak pidana “pengrusakan”, melanggar Pasal 406 ayat (1) KUHPidana, sesuai dakwaan Jaksa / Penuntut Umum, yang demikian pula secara cukup mempertimbangkan dasar alasan-alasan penjatuhan pidana berupa keadaan hal-hal yang memberatkan dan meringankan Terdakwa sehingga Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 3 (tiga) bulan;

“Bahwa lagi pula alasan-alasan kasasi tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, alasan semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, ...;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Terdakwa tersebut harus ditolak;

M E N G A D I L I :

- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Terdakwa: STEVEN HIE WIJAYA alias AHI tersebut;”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.