Kiat Merumuskan Petitum Gugatan yang Seketika dapat Dieksekusi Tanpa Peran Jurusita Pengadilan, Efektif serta Efisien, Eksekusi secara Mandiri dan Swadaya

LEGAL OPINION

Jenis Amar Putusan yang Memberikan Kuasa serta Pemberian Izin dalam Rangka Eksekusi Tanpa Bergantung pada Monopoli Eksekusi Putusan Jurusita Pengadilan

Question: Apakah ada kiat atau strategi khusus, agar putusan pengadilan perkara perdata ketika menang, dapat seketika dieksekusi sendiri oleh pihak penggugat yang memenangkan gugatan, tanpa perlu mengemis-ngemis kepada pihak jurusita pengadilan yang kerap “sok jual mahal”?

Brief Answer: Dalam praktik litigasi yang paling aktual, berkembang dua jenis amar putusan yang memberikan keleluasaan bagi pihak yang memenangkan gugatan, untuk dapat mengeksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), tanpa memerlukan keterlibatan jurusita pengadilan sama sekali, dimana amar putusan cukup ditindak-lanjuti sendiri oleh para pihak—dan memang eksekusi secara mandiri lebih efisien disamping lebih ideal, toh pengadilan telah membuat putusan, sehingga sejatinya cukup dijalankan tanpa lagi dapat disebut sebagai “main hakim sendiri” ketika pihak yang kalah dihukum oleh putusan untuk patuh namun tidak kunjung mengindahkan, akan tetapi tidaklah salah secara moril bila konteksnya ialah untuk “eksekusi putusan secara mandiri” tanpa lagi perlu bergantung pada peran jurusita pengadilan yang kerap menjadi masalah baru itu sendiri.

Sehingga, hukum acara perdata saat kini tidak hanya mengenal penggolongan jenis amar putusan “declaratoir”, “constitutief”, maupun “condemnatoir”, namun dapat berupa “petitum” (pokok permintaan dalam surat gugatan) sekaligus amar putusan berupa frasa dalam amar berupa “Mengizinkan Penggugat untuk...” ataupun “Memberikan kuasa bagi Penggugat untuk ...”, sepanjang diminta oleh pihak Penggugat di dalam surat gugatannya, mengingat hakim pemutus perkara gugatan perdata tidak dibenarkan memutus melampaui apa yang diminta dalam surat gugatan.

PEMBAHASAN:

Sebagai contoh untuk perkara gugatan perdata “salah transfer” sejumlah dana ke rekening yang sebenarnya bukan bermaksud ditujukan kepada yang bersangkutan, namun semata karena “salah alamat” rekening yang menerima sejumlah dana secara transfer elektronik. Penggugat dalam “petitum” gugatannya dapat membuat rumusan sebagai berikut : “Mengizinkan Penggugat untuk mendebet rekening milik Tergugat dengan nomor rekening ... sejumlah ... pada bank ... untuk dikembalikan ke rekening Penggugat.”—Bandingkan bila rumusannya hanya terbatas atau sebatas pada semisal, “Menghukum Tergugat untuk mengembalikan sejumlah dana dengan nominal ... dari rekeningnya ke rekening milik Penggugat”, yang mana pastinya akan menjadi masalah baru tersendiri untuk eksekusinya.

Ketika Majelis Hakim pemeriksa dan pemutus perkara mengabulkan pokok permintaan dalam gugatan Penggugat tersebut di atas (“Mengizinkan Penggugat untuk mendebet rekening milik Tergugat”), maka secara seketika itu pula ketika putusan telah efektif berkekuatan hukum tetap, maka pihak Penggugat dapat menggunakan isi amar putusan pengadilan sebagai dasar pembenar bagi pihak bersangkutan untuk memohon debit kepada pihak perbankan dimaksud terhadap rekening milik Tergugat, agar dana miliknya dapat dikembalikan tanpa keterlibatan jurusita pengadilan—bahkan juga tanpa perlu didahului permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri.

Begitupula ketika gugatan penguasaan rumah tanpa hak, ketika pemilik yang sah atas tanah dan/atau bangunan rumah diatasnya mengajukan gugatan kepada sang penghuni ilegal atas penghunian yang melawan hukum demikian, “petitum” dalam surat gugatan bisa saja secara alternatif ataupun kumulatif merumuskan permintaan agar putusan pengadilan mengakomodirnya dalam amar putusan, sebagai berikut:

- “Mengizinkan Penggugat untuk merubuhkan bangunan yang berdiri di atas Objek Sengketa bila Tergugat tidak secara sukarela mengosongkan tanah.

- “Mengizinkan Penggugat untuk membuka gembok dan kunci pintu pagar maupun pintu bangunan, untuk memasuki pekarangan, dan untuk memasuki gedung di atas tanah Objek Sengketa yang merupakan milik Penggugat, serta menghuninya.” Dan/atau

- “Mengizinkan Penggugat untuk memutus aliran air bersih maupun aliran listrik yang tersambung kepada Objek Sengketa.

Sama halnya telah berkembang dalam praktik sebagai “best practice” oleh sejumlah litigator yang cukup terampil merumuskan “petitum” gugatan, ialah ketika pihak Tergugat menguasai secara melawan hukum asli Sertifikat Hak Atas Tanah, maka bila amar putusan hanya berupa perintah agar Tergugat menyerahkan sertifikat hak atas tanah tersebut kepada Penggugat, maka dapat dipastikan eksekusinya akan kompleks serta berlarut-larut bilamana telah ternyata pihak Tergugat tidak kooperatif dan tidak patuh terhadap amar putusan maupun perintah hakim sebagaimana amar dalam putusan.

Untuk itulah kemudian kebuntuan dan kekakuan demikian dipecahkan kebekuannya lewat merumuskan “petitum” yang kreatif disamping memiliki efektivitas untuk dieksekusi secara mandiri dan secara swadaya oleh pihak Penggugat itu sendiri ketika memenangkan gugatan yang diajukan olehnya, agar tidak menjelma “menang diatas kertas” atau bahkan menjelma berstatus “non-executable”, berupa pencantuman rumusan berikut dalam “petitum” gugatan:

“Menyatakan, bila Tergugat tidak secara sukarela menyerahkan Sertifikat Hak Atas Tanah terkait Objek Sengketa kepada Penggugat, maka lewat dari 30 hari sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap, putusan ini berlaku sebagai kuasa bagi pihak Penggugat untuk menghadap Kantor Pertanahan guna memohon penerbitan Sertifikat Pengganti-nya.”

Pada falsafahnya, tiada yang tidak mungkin dijadikan sebagai amar putusan pengadilan perkara perdata, sepanjang dimintakan atau dijadikan pokok tuntutan dalam surat gugatan (“petitum”). Dengan demikian, bila dapat SHIETRA & PARTNERS rangkum perkembangan hukum acara terkait rumusan “petitum” dalam gugatan yang dapat diakomodir dalam amar putusan hakim di pengadilan perkara gugatan perdata, Dalam sebuah amar putusan, tidak terkecuali dalam sebuah “Acta Van Dading”, dapat mengandung salah satu atau lebih dari tiga jenis opsi karakter “klasik-generik” amar putusan, yang sangat bergantung pada “petitum” atau pokok permintaan di dalam surat “gugatan konpensi” maupun “gugatan rekonpensi” para pihak yang bersengketa, yakni:

- amar bersifat “declaratoir” atau bersifat “deklaratif”, dimana karakternya ialah hanya sebatas mendeklarasikan semata. Ciri khasnya, ialah terletak pada frasa “menyatakan”. Sebagai contoh, hakim lewat amar putusan pengadilan mempertegas bahwasannya : “Menyatakan bahwa Tergugat masih memiliki tunggakan hutang sebesar Rp. ... terhadap Penggugat”, “Menyatakan bahwa Tergugat telah Ingkar Janji sejak tanggal ...”, “Menyatakan bahwa isi Akta Nomor ... adalah palsu atau telah dibantah karena bersifat ‘akta dibawah tangan’, bukan akta otentik”, “Menyatakan bahwa Tergugat tidak cakap hukum karena belum cukup umur untuk melakukan perbuatan hukum saat menada-tangani kontrak tertanggal ...”, dsb;

- amar bersifat “constitutief” atau bersifat “konstitutif”, dimana karakternya ialah merubah status hukum dari yang sebelumnya menjadi berkebalikan dengan status hukum semula. Sebagai contoh, amar putusan dengan bunyi : “Menyatakan mengubah jenis gender Pemohon dari semula bergender ... menjadi bergender ...”, “Menyatakan batal Sertifikat Hak Pakai nomor ... ”, “Menyatakan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat putus karena perceraian”, “Menyatakan batal surat hutang-piutang dengan ‘milik beding’ nomor ... tanggal ... karena bertentangan dengan ketertiban umum maupun causa yang sahih”, “Menyatakan batal Surat Keputusan Bupati ... nomor ... tanggal ... tentang Izin Mendirikan Bangunan”, “Menyatakan batal Peraturan Menteri ... Nomor ... Tahun ...”, dsb; dan/atau

- amar bersifat “condemnatoir” bersifat “menghukum” (dari akar kata “to condemn”). Ciri khas tipe amar putusan ini, dicirikan oleh bunyinya tegas didahului oleh frasa “Menghukum...”. Sebagai contoh, amar putusan berbunyi : “Menghukum Tergugat untuk membayar hutang-piutang tertunggak sebesar Rp. ...”, “Menghukum Tergugat untuk mengosongkan Objek Sengketa dan menyerahkannya kepada Penggugat”, “Menghukum Tergugat untuk menghentikan perbuatannya mengalih-fungsikan perumahan di wilayah dengan tata ruang pemukiman”, “Menghukum Tergugat untuk membayar denda dan bunga sebesar .. persen per tahun”, dsb.

Perkembangan teraktual praktik di ruang peradilan dan telah menjadi “best practice” dewasa ini sebagai bagian dari terobosan kebuntuan serta kekakuan terhadap formalitas eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, tampaknya telah berkembang dengan variasi jenis amar putusan yang memungkinkan serta dimungkinkan untuk dimohonkan oleh para pencari keadilan di persidangan, yakni jenis “petitum” maupun amar putusan yang berupa:

- Amar yang memberikan “izin” atau “Mengizinkan”. Amar jenis ini mengandung legitimasi bagi pihak yang diberi izin lewat putusan pengadilan, sehingga pihak yang mendapat izin dari pengadilan tersebut mendapat legitimasi (pengakuan hukum) untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang diberikan izinnya oleh amar putusan, sehingga berlaku pula sebagai “alasan pembenar” sekaligus “imunitas” untuk dilakukan oleh pihak yang mendapat izin sekaligus yang memenangkan gugatan; dan/atau

- Amar yang memberikan “kuasa”, atau “Menguasakan”. Amar jenis ini mengandung makna yang bersifat serupa seperti sebuah pemberian surat kausa, entah pemberian surat kuasa oleh pengadilan sehingga penerima kuasa berkedudukan selaku menerima mandat yang dikuasakan, ataupun pemberian kuasa dari Tergugat oleh Penggugat berdasarkan putusan hakim. Dengan demikian, perbuatan hukum apa yang kemudian dilakukan oleh penerima kuasa (dalam hal ini Penggugat yang memenangkan gugatan) ialah dalam rangka atas nama pihak pengadilan ataupun pihak Tergugat itu sendiri (sekalipun untuk kepentingan pihak Penggugat), yang karenanya juga memberikan “imunitas” sekaligus kewenangan kepada pihak Penggugat tanpa resiko disebut sebagai telah melakukan “main hakim sendiri” (eigenrichting).

Kesimpulan dan Penutup SHIETRA & PARTNERS:

Mengandalkan eksekusi lewat peran jurusita pengadilan, bukanlah solusi, melainkan bagian dari masalah itu sendiri yang tidak kalah pelik dengan kerumitan gugat-menggugat—yang karenanya perlu dihindari atau setidaknya dimitigasi sedemikian rupa. Kemenangan bukanlah segalanya, namun dapat diesekusi atau tidaknya, baru menjadi segalanya. “Menang diatas kertas” karena tidak dapat dieksekusi mengingat tidak jarang pihak jurusita pengadilan tidak kooperatif karena faktor kolusi atau lain sebagainya yang marak pada birokrasi peradilan yang sarat “ekonomi berbiaya tinggi” (yang tidak jarang “eksekusi pengosongan” lebih mahal biayanya daripada biaya gugat-menggugat) akibat selama ini monopoli kewenangan eksekusi putusan pengadilan oleh pihak jurusita, menjadikan tuntutan dapat di-eksekusinya putusan secara mandiri oleh para pencari keadilan itu sendiri, sebagai solusi yang paling rasional sekaligus paling relevan untuk diakomodir oleh hakim pemutus dalam amar putusan pengadilan yang lebih tepat-guna dan lebih efektif disamping lebih efisien.

Jika bisa disederhanakan sesederhana rumusan “petitum” yang efektif nan cerdik, mengapa dipersukar lewat rumusan “petitum” yang masih mengandalkan keterlibatan seorang jurusita pengadilan dalam tahap eksekusinya sekalipun memperoleh kemenangan? Kemenangan gugatan dapat menjelma “kemenangan semu”, ketika kekuasaan seorang jurusita pengadilan menyandera hak-hak pencari keadilan secara politis. Jika bisa “by pass” kewenangan jurusita pengadilan, mengapa masih mengambil resiko tidak perlu yang sejatinya dapat dimitigasi sedemikian rupa lewat rumusan “petitum” yang “cerdas” penuh terobosan?

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.