Menyepelekan Hidup dan Kehidupan Milik Orang Lain, Sama Artinya MENGHAKIMI. Kita Tidak Punya Hak untuk Menghakimi Hidup Orang Lain

ARTIKEL HUKUM

Orang yang SEPELE Gemar MENYEPELEKAN, suatu Cerminan Karakter

Tidak Ada Hal yang Sepele di Dunia ini, kecuali Orang yang Menyepelekan itu Sendiri yang Patut Diremehkan

Bila ada diantara pembaca, yang meyakini bahwa ada sesuatu hal yang dapat disebut sebagai “sepele”, terlebih memakai istilah “sepele” guna menghakimi pihak lain, atau bahkan dirinya sebagai bagian dari sekelompok pelaku yang mendiskreditkan korbannya lewat kalimat penghakiman “hal sepele belaka”, maka cobalah buktikan pada diri Anda sendiri, dengan mengangkat sebuah gelas yang kosong tidak terisi air apapun, selama setidaknya satu jam, satu hari, satu minggu, satu tahun, tanpa pernah diturunkan ataupun digerakkan, tetap angkat dan tahan gelas itu di tangan yang diangkat sejajar dengan posisi bahu. Bukankah gelas yang kosong, adalah ringan dan “sepele” belaka?

Bagi orang kecil, uang seribu perak adalah berharga dan sangat menentukan nasib keluarga mereka dapat makan atau tidaknya pada hari itu. Namun bagi orang borjuis, uang dengan nilai tersebut adalah “sampah” yang sepele sekalipun dirobek, dibakar, ataupun dibuang ke tong sampah. Karenanya, apakah benar-benar ada yang kita sebut sebagai “uang receh”? “Receh” bagi siapa? Karenanya pula, kita tidak pernah memiliki hak untuk menghakimi ataupun mendiskredit pihak lain dengan memakai istilah “sepele” ataupun sikap-sikap yang menyepelekan—terlebih bila Anda adalah pelaku yang telah merugikan dan menyakiti sang korban.

Sama halnya, ketika Anda disebut sebagai “bodoh”, Anda mungkin menyepelekannya. Namun bila perkataan demikian terus berlangsung, terjadi, berulang-ulang terjadi untuk setiap harinya dari pagi hingga sore hari, maka emosi Anda pastilah akan tersulut juga pada akhirnya dan mental Anda bergejolak hebat. Jika demikian, apakah ada yang benar-benar “sepele” di dunia ini?

Orang-orang miskin, konon mereka menjadi miskin karena kerap menyepelekan uang yang mereka peroleh dan himpun dari hari ke hari, sekalipun peribahasa klasik telah mengajarkan kita sejak bangku Sekolah Dasar, “hemat serta rajin menabung merupakan pangkal kaya”. Tidak menjadi penting berapa penghasilan harian ataupun bulanan kita, namun menjadi penting apakah kita mampu memanajemen serta mengontrol pemasukan serta pengeluaran kita, dengan menyisihkan sebagian penghasilan untuk investasi ataupun kegiatan menabung.

Menyepelekan adalah pangkal pem-boros-an, dimana boros merupakan pangkal ke-miskin-an. Banyak diantara kita di masyarakat, yang senantiasa memaksakan diri “membakar uang” dengan cara menghisap produk bakaran tembakau, meminum minum-minuman keras, obat terlarang, permainan dengan taruhan, gonta-ganti kendaraan bermotor, dan segala pemborosan lainnya. Manajemen keuangan, merupakan kunci mengelola pemasukan dan pengeluaran. Sebesar apapun pemasukan, tanpa manajemen keuangan yang terkelola dengan baik, maka tetap saja kemiskinan menjerat. Karenanya, kemiskinan dan kemakmuran, lebih kerap merupakan persoalan “pola pikir” (mindset). Karena itulah, menjadi tidak mengherankan, banyak kalangan borjuis kemudian jatuh terjerembab pada tumpukan serta belitan hutang, sebelum kemudian jatuh pailit atau dipailitkan oleh para kreditornya.

Dosa, adalah hal yang demikian “tabu” untuk dilakukan, semestinya. Namun entah mengapa dan bagaimana, masyarakat Indonesia yang konon berbusana dan berpola makan serba “agamais” dan “halal lifetyle”, justru menyepelekan perbuatan-perbuatan yang tergolong dosa (menanam benih Karma Buruk), seperti menghina, mengolok-olok, menjadikan sebagai objek lelucon, menertawakan, aksi “bullying”, mengejek, melecehkan secara verbal, serta bentuk-bentuk “oral harassment” lainnya—dimana kesemua itu sifatnya ialah melukai perasaan orang lain secara verbal—dimana artinya terdapat pelaku yang jahat dan korban kejahatan; sekalipun sayangnya, “luka batin” tidak pernah tampak kasat-mata dan sukar dibuktikan disamping tidak dapat diseret ke ranah hukum pidana, sebesar apapun luka itu terkoyak-koyak. Itulah kelemahan stelsel pembuktian terkait “visum et repertum”, semata hanya luka organ tubuh, bukan “luka psikologis” yang merupakan ranah mental.

Melukai, tidak hanya bisa terjadi secara fisik, namun juga secara mental-batiniah lewat ucapan. Karena ada “luka batin”, maka ada pelaku yang melukai dan ada korban yang dilukai. Bagaimana mungkin, bangsa yang mengaku-ngaku beradab serta mengklaim sebagai bangsa “ber-Tuhan”, hal sederhana semacam itu pun masih harus penulis sampaikan dan ingatkan lewat artikel ini. Itulah akibat dibalik kebiasaan kerap menyepelekan dan meremehkan perasaan orang lain, menyepelekan dan meremehkan perbuatan buruk mereka yang melukai dan menyakiti perasaan orang lain, serta pada gilirannya meremehkan dan menyepelekan perbuatan dosa. Apapun diremehkan dan disepelekan, yang pada gilirannya tidak kecuali menyepelekan dosa itu sendiri.

Tidak malu” serta “tidak takut” berbuat jahat dengan medium ucapan—dimana sekalipun Sang Buddha membagi kategori perbuatan, yakni perbuatan lewat fisik, perbuatan lewat ucapan, serta perbuatan lewat pikiran (medium “metafisika”). Karenanya, perbuatan berupa ucapan yang mengandung pelecehan, yang pada pokoknya merendahkan harkat dan martabat pihak lain, adalah perbuatan yang menghasilkan “benih Karma” itu sendiri dimana karenanya pihak korban dapat terluka dan dirugikan akibat ucapan dan pikiran kita dimana keduanya adalah “aksi” serta kata kerja (verba) yang karenanya memiliki “reaksi” serta konsekuensi dibaliknya.

Bangsa “agamais” semestinya adalah bangsa yang menampilkan karakter penuh martabat alias bermartabat, bukan justru mempertontonkan sikap dan watak “barbar” yang masih “biadab”, alias belum beradab. Namun ternyata, antara makanan, busana, dan ritual serta mengklaim sebagai “agamais”, tidak menjamin suatu bangsa benar-benar telah beradab dan bermartabat, alias belum “jaminan mutu”.

Betapa tidak, ketika bangsa non-“agamais” di luar sana telah lebih banyak membicarakan ide-ide dan gagasan-gagasan besar seperti hak-hak asasi hewan, hak-hak pejalan kaki, hak-hak penyandang cacat fisik, hak-hak kaum minoritas, hak atas lingkungan hidup yang sehat, hak-hak tunawisma, dan berbagai perhatian selayaknya kota yang humanis, Bangsa Indonesia masih kerap sibuk dengan dialog-dialog penuh candaan yang dangkal, rendahan, bahkan tidak jarang menjadikan orang lain sebagai objek lelucon sehingga membuat mereka tampak lebih cerdas dan lebih berbobot.

Jangankan persoalan tinggi seperti etika komunikasi, lihatlah kondisi trotoar kita di Ibukota Jakarta ini, hanya segelintir ruas jalan protokol pusat bisnis yang layak dan humanis bagi pejalan kaki, dimana selebihnya sangat tidak ramah serta memprihatinkan bagi pejalan kaki—karenanya, tiada ada warga yang bersedia menjadi pejalan kaki di Jakarta, karena kondisinya tidak memungkinkan dan tidak memadai. Pada gilirannya ruas jalan padat oleh kendaraan bermotor lengkap dengan polusi pembakarannya, warga yang “buncit” karena kelebihan lemak, serta mental pragmatis-pemalas.

Bila sang bangsa “agamais” demikian memerhatikan makanan apa yang masuk ke dalam mulut, maka mengapa bangsa “agamais” yang sama demikian meremehkan dan menyepelekan apa yang keluar dari dalam mulut mereka, terutama bila itu terkait perkataan yang menyinggung dan melukai perasaan orang lain seperti ujaran penuh fitnah, “adu-domba”, provokasi, memutar-balik fakta, berbohong atau berdusta, menghina, melecehkan, mengejek, menertawakan, menghakimi, merendahkan martabat, ajakan ke arah perilaku dangkal, omong-kosong, candaan yang tidak cerdas bahkan “jorok”, maupun berbagai ucapan dan perkataan yang tidak benar lainnya, mengapa tidak di-pantang dan ber-pantang diri? Melukai, apapun yang dilukai, baik fisik maupun batin, adalah adalah jahat dan perbuatan melukai adalah sebuah kejahatan yang patut di-cela sekaligus “dosa”—setidaknya, dalam perspektif Buddhisme.

Benarlah seperti yang pernah dituturkan oleh Sang Buddha, bahwasannya sama sekali tidak penting apa yang masuk ke dalam mulut, entah makanan apapun itu, namun yang terpenting ialah apa yang keluar dari dalam mulut—tidak lain tidak bukan ialah “ucapan” dan “perkataan”. Mereka yang kerap memperhatikan apa yang masuk ke dalam mulut, kerap meremehkan serta menyepelekan apa yang keluar dari mulut mereka, karena fokus mereka semata dikerahkan pada urusan makanan apa yang mereka konsumsi ke dalam mulut, bukan perihal “ucapan” dan “perkataan” yang keluar dari mulut mereka. Penulis menyebutnya sebagai, “buah simalakama”, akibat keliru menentukan fokus perhatian pada apa yang semestinya lebih diperhatikan.

Contoh, seorang koruptor bisa jadi rajin beribadah dan hanya memakan makanan yang tidak mengandung kandungan hewani tertentu. Namun, dari segi kualitas perkataan, sangat jauh dibawah wibawa perkataan seseorang yang mengkonsumsi segala macam daging hewani. Terlebih, ketika seorang koruptor berbicara mengenai kejujuran dan kesucian, alias “ujaran putih penuh kemunafikan”, maka hal demikian akan tampak lebih “lucu” lagi serta tidak sedap di-dengar telinga.

Singkat kata, melukai perasaan orang lain lewat perbuatan fisik maupun perbuatan ucapan, adalah sama-sama dapat melukai dimana luka pada korban bisa sangat menyakitkan, bahkan tidak jarang berbuah maut seperti yang kerap terjadi para korban “cyber bullying” yang berakhir tewas akibat “suicide”, tidak tahan terhadap tekanan batin akibat rentetan perundungan—dimana para pelakunya menyepelekan segala hinaan, olokan, dan cercaan serta ejekan yang mereka lontarkan pada sang korban. Kesemua itu, adalah perbuatan buruk, tercela, jahat, serta “DOSA”.

Bagi seorang pencuri, dompet, uang, serta dokumen milik Anda selaku korban yang mereka curi, adalah benda-benda “sepele”—namun, tidak pernah “sepele” bagi sang korban. Contoh, KTP Anda hanya berharga dan sangat berharga bagi Anda, namun tidak di mata para pencuri tersebut yang kemungkinan besar akan seketika membuangnya ke tong sampah sehabis mencuri dompet Anda, semata karena sang pencuri “menyepelekan” dokumen milik sang korban. Sepele, sepele bagi siapa dahulu? Mencuri, melukai, merampok, apakah “sepele”? Bagi kriminil pelaku aksi pemerkosaan, memperkosa seorang gadis sebagai korbannya, adalah hal yang “sepele”. Namun apakah pernah “sepele”, bagi sang korban? Tidak pernah ada kata “sepele” bagi seorang korban.

Ketika Anda menyepelekan dosa, perbuatan jahat, luka batin, ataupun Karma Buruk apapun, maka Hukum Karma pun akan menyepelekan Anda pada gilirannya sebagai buah dari perbuatan Anda yang menyepelekan. Artinya pula dapat kita katakan, ketika kita menyepelekan perasaan orang lain, sejatinya kita sedang menyepelekan diri dan perasaan kita sendiri, dimana segala sesuatunya akan berbuah bagai bumerang kepada diri kita sendiri. Sebelum menuntut dihargai, hargai terlebih dahulu harkat, martabat, serta PERASAAN orang lain. Sesukar itukah, hidup berdampingan saling memahami, saling menghargai, saling menghormati, dan saling merawat satu sama lain? Mengapa kita tidak mencari kesenangan secara kreatif, yakni dengan cara tidak mengejek ataupun melecehkan martabat orang lain? Bangsa Indonesia ialah bangsa yang sangat tidak kreatif, karenanya.

Ketika Anda menyepelekan “dosa”, maka buah Hukum Karma lewat tangan-tangan orang lain pun akan menyepelekan “dosa” yang mereka perbuat ketika menyakiti dan merugikan hak-hak dan perasaan Anda. Yang hidup dari berbuat “dosa” seperti ucapan yang jahat dan melukai, maka akan mati akibat “mulut” yang sama. Ada saatnya, dimana Anda pun akan menjadi serta menjelma sebagai pihak “korban” setelah puas menimbun diri dengan “dosa” selama menjadi “pelaku” yang melukai perasaan dan hak-hak orang lain, dengan berhadapan dengan cerminan perilaku Anda sendiri, yakni orang lain yang bersikap menyerupai Anda yaitu menyepelekan perbuatan jahatnya ketika melukai perasaan Anda. Yang hidup dari “dosa”, akan mati karena “dosa” yang sama, demikian pepatah pernah mengingatkan, untuk tidak kita sepelekan dan mulai menaruh waspada terhadap ucapan kita sendiri.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.