Penyerang yang Justru Teraniaya akibat Lawan yang Lebih Kuat dan Tangguh dalam Bela Diri

LEGAL OPINION

Mengancam Memukul artinya Meminta untuk Dianiaya-Balik, karena Korban Pengancaman Kekerasan Fisik Berhak untuk BELA DIRI dalam rangka MENJAGA DIRI (the Right to Fight Back)

Bela Diri adalah Hak Asasi Manusia, dan si Penyerang / Pengancam / Pengintimidasi Layak Babak-Belur akibat Serangan Balik Pihak Lawan yang Menggunakan Haknya untuk Bela Diri

Question: Sebenarnya menurut hukum pidana (di Indonesia), jika kita sekadar bela-diri, namun orang yang terlebih dahulu intimidasi dan mengancam akan menyakiti kita justru yang pada akhirnya babak-belur karena perlawanan kita yang (ternyata) lebih kuat dan lebih cepat dalam menghindar, menangkis serangan, serta menyerang balik pihak yang menyerang kita, maka apa yang hanya sekadar bela-diri justru bisa dipidanakan pada akhirnya (dengan ancaman pidana “penganiayaan”) semata karena yang babak-belur pada akhirnya ialah bukan kita, dimana bahkan kita yang sekadar bela-diri tidak terluka sama sekali dalam suatu pertarungan (di atas) jalanan demikian?

Ya lucu bila dinamakan bela-diri, sementara itu kita selaku warga harus membiarkan saja diri kita pasrah terluka bagai sasaran empuk karung samsak (sand sack) untuk ditinju pihak lawan atau jadi “wooden doll” untuk ditinju mereka dengan bodohnya berdiam diri tanpa berkelit maupun mengambil tindakan cepat secara darurat dan seketika ataupun karena faktor reflek karena telah terlatih untuk itu. Tidak ada juga jaminan, membiarkan diri dilukai terlebih dahulu lalu maka pihak berwajib akan menindak mereka ketika kita laporkan sebagaimana mestinya.

Jika ternyata polisi yang kita datangi untuk buat laporan, ternyata mengabaikan atau menelantarkan aduan kita selaku korban yang terluka, itu sama artinya terluka fisik dan hati, merugi dua kali. Lebih baik bela-diri dengan tidak membiarkan diri kita terluka. Daripada organ internal tubuh kita terluka dan sukar disembuhkan, lebih baik kita memilih untuk sigap melakukan bela-diri dengan pertahanan sekaligus serangan penuh dan membuat pihak yang melakukan “ancaman secara dekat” tersebut yang mengalami terluka terlebih dahulu.

Yang namanya seni bela-diri tentu tidak membiarkan diri kita terluka dan dilukai oleh pihak yang melakukan ancaman ataupun melakukan serangan namun berhasil dibuat gagal melukai kita oleh kita yang bisa jadi benar-benar berpotensi menjadi korban jika tidak melakukan bela-diri dalam keputusan yang harus cepat dibuat dalam kondisi tekanan batin yang hebat secara demikian dekat (ancaman yang ada dihadapi) bahkan pelaku yang terlebih dahulu menerjang atau yang mendekati kita dengan bahasa tubuh mengancam hendak menganiaya.

Semisal begini, pengandaian secara filosofis saja, seseorang dengan gilanya lari menerjang lalu menubrukkan tubuh dirinya sendiri ke arah sebuah tembok atau kepada sebuah mobil yang diparkir diam atau yang bergerak melintas dalam kecepatan tinggi. Jadilah, semata karena tembok dan bodi mobil lebih keras dan lebih kuat daripada tengkorak kepala maupun tulang manusia, orang gila tersebut babak-belur dengan remuk tulang-tulangnya disamping darah yang mengucur hebat. Bisakah, si orang gila ini mengklaim dirinya telah dianiaya oleh tembok itu atau oleh mobil yang diam diatas tempat parkir ataupun oleh mobil yang melaju diatas jalan dalam kecepatan tinggi itu?

Pertanyaan itu rasanya menjadi penting (bagi orang awam maupun bagi aparatur penegak hukum itu sendiri), karena membingungkan sekali kita sebagai warga, harus berbuat apa ketika sewaktu-waktu mendapati kenyataan adanya ancaman yang demikian dekat serta butuh respon segera, dan akan sangat “moral hazard” sekali bila ternyata hanya sekadar bela-diri pun masih harus juga dilarang oleh (hukum) negara (di Indonesia) bahkan bela-diri berujung dipidana penjara.

Brief Answer: Pernah benar-benar terjadi, pada suatu uji-tanding latihan seni bela diri, seseorang petarung memukul bagian perut petarung lainnya, namun dikarenakan saking kuat dan saking keras perut yang dimiliki pihak petarung lainnya yang dipukul tersebut, ternyata tulang tangan lengan si pemukul mengalami kerusakan karena tidak mampu menahan benturan tenaga sehingga tulang lengannya keluar dari daging dan kulit tangan, dimana perut petarung yang terkena pukul sama sekali tidak terluka akibat hantaman pukulan yang luar biasa keras demikian.

Akibat lawan yang (ternyata) lebih tangguh dan lebih kuat, si petarung yang menyerang sebagai konsekuensinya kemudian mengalami kerusakan pada diri dan tubuhnya sendiri—hendak melukai justru terluka sendiri, terluka akibat serta oleh niat buruk maupun oleh serangan sendiri. Lawan yang diserang yang ternyata lebih kuat serta mampu / sanggup melakukan “bela diri”, itulah yang disebut sebagai “serangan balik” itu sendiri, menjadi salah siapakah? Apakah itu artinya, terjadi penganiayaan di sini, dan pertanyaannya mungkin kita relevansikan secara lebih rasional ialah sebagai “siapa yang menganiaya siapa”?

Sebagai analogi sekaligus perbandingan, terdapat sebuah pengaturan dalam Hukum Perang Internasional, bahwasannya tidak penting pihak manakah atau siapakah yang terlebih dahulu terkena tembakan dan tewas karenanya, namun ketika suatu pasukan terlebih dahulu meletuskan senapan (ancaman / mengancam), terdapat korban terluka ataupun tidaknya akibat senapan yang diletuskan tersebut, maka melahirkan hak bagi pihak pasukan lawan untuk menembak dan menewaskan pasukan tersebut lengkap dengan para sekutunya, dalam rangka ‘bela diri”. Karena, pilhannya hanya ada dua, mereka atau kita yang akan mati tewas karena terkena tembakan. Terhadap kasus dimana pengancam yang terlebih dahulu menyerang yang justru kemudian tewas oleh serangan-balik pihak pasukan lawan, hukum perang international maupun mahkamah internasional tidak menjatuhkan hukuman bagi pihak pasukan yang melakukan “bela diri” demikian.

Begitupula ketika suatu kelompok atau pihak terlebih dahulu telah menghunuskan senjata tajam, maka pihak yang mendapat ancaman menderita luka fatal akibat serangan dengan disertai senjata tajam demikian maka menjadi berhak pula untuk turut menghunuskan senjata tajam miliknya dan melakukan serangan, yang karenanya tidak lagi menjadi relevan siapa yang kemudian terlebih dahulu terkena sabetan dan tusukan hingga menderita luka ataupun bahkan tewas dalam pertarungan.

Meminjam analogi hukum perang internasional (humanitarian law), menghunuskan senjata tajam, semisal dari sarungnya, sudah merupakan bentuk ancaman itu sendiri, sehingga melahirkan hak bela-diri bagi yang diancam tanpa harus menunggu terlebih dahulu terkena sabetan atau tusukan hingga tewas barulah dibolehkan untuk melakukan bela diri dan perlawanan (opsi yang “sudah terlambat”). Pilihannya pun hanya ada dua, yakni : terlebih dahulu terancam tewas akibat terkena tusukan senjata tajam milik lawan ataukah terlebih dahulu menewaskan lawannya yang melakukan ancaman, sehingga tidak lagi menjadi rasional bila harus terlebih dahulu terkena sabetan hingga tusukan pihak lawan yang bisa jadi mematikan adanya.

Sama halnya, dengan konstruksi berpikir senada di atas, ketika dua orang berikrar untuk saling berkelahi, maka ancaman penganiayaan terbit atau timbul sejak deklarasi untuk berkelahi demikian dikumandangkan atau diikrarkan (tiada pertarungan tanpa penganiayaan secara fisik, segala pertarungan bersifat “full body combat”, alias kekerasan fisik itu sendiri). Karenanya, menjadi salah petarung yang gagal untuk melakukan bela-diri dan gagal mengantisipasi dengan terlebih dahulu terkena hantaman “tinju” pihak lawannya pada saat hari-H pertarungan yang disepakati telah dimulai.

Prinsip deklarasi pertarungan demikianlah, yang kini dipakai atau diadopsi sebagai aturan main di atas ring tinju olahraga “western boxing”, Muaythai, maupun seni bela diri lainnya, dimana ketika ring-bel (ancaman) tanda pertarungan telah dimulai, maka petarung yang baik justru harus terlebih dahulu mampu memukul lawannya hingga “Knock Down”, dimana wasit dan juri tidak dapat menyalahkan petarung yang lebih dahulu berhasil mendaratkan pukulan kepada pihak lawan tandingnya hingga tersungkur (kecuali ring-bel tanda ronde pertarungan berakhir telah dibunyikan yang artinya “ancaman” telah berakhir atau dihentikan) bukan justru alih-alih menjadikan dirinya bagaikan boneka kayu yang diam saja dengan bodohnya menunggu dihajar bagai “sasaran empuk” maupun “mangsa empuk” hingga mengalami kerusakan.

Hukum negara yang baik, tidak menjadikan warganya pasif-pasrah tidak berdaya dengan bodohnya seperti demikian—kecuali sistem hukum pada suatu negara yang masih amat “primitif” paradigma berpikir ilmu hukum pidananya, salah satunya hukum pidana di Indonesia yang tidak mengakui peran penting konteks (serangkaian peristiwa yang utuh, bukan potret parsial) seperti latar-belakang yang melingkupi suatu peristiwa pukul-memukul dengan tidak mengakui dari pihak siapakah ancaman terlebih dahulu dilancarkan.

Prinsip utamanya ialah sebagaimana hukum yang berlaku pada aturan main di atas sebuah ring tinju, dimana ketika deklarasi antara para petarung telah dibuat sebagai duel antar petinju dimana masing-masing petarung telah mengetahui dan memahami siapa yang akan menjadi lawan mereka sehingga telah memiliki waktu untuk mempersiapkan diri serta mengantisipasi, dan ketika bel tanda ronde pertarungan tinju dibunyikan, maka masing-masing petinju memiliki hak untuk terlebih dahulu melancarkan serangan dan pukulan tanpa harus terlebih dahulu menunggu dipukul dan terkena serangan, terlepas dari serangan dan pukulan pihak manakah yang terlebih dahulu berinisiasi memulai serangan tersebut dilakukan dalam gerakan yang cekatan ataupun yang lambat saja sifatnya (sebagai pancingan), serangan ringan ataukah berat mematikan, ditangkis dan tertangkis, ataupun meleset gagal mengenai sasaran.

Menjadi sama halnya dengan pertarungan secara tangan kosong, masing-masing dari kita dan warganegara mana pun bukanlah serta tidaklah dapat dituntut oleh hukum negara untuk secara “konyol” dan “bodoh” bersikap pasif dan pasrah “defendless” menyerupai karung samsak (sand sack) untuk menjadi objek “sasaran empuk” pukulan tinju milik lawan, barulah melahirkan hak untuk membela-diri—karena adalah “sudah terlambat” bila terlebih dahulu babak-belur barulah diberi hak untuk membela diri, yang bisa jadi terjadi kerusakan permanen pada bola mata ataupun gigi yang tanggal ataupun pada kacamata yang dikenakan ketika telah menjadi korban penganiayaan yang tidak dapat dipulihkan sekalipun pelakunya kemudian dipidana penjara.

Yyang mana ironisnya, preseden yang ada pada praktik pengadilan di Indonesia memperlihatkan bahwa pelaku penganiayaan demikian hanya diganjar vonis hukuman yang ringan, beberapa bulan kurungan semata, jauh lebih menderita kerugian di pihak korban yang (berpotensi) harus mengalami kerusakan organ tubuh secara permanen, sehingga membela diri bukanlah sebuah opsi, namun seringkali menjadi suatu keharusan atas dasar insting gerak refleks ataupun bagian dari hak untuk “melawan atau lari” (meminjam ilmu “psikologi perilaku” yang paling mendasar, bilamana seseorang menghadapi sebuah faktor “ancaman” dari eksternal diri).

Karenanya, balik melawan serta membela diri, adalah hal yang alamiah dan dasariah saja sebagai bagian dari warisan evolusi nenek-moyang umat manusia yang tidak dapat direnggut oleh hukum suatu negara. Umat manusia justru bisa selamat dari seleksi alam, berkat watak alamiah tersebut, baik “lari” ataukah “melawan” (melakukan perlawanan sengit). Mencoba mencabut insting warisan evolusi manusia, dengan alasan dilarang oleh hukum suatu negara, sama artinya mengancam daya tahan manusia dari “ancaman” yang dibawa oleh “seleksi alam” itu sendiri—“seleksi alam” dalam konteks tersebut ialah “survival of the fittest” maupun untuk menghadapi kondisi “the strong prey the weak” (dimana si “lemah” pun perlu melakukan perlawanan sengit ketika si “kuat” hendak memangsanya).

Untuk beberapa petarung dengan kekuatan yang luar biasa besarnya, satu buah pukulan dengan “tangan kosong” sudah cukup mampu menumbangkan dan melumpuhkan lawannya, bahkan mematikan, sehingga “terkena satu pukulan darinya sudah terlampau banyak” serta “terlambat”, sehingga tiada jalan lain selain menghindari atau mengelak dari serangan dan jika perlu melakukan serangan secara lebih cepat agar pihak lawan tidak sempat melancarkan serangannya. Dalam persepektif Hukum Internasional, konsep demikian bukanlah gagasan baru, namun sudah lama dikenal dengan istilah “affirmative action” yang diakui sebagai hak untuk menyerang terlebih dahulu ketika ancaman terbit terlebih dahulu oleh pihak lawan.

Tujuan bela diri, sebagaimana namanya, ialah dalam rangka untuk tidak sampai terluka ataupun menderita sakit akibat ancaman pihak lawan yang dapat benar-benar secara mendadak dan tiba-tiba dalam tempo waktu yang sangat singkat menjelma serangan secara nyata dan konkret tepat di depan mata dalam kondisi yang demikian mendesak sekaligus menyesak (bilamana sikap tubuh lawan menjurus dan bertendensi demikian, sehingga “actus reus” [perbuatan lahiriah] berupa postur ancang-ancang ancaman untuk melancarkan serangan sudah menjadi cerminan “mens rea” [niat batin untuk menganiaya] itu sendiri), semisal membuat posisi postur tubuh sedemikian rupa seperti hendak siap untuk memukul atau menerjang mendekati sasarannya tatkala ikrar pertarungan telah dikumandangkan oleh para pihak sesaat sebelumnya.

PEMBAHASAN:

Daya Paksa dan Pembelaan Diri secara Terpaksa sebagai Alasan Penghapus Pidana, Terjadi akibat Keterpaksaan dalam Rangka Membela Diri (Overmacht).

Bagaikan aparatur penegak hukum yang tidak paham hukum yang akan mereka tegakkan, dimana kerapkali kalangan Kepolisian justru tidak mengakui ancaman kekerasan fisik melahirkan hak untuk membela dan mempertahankan diri, sekalipun doktrin hukum pidana telah lama menegaskan bahwa seseorang tidak dapat dihukum karena melakukan perbuatan “pembelaan darurat” untuk membela diri dari serangan atau ancaman yang melawan hukum, sebagaimana telah lama tertuang dan diakui oleh hukum lewat keberadaan pengaturan Pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang mengatur sebagai berikut:

1.) Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta Benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.

2.) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.

Sekalipun rumusan pasal dalam KUHP di atas telah demikian eksplisit menegaskan bahwa “ancaman serangan” melahirkan hak untuk “bela diri”, berdasarkan fakta di lapangan sebagaimana SHIETRA & PARTNERS jumpai pada kantor kepolisian di Indonesia, para aparatur penegak hukum (kepolisian) seolah-olah masih “buta hukum” (seolah-olah para anggota kepolisian kita “buta aksara” sekalipun pengaturan dalam KUHP telah demikian tegas dan eksplisit yang bahkan dapat dibaca dan mudah dipahami oleh orang awam sekalipun dalam satu kali membaca redaksi rumusan pasalnya) dengan memandang (secara menyimpang dari pasal KUHP) bahwa “ancaman penganiayaan tidak melahirkan hak untuk membela diri dan melakukan perlawanan”. Ironis, bagaimana mungkin aparatur penegak hukum yang justru “buta hukum” hendak menegakkan hukum?

Secara teoretis, rumusan Pasal 49 KUHP demikian mengatur mengenai perbuatan “pembelaan darurat” atau “pembelaan terpaksa” (noodweer) dalam rangka “bela diri” (sebagai “akibat”), karena dipicu adanya serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat (sebagai “sebab” yang mendahuluinya). Bila kita konsisten serta benar-benar menegakkan pasal di atas, maka (semestinya) seseorang warga yang sekadar melakukan pembelaan diri (secara darurat akibat adanya keadaan genting, dimana ancaman telah berada persis berada di “depan mata”), sebagai tidak dapat dihukum. Itulah yang secara doktrin ilmu hukum pidana di Indonesia, disebut sebagai suatu “faktor penghapus pidana” yang termasuk kedalam kategorisasi “alasan pembenar”, mengingat perbuatan pembelaan diri (secara) darurat demikian bukanlah sebentuk “perbuatan melawan hukum”—namun sebaliknya, justru dibolehkan dan dibenarkan oleh hukum itu sendiri, dimana hukum negara memberika hak bagi rakyatnya untuk secara proaktif dan secara berdaya untuk melakukan “pembelaan diri dari segala bentuk ancaman yang nyata demikian dekatnya”.

Terkait hak untuk “bela diri”, terdapat sebuah preseden yang sangat menarik untuk disimak, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat ilustrasi konkret sebagaimana putusan Pengadilan Tinggi Kupang perkara pidana register Nomor Nomor 60/Pid/2016/PT.KPG tanggal 18 Juli 2016, dimana atas tuntutan pidana dari Jaksa Penuntut Umum, pada mulanya Pengadilan Negeri Kefamenanu menjatuhkan putusan Nomor 16/Pid.B/2016/PN.Kfm., tanggal 8 Juni 2016, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa demikian pula dipersidangan terdakwa juga mengakui terus terang perbuatanya bahwa terdakwa merasa bersalah karena akibat emosi dan marah lalu terdakwa sudah membunuh korban Marselinus Lona Akot yang adalah kakak kandungnya sendiri dan terdakwa sangat menyesal atas perbuatannya tersebut oleh karena itu terdakwa bersumpah / berjanji untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya kelak dikemudian hari, sehingga dari uraian fakta persidangan dan pertimbangan diatas menurut hemat Ketua Majelis dan Hakim Anggota I mengenai lamanya pidana yang pantas dijatuhkan bagi terdakwa sesuai kadar kesalahannya akan dipertimbangkan sesuai dengan rasa keadilan sebagaimana nantinya disebutkan dalam amar putusan pidana di bawah ini;

“Menimbang, bahwa dalam persidangan Hakim Ketua Majelis dan Hakim Anggota I tidak menemukan hal-hal yang dapat menghapuskan pertanggung-jawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan atau alasan pemaaf, maka Terdakwa harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya;

“Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa mampu bertanggung jawab, maka harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana;

“Menimbang, bahwa dalam sidang permusyawaratan, tidak dapat dicapai mufakat bulat karena Hakim Anggota II berbeda pendapat dengan pertimbangan sebagai berikut:

PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION) HAKIM ANGGOTA II, I GEDE ADI MULIAWAN, S.H., M.Hum.

“Terhadap putusan tersebut Hakim Anggota II memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion), sebagai berikut:

“Bahwa selain mengenai : dakwaan yang telah didakwakan kepada Terdakwa terbukti, dan sepanjang mengenai alasan pemaaf sebagai alasan penghapus pidana, saya I GEDE ADI MULIAWAN, S.H., M.Hum., berpendapat sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa pada prinsipnya untuk mengatakan adanya suatu tindak pidana tidak terlepas dari suatu kesalahan (schuld), karena didalam ajaran hukum pidana dikenal dengan ajaran ‘geen straf zonder schuld’ atau ‘tidak ada pemidanaan tanpa kesalahan’, ...;

“Menimbang, bahwa dalam ajaran hukum pidana seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa seseorang barulah dapat dipindana karena adanya suatu ‘kesalahan (schuld)’. Metzger, menyatakan bahwa ‘kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya percelaan pribadi terhadap si pembuat tindak pidana’. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa didalam pertanggung-jawaban pidana semua alasan kesalahan tersebut harus dihubungkan dengan perbuatan pidana yang telah dilakukan sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa, maka terdakwa haruslah:

a. Melakukan perbuatan pidana;

b. Mampu bertanggung jawab;

c. Dengan kesengajaan atau kealpaan;

d. Tidak adanya alasan pemaaf atau alasan pembenar;

“... . Van Hamel mengatakan bahwa kemampuan bertanggung-jawab adalah keadaan normalitas kejiwaan dan kematangan yang membawa tiga kemampuan yaitu : a. Mengerti akibat atau nyata dari perbuatan itu sendiri, b. Menyadari bahwa perbuatannya tidak diperbolehkan oleh masyarakat, c. Mampu menentukan kehendak untuk berbuat.

[Note SHIETRA & PARTNERS : Dalam konteks “bela diri”, sebetulnya pelaku “bela diri” yang telah dipaksa serta terpaksa untuk melakukan perlawanan, yakni dipaksa oleh “pelaku pengancam”. Akal sehat serta daya pikir logis telah mampu menjelaskan itu tanpa membutuhkan teori apapun. Menjadi berbahaya, ketika ternyata aparatur penegak hukum justru gagal berpikir secara logis serta tidak mampu berpikir dengan akal sehat, namun secara dangkal menerapkan hukum dengan tidak mengindahkan rincian apa yang telah diatur dalam Undang-Undang itu sendiri, semisal menegasikan frasa “ancaman” dalam Pasal 49 KUHP di atas, sekalipun Undang-Undang telah tegas dan jelas mengatur dan mengakuinya.]

“Sedangkan menurut Memorie Van Toelichting, bahwa tidak mampu bertanggung-jawab pada pelaku tindak pidana apabila : a. Pelaku tidak diberi kebebasan untuk memilih antara berbuat atau tidak berbuat apa yang oleh undang-undang dilarang atau diharuskan, dengan perkataan lain dalam hal perbuatan yang terpaksa; b. Pelaku dalam keadaan tertentu sehingga ia tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan ia tidak mengerti akibat perbuatanya itu, dengan perkataan lain adanya keadaan psikologis seperti gila, sesat, dan sebgainya, didalam KUHP suatu “pembelaan terpaksa yang melampaui batas” (noodweer exces);

“Menimbang, bahwa dari doktrin hukum mengenai pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces) dikaitkan dengan fakta hukum yang terungkap dipersidangan, maka untuk itu Hakim Anggota II membentuk suatu konstruksi hukum atas syarat dari mengenai pembelaan terpaksa yang melampaui batas;

“Menimbang, bahwa adanya serangan atau ancaman yang melawan hukum, yang ditujukan pada tiga kepentingan hukum, yakni tubuh, kehormatan kesusilaan dan harta benda tidak terlepas dari pembelaan terpaksa (noodweer) sebagaimana telah terurai diatas yakni dalam hal ini haruslah pula adanya serangan atau ancaman yang melawan hukum, yang ditujukan pada tiga kepentingan hukum, yakni tubuh, kehormatan kesusilaan dan harta benda, dari fakta-fakta yang terungkap dipersidangan bahwa Korban dalam hal ini terlebih dahulu memukul wajah bagian pipi kanan dari terdakwa selanjutnya mengejar terdakwa dengan menggunakan parang, dalam hal ini dapat dikaji bahwa jelas nampak adanya suatu serangan berupa pukulan pada bagian pipi kanan terdakwa dan suatu ancaman ketika terdakwa dikejar oleh korban dengan membawa parang yang sifatnya melawan hukum, kedua hal tersebut ditujukan terhadap keselamatan tubuh Terdakwa, untuk itu serangan atau ancaman yang melawan hukum telah ada sebagai suatu syarat yang melekat pula pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces);

Syarat 1. Melampaui batas pembelaan yang perlu. Dapat disebabkan karena:

a. Alat yang dipilih untuk membela diri atau cara membela diri adalah terlalu keras. Dalam hal ini didalam persidangan bahwa terdakwa yang dikejar oleh korban dengan membawa parang, kemudian dilempar oleh terdakwa dengan batu menggunakan tangan kirinya, dari hal ini alat yang digunakan sebenarnya jauh dari kata seimbang, sehingga alat yang digunakannya pun yakni batu jelas menunjukkan tidak seimbang dengan pembelaan diri tersebut dimana Terdakwa menggunakan alat yang lebih lemah dari korban;

b. Yang diserang sebetulnya bisa melarikan diri atau mengelakan ancaman kelak akan dilakukan serangan, tetapi masih juga memilih membela diri;

“Bahwa pada saat terdakwa dikejar dengan menggunakan parang sebenarnya Terdakwa dapat melarikan diri lebih jauh sehingga ia terhindar dari kejaran korban, namun terdakwa lebih memilih untuk membela dirinya dengan melempar korban dengan menggunakan batu dan mengenai kepala dari korban;

“jika dikaitkan dengan pendapat Pompe bahwa ‘Perbuatan melampaui batas keperluan dan dapat pula berkenaan dengan perbuatan melampaui batas dari pembelaannya tiu sendiri, batas dari keperluan itu telah dilampaui yaitu baik apabila cara-cara yang telah dipergunakan untuk melakukan pembelaan itu telah dilakukan secara berlebihan, dalam hal ini terdakwa dengan melempar kepala korban dan akhirnya terjatuh, sebenarnya ia sudah dapat menghentikan penyerangannya, baik itu dengan lari ataupun menghindarkan dirinya, namun karena goncangan hatinya dan kekhawatiran korban menyerang lagi, maka ia memilih untuk mengambil batu dan memukul berulang-kali pada bagian kepala korban.

“Sedangkan menurut Hoge Raad ‘Hebatnya keguncangan hati itu hanya membuat seseorang tidak dapat dihukum yaitu dalam hal melampaui batas yang diizinkan untuk melakukan suatu pembelaan telah dilakukan terhadap suatu serangan yang melawan hukum yang telah terjadi seketika itu juga’. Dalam hal ini Terdakwa dengan suatu kemarahan, dengan suatu goncangan kejiwaan, karena adanya suatu serangan seketika dari korban berupa pukulan dibagian wajah pipi kanannya dan dikejar oleh korban membawa parang sebagai suatu ancaman, untuk itu serangan yang dilakukan oleh korban merupakan suatu serangan yang melawan hukum;

“Menimbang, bahwa dari uraian pandangan diatas, maka Hakim Anggota II berpandangan bahwa syarat pertama yaitu ‘melampaui batas pembelaan yang perlu’ dari Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces) telah memenuhi syarat;

Syarat 2. Tekanan jiwa hebat / terbawa oleh perasaan yang sangat panas hati (Hevigegemoedsbeweging).

“Tekanan jiwa hebat / terbawa oleh perasaan yang sangat panas hati oleh Satochid diartikan keadaan jiwa yang menekan secara hebat, yang menurut Utrecht, karena ketakutan, putus asa, kemarahan besar, kebencian, dapat dipahami bahwa pertimbangan waras akan lenyap, jika dalam keadaan emosi kemarahan besar dalam situasi demikian setiap orang pun akan kehilangan daya pikir yang logis, yang ada dalam benaknya, adalah bagaimana melumpuhkan serangan yang menimpa terhadap seseorang yang dalam keadaan panas hatinya;

[Note SHIETRA & PARTNERS : Seorang hakim dan aparatur penegak hukum yang baik, adalah mereka yang memahami psikologi dasar seorang manusia serta motif yang melatar-belakangi perbuatan seseorang, sebagaimana contoh pertimbangan hukum sang hakim di atas. Sayangnya, rata-rata aparatur penegak hukum di Indonesia amatlah sangat minim dalam penguasaan ilmu psikologi terapan demikian, membuat kalangan korban merasa “tidak dimengerti” sebelum kemudian menjelma menjadi terdakwa akibat kriminalisasi yang “keliru subjek”, seolah-olah “korban menjelma menjadi terdakwa karena diposisikan sebagai pelaku kejahatan akibat bela diri”.]

“Menimbang, bahwa dalam fakta-fakta yang terungkap di persidangan antara Terdakwa dan korban tidak pernah ada masalah, pada hari yang sama dimana Terdakwa dan korban sama-sama dalam keadaan yang lelah sehabis memotong daun dan terdakwa masuk kedalam rumah dan sekeluarnya tiba-tiba datanglah serangan yang sifatnya melawan hukum dalam bentuk pukulan yang ditujukan kebagian pipi kanan Terdakwa sebanyak 2 (dua) kali, sehingga hal tersebut memicu rasa jengkel yang amat terasa dan kemarahan yang luar biasa, namun dari kemarahan tersebut terdakwa memilih untuk berlari, akan tetapi rasa jengkel, kemarahan besar, kebencian belumlah terlampiaskan, sehingga ia berkata ‘kalau berani datang’ namun akhirnya terdakwa dikejar oleh korban dengan membawa parang, belum sempat membalas perbuatan yang dilakukan oleh korban, akan tetapi korban sudah siap-siap menyerang dengan ancaman serangan yang lebih membahayakan yaitu dengan menggunakan parang, dalam hal ini siapapun yang berada dalam situasi demikian pastilah terdapat goncangan jiwa yang hebat serta perasaan panas hati yang sangat, walaupun dari fakta yang terungkap di persidangan bahwa korban mengalami gangguan kejiwaan, namun dalam hal tersebut belum sepenuhnya dibuktikan secara medis, ...;

“Menimbang, bahwa seseorang untuk dapat dijatuhi pidana selain memenuhi unsur suatu kesalahan (schuld) ia juga harus memenuhi dua unsur utama, yaitu adanya unsur actus reus (physical element) dan unsur mens rea (mental element), bahwa actus reus merupakan unsur suatu delik atau unsur-unsur sebagaimana yang telah dimuat dalam pasal-pasal, sedangkan mens rea termasuk pertanggung-jawaban pembuat. Unsur actus reus adalah esensi dari kejahatan itu sendiri atau perbuatan yang dilakukan, sedangkan unsur mens rea adalah sikap batin pelaku pada saat melakukan perbuatan;

[Note SHIETRA & PARTNERS : Berdasarkan pengamatan di lapangan, aparatur penegak hukum (kepolisian) di Indonesia masih berkutat atau terkungkung sebatas pengetahuan dangkal perihal “actus reus” seorang tersangka ataupun terdakwa, tanpa mau menyelami ataupun mengakui keterlibatan faktor mental / batin (mens rea) yang melatar-belakangi serta melingkupi seseorang sehingga berbuat suatu perlawanan ataupun pembelaan diri—sekalipun doktrin ilmu hukum pidana telah menggaris-bawahi secara tegas, bahwa “mens rea” menjadi faktor penentu utama ada atau tidaknya kesalahan pidana, bukan “actus reus”.]

“Menimbang, bahwa dalam ilmu hukum pidana, perbuatan lahiriah itu dikenal sebagai actus reus, sedangkan kondisi jiwa atau sikap kalbu dari pelaku perbuatan itu disebut mens rea. Jadi actus reus adalah merupakan elemen luar (external element), sedangkan mens rea adalah unsur kesalahan (fault element) atau unsur mental (mental element). Sudarto berpendapat seseorang dapat dipidana tidak cukup hanya karena orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Sehingga, meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam peraturan perundang-undangan dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Hal ini karena harus dilihat sikap batin (niat atau maksud tujuan) pelaku perbuatan pada saat melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum tersebut, dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa asas Actus Non Facit Reum Nisi Mens Sit Rea bermakna ‘bahwa suatu perbuatan tak dapat menjadikan seseorang bersalah bilamana maksudnya tak bersalah’;

“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan hubungan antara Terdakwa dan Korban selama ini baik-baik saja, tidak pernah ada masalah, diantara saudara korban terdakwalah yang paling dekat dengan korban dibandingkan saudara-saudara lainnya, setelah terdakwa menghilangkan nyawa dari korban ia sangat menyesal atas apa yang telah ia lakukan kepada kakaknya yaitu korban, sehingga setelah korban meninggal Terdakwa memandikan korban dan membaringkan di tempat tidur serta memberitahukan kepada Silfester Safe ayah dari Terdakwa dan korban, bahwa ia telah membunuh kakaknya yaitu korban dan Terdakwa pergi untuk membelikan peti untuk korban, di hadapan persidangan, ketika terdakwa ditunjukkan foto korban Terdakwa menangis dan menyesali apa yang telah ia perbuat, namun apa yang telah ia perbuat adalah tidak lain dari suatu pembelaan diri yang melampaui batas yang saat itu terdakwa dalam keadaan panas hati, ...;

MENGADILI :

1. Menyatakan Terdakwa FERDINANDUS NEP AKOIT Alias FERDI tersebut diatas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘Pembunuhan’, sebagaimana dalam dakwaan primair;

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun;

3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan.”

Pihak Jaksa Penuntut selaku aparatur penegak hukum (yang justru “tidak paham hukum” alias “buta hukum”, sekalipun Pasal 49 KUHP telah menegaskan frasa “ancaman”), justru merasa tidak puas atas putusan di atas, kemudian mengajukan upaya hukum banding, dimana terhadapnya Pengadilan Tinggi membuat pertimbangan serta amar putusan, sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa terhadap memori banding dari Jaksa Penuntut Umum tersebut diatas, Majelis Hakim Tingkat Banding mempertimbangkan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa terhadap keberatan Penuntut Umum dalam memori bandingnya tentang pemidanaan, Majelis Hakim Tingkat Banding sependapat karena putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama menurut pendapat Majelis Hakim Tingkat Banding belum memenuhi aspek keadilan bila dipandang dari segi educatif, prepentif, korektif maupun represif (lihat putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 471/K/r/1979/MARI tanggal 7 Januari 1979) terlebih perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa menghilangkan jiwa korban adalah perbuatan yang disadari dan dikehendaki oleh Terdakwa sebagaimana yang telah dipertimbangkan oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama dalam putusannya;

“Menimbang, bahwa dari segi educatif pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama belum memberikan dampak positif guna mendidik Terdakwa tentang arti main hakim sendiri dalam menyelesaikan suatu masalah, dari segi prepentif pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama belum bisa dijadikan sebagai senjata pemungkas dalam membendung Terdakwa untuk tidak mengulangi kembali perbuatan yang sama dikemudian hari, dari segi korektif pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama belum berdaya guna dan berhasil guna bagi diri Terdakwa dan dari segi represi pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama belum mempunyai pengaruh efek jera untuk diri Terdakwa supaya dia bertobat dan tidak lagi mengulangi lagi perbuatannya, karenanya Majelis Hakim Tingkat Banding berpendapat bahwa pidana yang akan dijatuhkan terhadap Terdakwa perlu ditambah dan diperberat;

“Menimbang, bahwa dengan mengambil alih pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Pertama mengenai keadaan yang memberatkan dan meringankan Terdakwa serta ditambah dengan pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Banding seperti tersebut diatas, maka Majelis Hakim Tingkat Banding berpendapat bahwa hukuman yang adil dan patut dijatuhkan kepada Terdakwa setimpal dengan perbuatannya adalah sebagaimana yang akan disebutkan dalam amar putusan ini;

“Menimbang, bahwa mengenai keberatan Jaksa Penuntut Umum yang mengemukakan bahwa perbuatan Terdakwa tidak mengandung suatu ‘pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces)’, Majelis Hakim Tingkat Banding mempertimbangkan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa Majelis Hakim Tingkat Pertama dalam pertimbangan putusannya pada pokoknya mempertimbangkan sebagai berikut: ‘setelah korban datang ke arah terdakwa sambil memegang parangnya lalu disaat korban melewati belakang dapur rumah saksi Silfester Safe, lalu terdakwa langsung memungut batu yang ada di tempat Terdakwa berdiri lalu melempari tangan korban yang sedang memegang parang, sehingga parang tersebut jatuh dari tangan korban, tetapi korban terus berusaha mendekat kearah terdakwa lalu terdakwa langsung mengambil batu lalu melempari lagi korban untuk kedua kalinya yang mengena pada bagian pelipis kanan korban sehingga korban terjatuh di tanah kemudian korban berteriak dengan menggunakan bahasa dawan / timor sambil berkata ‘Mu Maet Kau Ben Ole’ yang artinya ‘Lu sudah kasih mati saya adik’, lalu selanjutnya dengan cepat-cepat terdakwa menghampiri korban dari arah belakang korban yang sedang tertidur di tanah dan terdakwa kembali mengambil lagi sebuah batu karang yang berada di dekat korban jatuh lalu sambil membungkuk, terdakwa menitih / memukuli korban yang diarahkan pada bagian kepala kanan dan telinga kanan berulang-ulang sampai korban tidak bergerak lagi, lalu selanjutnya terdakwa duduk dekat korban untuk memastikan apakah korban masih hidup atau sudah meninggal kemudian terdakwa mengamati keadaan korban dan setelah korban dipastikan tidak bergerak lagi, kemudian terdakwa menyeret atau menarik tubuh korban menuju ke dalam rumah saksi Silfester Safe’;

“Menimbang, bahwa mengenai pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Pertama tersebut diatas Majelis Hakim Tingkat Banding mengambil alih pertimbangan tersebut menjadi pertimbangan dalam memutus perkara ini dengan tambahan pertimbangan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa untuk menghilangkan jiwa korban dilakukan Terdakwa pada saat korban dalam keadaan tidak berdaya dimana pada saat Terdakwa memukul bahagian kepala korban dengan mempergunakan batu karang, korban sudah terjatuh dengan posisi tertidur di tanah dengan tidak lagi memegang parang, karenanya Majelis Hakim Tingkat Banding sependapat dengan Jaksa Penuntut Umum bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa menghilangkan jiwa korban bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dikwalifisir sebagai perbuatan ‘pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces)’, sebagaimana pendapat Hakim Anggota II dalam pertimbangan putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama;

“Menimbang, bahwa dalam persidangan, Majelis Hakim Tingkat Banding tidak menemukan hal-hal yang dapat menghapuskan pertanggung-jawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan atau alasan pemaaf, maka Terdakwa harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka Putusan Pengadilan Negeri Kefamenanu Nomor 16/Pid.B/2016/PN.Kfm., tanggal 8 Juni 2016 dapat dipertahankan dan harus dikuatkan, kecuali mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa;

M E N G A D I L I :

- Menerima permohonan banding dari Jaksa Penuntut Umum;

- Mengubah Putusan Pengadilan Negeri Kefamenanu Nomor 16/Pid.B/2016/PN Kfm., tanggal 8 Juni 2016 yang dimohonkan banding tersebut sekedar mengenai pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa, sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

1. Menyatakan Terdakwa FERDINANDUS NEP AKOIT Alias FERDI tersebut diatas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pembunuhan”, sebagaimana dalam dakwaan primair;

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun;

3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan.”

Catatan Penutup SHIETRA & PARTNERS:

Terdapat sebuah pepatah klasik yang menyebutkan : “Yang hidup dari pedang, akan mati karena pedang.” JIka dapat kita tambahkan agar memiliki relevansi terhadap contoh kasus di atas, menjadi : “Bila tidak ingin mati karena hal yang sama-sama mematikannya, maka janganlah membawa senjata / barang mematikan. Membawa parang dan mengancam (parang dapat membunuh), maka artinya harus siap terbunuh.”

Dalam dunia parang-memarang (senjata tajam), berlaku hukum perang sebagai berikut : Bila bukan ia yang mati terhunus, maka kita yang akan mati terhunus, saat kini atau nantinya. Seorang hakim yang baik semestinya memerhatikan betul-betul “alam batin” serta segala sesuatu yang melingkupi dari seseorang yang mengambil tindakan pembelaan diri, dimana pembelaan diri ataupun perlawanan merupakan “akibat” semata, bukan “sebab”. Salahkan “sebab”, jangan salahkan “akibat”.

Salahkan “api”, jangan salahkan “asap”. Sang “korban”, hanya berhak menyalahkan perbuatannya sendiri karena telah mengancam akan membunuh dengan menghunuskan parang (untuk apa lagi, jika bukan untuk membunuh, ketika sebuah parang dihunuskan ke arah seseorang?). Seandainya, sang “korban” hanya menghunus sebuah batang rotan yang tidak mematikan, akan lain ceritanya. Sang “korban”, juga harus memikirkan konsekusni dibalik perbuatannya menghunus sebuah senjata tajam.

Sama halnya, dalam hukum perang, hanya ketika seseorang serdadu mengangkat tangan dan menyatakan “menyerah”, barulah pihak lawan wajib berhenti menembakinya, terlepas dari amunisi senjata pihak tersebut telah habis (tidak lagi mematikan dan tidak lagi mengancam) ataukah masih terisi penuh. Korban terus melakukan ancaman secara sengit, tanpa menarik diri secara “kesadaran pribadi”, yang artinya ancaman masih terus dibiarkan mengumandang dan mengisi atmosfer para pihak yang saling bertikai. Tampaknya pula, kurikulum “hukum perang internasional” sudah saatnya (urgensi) untuk diberikan pembekalan kepada setiap aparatur penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, maupun kehakiman itu sendiri.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.