Mengapa Bangsa Indonesia GAGAL TOTAL Mengatasi Wabah Akibat Pandemik Virus Menular Mematikan? Ini Alasannya

ARTIKEL HUKUM

Indonesia, tercatat sebagai salah satu negara yang gagal dalam mengatasi laju pertumbuhan kasus warga terjangkit Corona Virus Tipe-2 (Corona Disease 2019, COVID-19) pada tahun 2020, sekalipun tercatat sebagai negara dengan bentang alam kepulauan (“lock down” alami) serta negara dengan paparan sinar Ultra Violet (UV) tertinggi di dunia. Pertaanyaannya, meski beberapa negara di ASEAN telah berhasil mengatasi dan mengendalikan wabah Corona Virus Tipe-2, tren yang terjadi di Indonesia justru kian tidak terkendali? Apa penyebabnya, dan budaya Bangsa Indonesia apakah yang menjadi penyulitnya? Indonesia telah mencetak prestasi berupa “KEGAGALAN” sebagai bagian dari sejarah, dimana sejarah dan prestasi yang sama akan kembali dicetak ketika Virus Corona tipe baru lainnya merebak dimasa mendatang—sesuatu yang bukan hal mengherankan sebetulnya.

Jawabannya sangatlah sederhana, yakni masyarakat Indonesia kerap serta terbiasa (membudaya) menyelesaikan setiap masalah dengan cara mengancam, mengintimidasi, memberikan uang “suap”, hingga umbar “main KEKERASAN FISIK”—yang sayangnya, kesemua cara-cara “kotor” dan “dangkal” demikian, terutama “menyelesaikan setiap masalah dengan cara KEKERASAN FISIK” ternyata tidak efektif dalam menghadapi makhluk yang rendah evolusinya semacam virus menular mematikan penyebab wabah.

Bila Amerika Serikat selalu memamerkan, mengandalkan, serta menggunakan pesawat tempur, rudal balistik pemusnah massal, senjata biologi yang menyengsarakan rakyat kecil negara jajahan, tank yang mampu melindas demonstran pengkritik, moncong senjata tajam yang mampu memuntahkan ribuan proyektil peluru dalam satu menit serentetan tembakan sehingga lawan-lawannya hanya dapat memilih untuk “bungkam” (dibungkam dibawah todongan senjata), penembak jitu “sniper”, kapal selam dengan kemampuan tempur yang menakutkan negara-negara kawasan, membuat Bangsa Amerika Serikat telah terbiasa untuk menyelesaikan setiap masalah dengan cara mengeluarkan senapan api dari saku celananya, sehingga sebagai hasilnya ialah Negara Amerika Serikat “babak belur” menghadapi Corona Virus Tipe-2 yang tidak “mempan” diancam serta ditakut-takuti ataupun diintimidasi dengan berbagai senjata pemusnah massal yang kerap di-paradekan oleh Amerika Serikat kepada dunia global demikian.

Akibat terbiasa bersikap arogan dengan mempertontonkan kekerasan fisik sebagai cara mengatasi masalah, atau bahkan mengumbarnya tanpa rasa malu ataupun takut bak aksi premanisme, berbalik menjadi bumerang ketika menghadapi “musuh / ancaman yang tidak kasat mata”. Kesombongan atas kekuatan fisik, kesombongan atas kekuatan ekonomi, maupun kesombongan atas kekuatan senjata tempur pemusnah masal, pada akhirnya cepat atau lambat akan tunduk juga ketika menemukan musuh yang lebih kuat, berupa wabah / pandemik, penyakit, usia tua, hingga “malaikat pencabut nyawa”. Yang mampu menangkal wabah / pandemik, satu-satunya ialah kelembutan, kebaikan hati, kemurahan hati (sikap-sikap yang gemar menanam benih “karma baik”), dan kecintaan pada kehidupan dengan tidak menyakit, melukai, merugikan terlebih membunuh makhluk hidup lainnya (malu dan takut untuk menanam “karma buruk”).

Di setiap ruas jalan, atau bahkan pada lingkungan pemukiman keluarga kita bertempat-tinggal pada khususnya di Indonesia, dapat kita lihat dan saksikan sendiri, betapa kekerasan fisik dijadikan tontonan yang tidak ditabukan di negeri ini, dimana seolah kekerasan fisik dan intimidasi demikian telah menjadi bagian dari budaya sehingga tidak jarang dipertontonkan di depan khalayak umum akibat pengabaian dari aparatur penegak hukum yang tidak pernah benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat yang sendang membutuhkan.

Sebagai contoh, pernah terjadi sekali waktu pada kediaman penulis, seorang tetangga yang saling berbatasan rumah dengan bangunan rumah kediaman keluarga penulis, menyerobot dan merusak properti milik keluarga penulis, dimana pelakunya alih-alih meminta maaf dan mengakui kesalahannya, justru melakukan “verbal bullying” seolah dirinya patut berbangga karena memiliki banyak teman “tukang pukul” yang siap menganiaya dan mengeroyoki penulis yang merupakan etnis minoritas di republik “agamais” ini, serta bersikap rasis disamping membawa-bawa sentimen agama yang “radikal” guna mengancam penulis.

Ingin sekali penulis balik menanggapi : “Kamu bangga punya banyak teman preman kurang kerjaan? Kami sih, tidak butuh ribuan preman kurang kerjaan sekalipun. Satu orang preman tukang pukul pun tidak butuh kami jadikan teman. Kalian bangga, alih-alih merasa malu menjadi bagian dari lingkaran preman tukang pukul kurang kerjaan demikian? Kami memilih untuk hanya memiliki sahabat satu orang penuh kualitas sekaliber Albert Einstein yang termasyur dan berkualitas tinggi ketimbang ribuan idiot bermoral rusak, dangkal, dan tidak beradab.”—Namun untuk apa penulis sampaikan demikian, orang-orang yang terbiasa bermain “otot” (alias kekerasan fisik) tidak terbiasa bermain “otak” yang logis (alias terbiasa dengan pola tingkah “akal sakit milik orang sakit”), sehingga adalah percuma saja diajak berbicara secara “akal sehat”.

Akibat terbiasa menyakiti dan merugikan hingga melukai orang lain lewat kekerasan fisik, bahkan terbiasa pula meyakini bahwa tiada konsekuensi “karma buruk” bagi pelakunya, merasa “kebal dosa”, “kebal karma”, hingga menjelma terbudaya / terbiasa untuk “kebal wabah”, “kebal rasa malu ketika berbuat jahat”, maupun “kebal rasa takut ketika berbuat jahat”, masih juga terbiasa mengumbar “obral pengampunan dosa”, akibatnya para pelakunya kian tidak malu dan tidak takut untuk berbuat kejahatan, yang pada gilirannya meyakini dengan sepenuh keyakinan bahwa dirinya selaku pelaku kekerasan fisik dan kejahatan yang akan mendapat keistimewaan (bernama “kecurangan bagi orang-orang curang”) untuk masuk ke surga, membuat korban-korbannya takut masuk surga untuk berjumpa kembali dengan sang pelaku kejahatan yang entah bagaimana seolah adalah rasional bila bisa mendapat tempat kehormatan di dalam surga yang menjadi “medan tempur” kedua, penganiayaan untuk kedua kalinya oleh pelaku dan korban yang sama, seolah-olah alam surga telah menjelma “dunia manusia jilid kedua” yang penuh tontonan kejahatan yang merajalela secara “seronok”, terutama aksi-aksi kekerasan fisik yang sangat khas gemar dipertontonkan oleh Masyarakat Indonesia—akibat kapasitas “CC” otak yang terlampau kecil volumenya sehingga hanya dapat mengandalkan kekerasan fisik sebagai satu-satunya solusi atau untuk pembenaran diri.

Apa yang selama ini terbiasa dipertontonkan oleh Bangsa Indonesia demikian, yakni kekerasan fisik sebagai jalan pintas untuk menyelesaikan masalah, pada gilirannya menjelma suatu kebiasaan, yang pada muaranya terkristalisasi menjelma budaya serta “kesadaran kolektif bangsa” bernama “culture” dari Bangsa Indonesia. Kita dapat menyaksikan sendiri atau bahkan tidak jarang telah dan pernah menjadi korban aksi kejahatan terutama dari sesama Bangsa Indonesia, dimana pelakunya mengumbar kekerasan fisik tanpa rasa malu dan tanpa rasa takut—seolah kekerasan fisik bukanlah hal tabu, namun ketika korban menjerit dan berteriak sekeras-kerasnya ketika terluka, melawan, membela-diri, atau ketika menolak disakiti, sang korban yang justru di-diskredit sebagai “tidak sopan” ataupun “sudah gila” oleh para penonton Bangsa Indonesia yang ternyata belum beradab, seolah-olah perilaku pelaku kejahatannya lebih beradab dan lebih waras ketimbang sang korban, seolah-olah menjadi korban baru adalah hal yang lebih “tabu”. Orang-orang yang benar-benar dapat serta patut disebut “berpendidikan”, tidak akan melakukan kegiatan uasha secara ilegal, merampas hak-hak orang lain, terlebih memakai cara-cara kekerasan fisik untuk mencari sumber kekayaan dan nafkah.

Bila menyakiti fisik (melukai) warga lain saja, masyarakat Indonesia demikian gemar dan gagal untuk merasa bersalah, terlebih membuat warga lain terancam tewas akibat tertular “virus menular mematikan antar manusia”? Bila kekerasan fisik yang dapat terlihat luka luar pada tubuh korbannya seperti luka berdarah, pelakunya tidak merasa malu ataupun takut pada buah dari Hukum Karma, tiada rasa berdosa ataupun bersalah, bahkan masih juga merasa yakin akan masuk surga, maka terlebih pelaku yang membawa virus menular mematikan dalam tubuh dan nafasnya sebagai sesosok “agen” penular bagi sesama warga, dimana sifat melukai dan menyakitinya tidak kasat mata?

Kita juga kerap menyaksikan betapa masyarakat Indonesia gemar meremehkan segala sesuatu yang sejatinya tidak sepele. Masyarakat Indonesia juga dikenal suka menghina orang lain, semisal “Itu sepele, negative thinking amat, over-protective dengan memakai sarung tangan, suruh jaga jarak, face shield, cuci tangan”. Tidak takut serta tidak malu berbuat jahat kepada orang lain, apalagi sekadar menularkan virus menular mematikan seperti Virus Corona tipe baru? Bangsa yang gemar menyepelekan, bahkan menyepelekan perbuatan jahat, menyepelekan dosa, menyepelekan perasaan korban—meski disaat bersamaan tidak menyadari bahwa dirinya lebih “sepele”. Bangsa yang gemar menyelepelekan ditakdirkan untuk menjadi bangsa yang “sepele”—dan itulah tepatnya kini yang menjadi wajah dari Bangsa Indonesia, yang pada gilirannya disepelekan oleh bangsa lain tetangga kita di ASIA maupun ASEAN. Menyepelekan perasaan korban namun disaat bersamaan menyepelekan perbuatan buruknya sendiri—bukan hanya menyakiti tubuh korbannya, namun disaat bersamaan juga melukai persaan sang korban.

Bangsa Indonesia sangat tumpul dalam hal empati maupun sikap saling mengerti dan saling memahami. Contoh, aksi alih-fungsi wilayah pemukiman oleh seorang pengusaha ilegal yang mengakibatkan tata ruang zonasi perumahan terlanggar yang pada gilirannya merampas hak-hak warga pemukim atas pemukiman yang tenang serta bebas dari segala jenis polusi maupun gangguan pencemaran lingkungan hidup maupun “polusi sosial” lainnya. Keseluruh sikap-sikap arogansi yang minim serta tumpul empati demikian, berujung pada sifat egosentris-egoistik yang hanya “mau menang sendiri”, merampas hak-hak warga lainnya, serta menjelma budaya yang kerap meremehkan ataupun menyepelekan hak-hak maupun perasaan dan derita atau luka yang diderita oleh orang lain sebagai akibatnya.

Budaya sikap gemar meremehkan perasaan dan kepentingan pihak lain itulah, sebagai sumber disharmoni sosial menjelma ajang pamer kekerasan fisik ataupun kekuatan ekonomi untuk membeli “birokrasi” dan “hukum” demi menjadi seorang “kebal hukum”, memandang kehidupan serta kepentingan warga lainnya sekadar sebagai sosok “figuran” atau bahkan dijadikan semata sebagai objek “tumbal” untuk dikorbankan, ataupun dipandang sebagai sebatas “mangsa empuk”, yang sama sekali tidak dihargai ataupun dihormati harkat dan martabatnya sebagai sesama manusia dan sebagai sesama warga masyarakat.

Pada gilirannya, terbentuklah sebuah budaya ataupun kesadaran kolektif suatu bangsa di Indonesia, dimana sikap-sikap rendahan yang jauh dari sifat mulia semacam arogansi, meremehkan harkat dan martabat warga lain, merampas hak-hak orang lain, melanggar tanpa “rasa malu” ataupun “rasa takut”, bahkan menjadikan sikap-sikap jahat dan tercela demikian sebagai lahan profesinya dalam rangka mencari keuntungan ekonomi (sumber nafkah kotor, yang didapat dengan cara merugikan, menyakiti, ataupun merampas hak-hak warga lainnya), seolah-olah mencari kekayaan dan nafkah tidak dapat dilakukan dengan cara-cara legal yang tidak tercela dan tidak menyakiti ataupun merugikan hak-hak warga lainnya.

Sikap-sikap intoleran, egoistik, arogansi, “mau menang sendiri”, tidak kenal malu dan tidak kenal takut berbuat jahat ataupun menyakiti dan merugikan orang lain, gemar menyelesaikan setiap masalah dengan cara kekerasan fisik ataupun ancaman lainnya, pamer kekuatan fisik dan kekuasaan ekonomi, mempertontonkan sikap-sikap ilegal yang melanggar hukum, merupakan buah dari budaya yang terbentuk dari sikap-sikap minim dan tumpulnya empati terhadap eksistensi ataupun keberadaan warga-warga lain di sekitarnya. Singkatnya, Bangsa Indonesia ialah bangsa yang rendah (bila tidak dapat disebut sebagai “tiarap”) EQ-nya, karena minim serta tumpul empati yang merupakan ciri khas EQ.

Contoh ekses nyatanya, ketika seseorang terjangkit Virus Corona yang menjadi sumber wabah, namun semata karena dirinya tidak menunjukkan gejala (Orang Terjangkit Tanpa Gejala), dimana dikala pandemik merebak sepatutnya dan seyogianya menduga bahwa dirinya BISA JADI “terjangkit namun tanpa gejala”, atau bahkan telah terdeksi oleh pemeriksaan medis bahwa dirinya positif terjangkit, akan tetapi dikarenakan sikap egoistiknya yang tidak pernah memikirkan eksistensi terlebih keselamatan dan kesehatan hidup warga lain di sekitarnya, dengan beralasan bahwa dirinya “baik-baik saja” sekalipun terjangkit atau “baik-baik saja” tidak memakai alat pelindung diri di kala wabah merebak, maka yang bersangkutan membuat kesimpulan yang pada pokoknya meremehkan dan menyepelekan ancaman yang diakibatkan oleh virus penyebab wabah, menyepelekan keselamatan hidup orang lain, yang pada giilirannya ia meremehkan eksistensi hidup warga lain dengan cara menjadi “agen” penyebar virus yang menulari banyak orang di sekitarnya, dan memandang bahwa menjadi “agen” penyebar virus penyebab wabah bukanlah hal yang berbahaya dan tidak merugikan pihak mana pun sekalipun terjangkit setelah tertular olehnya yang menjadi “agen” penyebar virus.

Pernah juga terjadi, dikala wabah Virus Corona tipe baru merebak ganas-ganasnya di Indonesia, ketika penulis keluar rumah untuk berbelanja barang kebutuhan pokok, seorang ibu-ibu di tempat umum sehabis mencuci tangannya lalu mengeringkan tangan yang basah dan penuh air dengan cara mengibas-ngibasnya dengan demikian “kesetanan” bagai sedang bermain “silat”, sehingga air bermuncratan kemana-mana dan cipratan airnya mengenai tubuh penulis yang berdiri berjarak hampir sepuluh meter jauhnya di belakang ibu-ibu “setan kesetanan” tersebut. Untuk urusan mengeringkan tangan saja, sang ibu-ibu “setan” demikian “kesetanan”, bagaimana untuk urusan lainnya? Ibu-ibu tersebut telah dewasa dan mungkin sudah tua dari segi usia, namun jauh dari sikap bijaksana.

Dirinya tidak memiliki empati terhadap orang-orang di sekitar dan di sekelilingnya pada tempat umum tersebut, bersikap “seenaknya” dan tidak menaruh sikap hormat ataupun penghargaan terhadap eksistensi dan keselamatan orang lain yang bisa jadi tertular akibat cipratan air dari tangannya yang dikeringkan dengan cara “kesetanan”—dapat dipastikan selama ini dirinya terbiasa bersikap bak “setan”. Dirinya hanya dapat memikirkan dirinya sendiri (cerminan egosentris). Ingin sekali penulis memaki dan menceramahi dirinya yang telah “lebai dan tidak sopan bahkan untuk urusan mengeringkan tangan yang basah”, namun dengan telah memahami belum bahwa orang Indonesia “lebih galak daripada yang ditegur”, maka penulis memilih untuk segera pergi menjauh secepat dan sejauh mungkin dari “setan kesetanan” sumber petaka demikian.

Bila baru urusan mengeringkan tangan, masyarakat kita yang sudah tergolong sangat cukup umur bahkan mungkin sudah berusia uzur (lanjut usia), ternyata mempertontonkan sikap-sikap yang tumpul dari segi empati terhadap eksistensi serta kepentingan dan harkat martabat warga lainnya, maka bagaimana dengan urusan lain yang lebih besar? Itulah sebabnya, sungguh bukan hal mudah hidup berdampingan dengan masyarakat Indonesia yang sangat egosentris serta tumpul empati minim simpati, harus benar-benar menjaga diri baik-baik agar tidak menjadi “mangsa empuk” ataupun “mati konyol di tangan orang-orang konyol”.

Sekeliru dan sesalah apapun, tetap saja akan “lebih galak pihak yang ditegur ketimbang yang menegur”, bahkan “lebih galak daripada KORBAN yang menegur sang pelaku”, dimana korban hanya dapat “membisu” akibat dibungkam oleh dua ciri khas reaktif ala Bangsa Indonesia : 1.) pelakunya kerap menyelesaikan setiap masalah dengan cara kekerasan fisik, jika perlu dengan cara-cara curang “tidak jantan” seperti keroyokan serta ancaman senjata tajam; dan/atau 2.) korban yang menjerit dan berteriak kesakitan serta penuh keberatan, akan dinilai serta dikomentari baik oleh pelakunya maupun oleh para warga penonton sebagai “tidak berpendidikan”, “tidak sopan”, “sudah gila”, seolah-olah pelakunya telah dan lebih sopan, lebih waras, dan lebih berbudi luhur daripada korbannya.

Ketika wabah yang disebabkan oleh pandemik Virus Corona merebak di Indonesia, para korban dari sang virus menular mematikan tampaknya gagal total akibat sang virus sumber wabah ternyata “kebal” dari sikap serta budaya “lebih galak pelaku daripada korbannya”, dimana juga kebal dari dua ciri khas reaktif ala Bangsa Indonesia, sehingga kekerasan fisik ataupun cara-cara seperti penganiayaan dengan cara pengeroyokan, ancaman disertai senjata tajam ataupun senjata api, hingga aksi suap-menyuap penyelenggara negara, tidak akan efektif ketika harus menghadapi sang virus menular penyebab wabah yang tidak dapat di-“suap”, kebal “pukulan fisik”, serta “kebal tudingan”.

Begitupula sekalipun sang virus diolok-olok serta dikutuk dengan sebutan sebagai “jelmaan setan”, “biadab”, “jahat”, “brengsek”, “kutu busuk”, atau sindiran-sindiran lainnya, sang virus penyebab wabah senantiasa “bergeming”. Itulah, yang menjadi sumber kekalahan Bangsa Indonesia, karena lawannya tidak dapat dihadapi dengan budaya khas Bangsa Indonesia demikian sebagaimana selama ini mereka menginjak-injak kepala korban yang merupakan sesama warga. Memang sudah selayaknya Bangsa Indonesia tunduk dibawah kaki dan hegemoni kekuasaan sang virus penyebab wabah, serta sudah sepatutnya sebagai harga yang harus dibayar mahal oleh kebiasaan serta budaya masyarakat Indonesia demikian.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.