Bukan Soal Banyaknya Hakim, namun Kualitas Hakim
Question: Di pengadilan khusus Tipikor (Tindak Pidana Korupsi), majelis hakimnya ada lima orang. Di Pengadilan Negeri, majelis hakimnya ada tiga orang. Di Mahkamah Konstitusi, majelis hakimnya ada sembilan orang. Secara demokratis alias musyawarah antar hakim bila tidak terjadi suara mufakat antar hakim, maka yang berlaku sebagai putusan lembaga yudikatif tersebut ialah suara hakim “mayoritas”, sementara suara hakim yang berbeda pendapat sekadar dicantumkan sebagai “dissenting opinion” semata namun tidak memiliki dampak konsekuensi yuridis apapun. Bukankah artinya, demokratis ialah bicara tentang kuantitas alih-alih kualitas, seolah suara dari jumlah suara minoritas dikonotasikan “tidak lebih benar” daripada jumlah suara mayoritas?
Brief Answer: Terdapat banyak sekali contoh-contoh putusan
baik perdata maupun pidana di Mahkamah Agung RI dan lembaga peradilan vertikal
dibawahnya, tidak terkecuali di Mahkamah Konstitusi RI, dimana pendapat hukum
hakim yang “berbeda / lain sendiri” justru lebih mencerminkan kedalaman
pertimbangan maupun pengetahuan hukum yang holistik. Bila di Mahkamah Agung RI,
komposisi “dissenting opinion” ialah
2 berbanding 1 (2 : 1), maka komposisi “dissenting
opinion” di lembaga kehakiman Mahkamah Konstitusi RI dapat lebih ekstrem,
yakni 8 berbanding 1 (8 : 1)—sebagaimana contoh konkret yang dapat SHIETRA
& PARTNERS sajikan di bawah ini.
PEMBAHASAN:
PUTUSAN
Nomor 68/PUU-XXII/2024
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA,
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan
terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
1. Nama : Novel Baswedan, S.I.K., S.H., M.H.;
selanjutnya disebut sebagai Pemohon I;
2. Nama : Mochamad Praswad Nugraha, S.H., LL.M.;
selanjutnya disebut sebagai Pemohon II;
3. Nama : Dr. Harun Al Rasyid, S.H., M.H.;
selanjutnya disebut sebagai Pemohon III;
4. ...
B. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) DAN KERUGIAN KONSTITUSIONAL PARA
PEMOHON
2) Bahwa para Pemohon sebagai Warga Negara Republik Indonesia (vide Bukti
P-7 s.d. Bukti P-18) yang dalam hal ini adalah mantan Pegawai Komisi Pemberantasan
Korupsi (selanjutnya disebut KPK), Pegawai KPK yang dimaksud dalam Permohonan a
quo adalah Pegawai KPK yang telah memiliki pengalaman bidang pencegahan dan
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lebih dari 5 (lima) tahun atau minimal 1
(satu) Periode Pimpinan KPK yang selaras dengan tugas KPK (Bukti P-20 s.d.
Bukti P-31) yaitu pencegahan dan pemberantasan Tipikor sesuai Pasal 1 angka 3 UU
19/2019 berbunyi: “Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi
adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan
dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Undang-Undang ini.”
3) Bahwa para Pemohon telah berusia kurang dari 50 (lima puluh)
tahun dan berusia lebih dari 40 (empat puluh) tahun sesuai dengan syarat
minimum pendaftaran Pimpinan KPK Pasal 29 huruf e pada Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya
disebut UU KPK 30/2002) atau UU KPK sebelum direvisi pada tahun 2019 yang
berbunyi: “berumur sekurang-kurangnya 40
(empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada
proses pemilihan.”
4) Bahwa setelah UU KPK direvisi pada tahun 2019 dan dimaknai kembali oleh
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022,
Pasal 29 huruf e UU KPK 19/2019 menjadi berbunyi: “berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam
puluh lima) tahun pada proses pemilihan”.
5) Bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 29 huruf e UU KPK 19/2019 dan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 maka para Pemohon tidak
dapat mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK Periode 2024-2029 karena tidak
terpenuhinya syarat berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan tidak
pernah menjabat sebagai Pimpinan KPK.
6) Bahwa selanjutnya terhadap kedudukan hukum para Pemohon yang menganggap
Hak Konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya undang-undang,
3. PERTIMBANGAN HUKUM
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK
dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana
diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum
para Pemohon dalam perkara a quo sebagai berikut:
1. Bahwa para Pemohon mengajukan pengujian norma Pasal 29 huruf e UU 19/2019
yang menyatakan “Untuk dapat diangkat
sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut: … e. berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan
paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan; …”,
sebagaimana telah dimaknai Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 112/PUUXX/2022, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka pada
tanggal 25 Mei 2023, sehingga Pasal 29 huruf e UU 19/2019 menyatakan “Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: … e. berusia
paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan
KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”.
2. Bahwa para Pemohon beranggapan Pasal 29 huruf e UU 19/2019 a quo bertentangan dengan Pasal 1 ayat
(3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I
ayat (2) UUD NRI Tahun 1945;
3. Bahwa para Pemohon mendalilkan diri sebagai warga negara Indonesia, mantan
pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah memiliki pengalaman bidang
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi lebih dari 5 (lima) tahun
atau minimal 1 (satu) periode pimpinan KPK, serta berusia lebih dari 40
(empat puluh) tahun namun kurang dari 50 (lima puluh) tahun [vide Bukti P-7
sampai dengan Bukti P-18, dan Bukti P-20 sampai dengan Bukti P-31];
4. Bahwa para Pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh Pasal
29 huruf e UU 19/2019 sebagaimana telah dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 112/PUU-XX/2022, yang mana Pasal 29 huruf e UU 19/2019 a quo mengubah syarat paling rendah
usia calon pimpinan KPK menjadi 50 (lima puluh) tahun, dari sebelumnya 40
(empat puluh) tahun, sehingga para Pemohon tidak dapat mencalonkan diri sebagai
pimpinan KPK Periode 2024- 2029;
Bahwa berdasarkan uraian para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya
tersebut di atas, Mahkamah berpendapat para Pemohon telah dapat membuktikan
dirinya sebagai warga negara Indonesia, berada di rentang usia lebih dari 40
(empat puluh) tahun namun di bawah 50 (lima puluh) tahun yang dibuktikan dengan
alat bukti bertanda Bukti P-7 sampai dengan Bukti P-18. Para Pemohon juga telah
membuktikan pernah bekerja sebagai pegawai KPK sebagaimana dibuktikan dengan
alat bukti bertanda Bukti P-33 sampai dengan Bukti P-44.
Disamping itu, para Pemohon juga telah dapat menjelaskan mempunyai hak konstitusional
yang dijamin dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1),
Pasal 28D ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, dan menganggap
dirugikan dengan berlakunya norma Pasal 29 huruf e UU 19/2019 sebagaimana telah
dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022.
Anggapan kerugian yang dimaksudkan oleh para Pemohon tersebut mempunyai
hubungan sebab-akibat (kausalitas) dan bersifat khusus (spesifik) dengan norma
yang dimohonkan pengujian, di mana norma a
quo telah mengubah syarat usia pencalonan sebagai pimpinan KPK yang
secara aktual dianggap menimbulkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon
karena tidak dapat mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK. Oleh karena itu,
apabila permohonan para Pemohon dikabulkan maka kerugian konstitusional para
Pemohon tidak terjadi lagi.
Dengan demikian, terlepas terbukti atau tidaknya dalil para Pemohon
berkaitan dengan isu konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian,
Mahkamah berkesimpulan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak
sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.
[3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan
a quo dan para Pemohon memiliki
kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon maka selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan permohonan provisi dan pokok permohonan para Pemohon.
Dalam Provisi
[3.7] Menimbang bahwa para Pemohon dalam permohonannya mengajukan provisi
yang pada pokoknya meminta Mahkamah untuk menghentikan sementara proses seleksi
Calon Pimpinan KPK Periode 2024-2029 dan memperpanjang masa jabatan Panitia
Seleksi Calon Pimpinan KPK Periode 2024-2029 sampai dengan adanya Putusan Akhir
Mahkamah Konstitusi terhadap pokok permohonan a quo dan memberikan kesempatan kepada Presiden RI terpilih dan DPR
RI terpilih Periode 2024-2029 untuk memilih calon pimpinan KPK sesuai dengan pertimbangan
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022
serta memerintahkan Panitia Seleksi memberikan kesempatan kepada para Pemohon
untuk melakukan pendaftaran dan mengikuti rangkaian proses seleksi Calon
Pimpinan KPK periode 2024-2029.
Terhadap permohonan provisi para Pemohon tersebut, Mahkamah menilai
materi permohonan provisi demikian terutama pada permintaan / permohonan para
Pemohon agar Mahkamah “memerintahkan Panitia Seleksi memberikan kesempatan
kepada para Pemohon untuk melakukan pendaftaran dan mengikuti rangkaian proses
seleksi Calon Pimpinan KPK 2024-2029”, adalah salah satu materi atau substansi
yang telah menjadi substansi pokok permohonan.
Di samping itu, terhadap permohonan para Pemohon a quo Mahkamah telah
berpendapat untuk memutus permohonan / perkara tersebut tanpa mendengarkan / meminta
keterangan para pihak dalam persidangan lanjutan dengan agenda pembuktian,
dengan kata lain tanpa mempergunakan kewenangan Mahkamah yang diatur atau
dimaksudkan dalam Pasal 54 UU MK. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat
permohonan putusan provisi para Pemohon tidak relevan untuk dipertimbangkan
lebih lanjut dan oleh karena itu haruslah dinyatakan tidak beralasan menurut
hukum.
Dalam Pokok Permohonan
[3.8] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan norma Pasal 29 huruf e UU
19/2019 sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
112/PUU-XX/2022 adalah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat
(conditionally unconstitutional) dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Berusia
paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan
KPK atau berpengalaman sebagai pegawai KPK yang menjalankan fungsi utama KPK
yaitu pencegahan atau penegakan hukum tindak pidana korupsi sekurang-kurangnya
selama 1 (satu) periode masa jabatan pimpinan KPK, atau paling tinggi berusia
65 (enam puluh lima) tahun”, dengan dalil-dalil sebagaimana termaktub dalam
bagian duduk perkara, namun jika dirumuskan oleh Mahkamah pada pokoknya,
sebagai berikut:
1. Bahwa menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 29 huruf e UU 19/2019 mengatur
syarat menjadi pimpinan KPK adalah berusia paling rendah 50 (lima puluh)
tahun atau berpengalaman sebagai pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam
puluh lima) tahun. Hal demikian mengakibatkan para Pemohon dirugikan karena
tidak dapat melakukan pendaftaran seleksi calon pimpinan KPK.
2. Bahwa menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 29 huruf e UU 19/2019 menimbulkan
diskriminasi terhadap para Pemohon dan secara nyata merugikan serta
melanggar hak konstitusional para Pemohon untuk dapat mencalonkan dan dipilih
sebagai ketua KPK dalam usia di bawah 50 (lima puluh) tahun pada periode
tahun 2024-2028.
3. Bahwa menurut para Pemohon, usia para Pemohon belum ada yang
mencapai usia 50 (lima puluh) tahun sehingga tidak memenuhi syarat formil
sebagaimana ketentuan Pasal 29 huruf e UU 19/2019.
4. Bahwa menurut para Pemohon, sebelum diputus oleh Mahkamah Konstitusi melalui
Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022, Pasal 29 huruf e UU 19/2019 mengatur bahwa
syarat pimpinan KPK adalah “berusia 50 (lima puluh) tahun dan paling
tinggi 65 (enam puluh lima) tahun”, kemudian dimaknai oleh Putusan a quo menjadi “berusia 50 (lima
puluh) tahun atau berpengalaman sebagai pimpinan KPK, dan paling tinggi 65
(enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”.
5. Bahwa menurut para Pemohon, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022
telah mempertimbangkan bahwa syarat substansi memiliki peran lebih penting
dibandingkan syarat administrasi. Para Pemohon merupakan pihak yang dapat
dipersamakan dengan pimpinan KPK dalam hal pengetahuan atas sistem kerja,
permasalahan yang dihadapi lembaga, serta target kerja yang ingin dicapai
lembaga.
6. Bahwa menurut para Pemohon, pengalaman dalam menduduki jabatan di KPK dalam
fungsi utama KPK yaitu pencegahan atau penegakan hukum tindak pidana korupsi
sebagai syarat alternatif tambahan bagi calon Pimpinan KPK untuk dapat memahami
proses bisnis di KPK dapat disesuaikan dengan minimum pengalaman dalam
menduduki jabatan di KPK setidak-tidaknya selama 1 (satu) periode Pimpinan KPK
yaitu 5 (lima) tahun sehingga senada dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
112/PUU-XX/2022.
Bahwa berdasarkan dalil-dalil permohonan tersebut, para Pemohon memohon
agar ketentuan norma Pasal 29 huruf e UU 19/2019 sebagaimana telah dimaknai
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 dinyatakan bertentangan
dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila
tidak dimaknai kembali menjadi “Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau
berpengalaman sebagai pimpinan KPK atau berpengalaman sebagai pegawai KPK yang
menjalankan fungsi utama KPK yaitu pencegahan atau penegakan hukum tindak
pidana korupsi sekurang-kurangnya selama 1 (satu) periode masa jabatan pimpinan
KPK, atau paling tinggi berusia 65 (enam puluh lima) tahun”.
[3.9] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalilnya para Pemohon mengajukan
alat bukti berupa surat atau tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan
Bukti P-50.
[3.10] Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo telah jelas, sebagaimana telah pula dipertimbangkan pada
Paragraf [3.7], Mahkamah berpendapat tidak terdapat urgensi dan relevansinya
untuk meminta keterangan pihak-pihak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 54 UU
MK.
[3.11] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil permohonan
para Pemohon a quo, Mahkamah terlebih
dahulu akan mempertimbangkan permohonan para Pemohon berkaitan dengan ketentuan
Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang
Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), yang mengatur
mengenai pengujian kembali norma yang telah / pernah dimohonkan pengujian.
Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang
yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika
materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang
telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika
materi muatan dalam UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau
terdapat alasan permohonan yang berbeda.
Bahwa berkenaan dengan ketentuan Pasal 29 huruf e UU 19/2019 sudah pernah
dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya kepada Mahkamah dan sudah diputus
melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XVII/2019, yang diucapkan
dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 4 Mei 2021; serta Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022, yang diucapkan dalam sidang pleno
terbuka untuk umum pada tanggal 25 Mei 2023. Namun, dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022, Mahkamah menyatakan ketentuan a quo bertentangan dengan UUD NRI Tahun
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang
tidak dimaknai, “berusia paling rendah
50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman
sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses
pemilihan”.
Oleh karena norma yang dimohonkan pengujian telah dilakukan pemaknaan
baru melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022, maka norma
dalam Pasal a quo tidak lagi sama
dengan norma sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut, maka terhadap ketentuan
norma Pasal 29 huruf e UU 19/2019 yang dimohonkan pengujian
konstitusionalitasnya oleh para Pemohon dalam perkara ini, secara substansial
harus diposisikan sebagai norma baru yang belum pernah dimohonkan
pengujian konstitusionalitasnya, sehingga pengajuan pengujian
konstitusionalitas Pasal a quo tidak
relevan jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 60 UU MK maupun Pasal 78 PMK
2/2021.
Berdasarkan hal demikian, permohonan ini tidak terhalang oleh ketentuan
Pasal 60 UU MK maupun Pasal 78 PMK 2/2021 dan oleh karena itu terhadap norma a
quo dapat diajukan pengujian konstitusionalitasnya.
[3.12] Menimbang bahwa menurut Mahkamah persoalan konstitusionalitas norma
yang dipermasalahkan para Pemohon adalah batas usia paling rendah untuk menjadi
pimpinan KPK, di mana batas usia demikian diubah dari sebelumnya usia paling
rendah adalah 40 (empat puluh) tahun [menurut Pasal 29 huruf e UU 30/2002]
menjadi 50 (lima puluh) tahun [menurut Pasal 29 huruf e UU 19/2019] yang
kemudian dimaknai oleh Mahkamah konstitusi sebagaimana tertuang dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022.
Norma demikian menurut para Pemohon bertentangan dengan UUD NRI Tahun
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang
tidak dimaknai sebagaimana selengkapnya termaktub dalam petitum permohonan para
Pemohon.
Terhadap permasalahan yang didalilkan oleh para Pemohon tersebut di atas,
Mahkamah mempertimbangkan bahwa berkaitan dengan penentuan syarat usia telah
dipertimbangkan Mahkamah dalam berbagai putusan sebelumnya, antara lain Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-V/2007, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
37-39/PUU-VIII/2010, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, dan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUUXIV/2016. Menurut Mahkamah,
penentuan syarat usia paling rendah atau usia paling tinggi terkait jabatan
tertentu –dalam suatu undang-undang– adalah kewenangan sepenuhnya pembentuk
undang-undang, atau yang biasa dikenal dengan istilah kebijakan hukum terbuka (open legal policy).
Hal demikian karena UUD NRI Tahun 1945 sebagai panduan sekaligus
parameter bagi pengujian suatu undang-undang tidak mengatur secara spesifik
mengenai syarat usia paling rendah maupun paling tinggi bagi seseorang untuk
mendaftarkan diri sebagai calon dan/atau mengemban jabatan tertentu, in casu sebagai pimpinan KPK. Lebih
lanjut, berkenaan dengan hal a quo
Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut.
[3.12.1] Bahwa tidak adanya pengaturan atau pedoman dalam UUD NRI
Tahun 1945 berkaitan dengan syarat usia tersebut dapat dipahami sebagai
pemberian kewenangan oleh UUD NRI Tahun 1945 kepada pembentuk undang-undang
untuk mengatur lebih jauh dan lebih detail mengenai hal-hal terkait syarat usia,
yang tidak diatur secara tegas dalam UUD NRI Tahun 1945, tentu dengan batasan
selama pengaturan oleh pembentuk undang-undang tidak melanggar prinsip-prinsip
dalam konstitusi atau UUD NRI Tahun 1945.
Dalam kaitan dengan norma undang-undang yang merupakan wilayah kebijakan
hukum terbuka pembentuk undang-undang, Mahkamah sejauh dan selama ini memposisikan
diri untuk tidak memberikan penilaian terhadap norma demikian, kecuali
apabila norma yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang (kebijakan hukum
terbuka) dimaksud secara terang dan nyata melanggar syarat-syarat atau hal-hal
antara lain: tidak melanggar moralitas; tidak melanggar rasionalitas; bukan
ketidakadilan yang intolerable; tidak
melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang; bukan merupakan penyalah-gunaan
kewenangan; tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945; tidak menegasikan
prinsip-prinsip dalam UUD NRI Tahun 1945; tidak bertentangan dengan hak
politik; tidak bertentangan dengan kedaulatan rakyat; tidak dilakukan secara
sewenang-wenang (willekeur); serta
tidak melampaui dan/atau menyalahgunakan kewenangan (detournement de pouvoir).
[3.12.2] Bahwa batasan lain terkait kebijakan hukum terbuka juga telah dirumuskan
Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUUXI/2013, yang telah
diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 28 Maret 2013, di
mana Mahkamah menyatakan bahwa pilihan bebas pembentuk undang-undang untuk
menentukan syarat usia jabatan, sebagai wujud kebijakan hukum terbuka, “… dapat menjadi permasalahan konstitusionalitas
jika aturan tersebut menimbulkan problematika kelembagaan, yaitu tidak dapat dilaksanakan,
aturannya menyebabkan kebuntuan hukum (deadlock) dan menghambat pelaksanaan
kinerja lembaga negara yang bersangkutan yang pada akhirnya menimbulkan
kerugian konstitusionalitas warga negara;”
Bahwa meskipun berkaitan dengan syarat usia paling rendah dan syarat usia
paling tinggi a quo Mahkamah telah
berpendirian hal demikian menjadi wewenang pembentuk undang-undang, namun penting
untuk ditegaskan dalam keadaan tertentu pembentuk undang-undang tidak boleh
dengan mudah maupun terlalu sering mengubah syarat usia untuk menjadi pejabat
publik, baik pejabat yang dipilih maupun yang diangkat sebagaimana terdapat
dalam beberapa norma undang-undang.
Penegasan Mahkamah demikian diperlukan mengingat bahwa mengubah syarat usia
paling rendah maupun syarat usia paling tinggi terlalu sering dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum dan ketidakadilan karena mudahnya terjadi pergeseran
parameter acuan kapabilitas atau kompetensi seseorang untuk menduduki jabatan
dalam suatu lembaga / organisasi publik.
Jika hal tersebut sering diubah, besar kemungkinan pembentuk undang-undang
akan merumuskan kebijakan “penyesuaian usia” untuk menghalangi hak
konstitusional warga negara lainnya dengan tujuan antara lain untuk “motif
politik” tertentu.
[3.13] Menimbang bahwa para Pemohon dalam permohonannya mengkaitkan bahkan
mempersamakan permasalahan yang dihadapi para Pemohon dengan permasalahan
pengujian konstitusionalitas norma dalam Perkara Nomor 112/PUUXX/2022 yang
diajukan pengujiannya oleh Pemohon bernama Nurul Ghufron dalam kedudukannya
sebagai Komisioner KPK atau salah satu pimpinan KPK.
Terhadap dalil para Pemohon a quo,
Mahkamah berpendapat pokok permasalahan dalam Perkara Nomor 112/PUU-XX/2022
adalah bahwa Pemohon merupakan pimpinan KPK dan karenanya secara hukum telah
pernah mengikuti seleksi pencalonan sekaligus dinyatakan memenuhi syarat
sebagai pimpinan KPK untuk periode pertama bagi Pemohon Perkara Nomor
112/PUU-XX/2022, sebagaimana persyaratan saat itu diatur dalam Pasal 29 huruf e
UU 30/2002.
Di sisi lain, Pasal 34 UU 30/2002 mengatur bahwa pimpinan KPK “dapat dipilih kembali hanya untuk sekali
masa jabatan”. Terlebih lagi, persoalan yang dihadapi Pemohon Perkara Nomor
112/PUU-XX/2022 adalah adanya perubahan aturan / ketentuan berkaitan dengan
syarat usia untuk menjadi pimpinan KPK yang perubahan syarat demikian terjadi
setelah Pemohon menjabat atau setidak-tidaknya telah terpilih sebagai pimpinan
KPK.
[3.13.1] Bahwa terlepas dari adanya alasan-alasan tersebut di atas,
menurut Mahkamah hal paling esensial yang menjadi pertimbangan hukum Mahkamah dalam
perkara Nomor 112/PUU-XX/2022 adalah adanya persyaratan pendidikan, keahlian,
dan terlebih lagi pengalaman, merupakan persyaratan yang secara substansial
lebih bersifat esensial daripada persyaratan batasan usia yang bersifat formal
semata.
Calon pimpinan KPK yang telah memiliki pengalaman memimpin KPK selama
satu periode sebelumnya, menurut Mahkamah memiliki nilai lebih yang akan
memberikan keuntungan tersendiri bagi lembaga KPK karena yang bersangkutan
telah memahami sistem kerja, permasalahan-permasalahan yang dihadapi lembaga,
serta target kinerja yang ingin dicapai oleh lembaga.
Apalagi persoalan-persoalan yang ditangani dan menjadi kewenangan lembaga
KPK mempunyai karakter khusus yaitu berkaitan dengan perkara-perkara yudisial yang
membutuhkan pengalaman [vide pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 112/PUU-XX/2022, hlm. 110].
Oleh karena itu, dengan mendasarkan pada pertimbangan hukum Mahkamah pada
putusan a quo, pengalaman seseorang
sebagai pimpinan KPK menjadi pembeda dan tidak dapat dipersamakan dengan
pengalaman di bidang lainnya sekalipun pengalaman demikian adalah pengalaman
bertugas atau bekerja di KPK, mengingat ada perbedaan yang bersifat fundamental
dengan pengalaman pernah sebagai pimpinan KPK.
Pengalaman menjabat sebagai pimpinan KPK berarti memiliki kesempatan
secara komprehensif untuk menerapkan hal-hal yang bersifat konkret dalam
menjalankan roda organisasi in casu KPK,
baik pada bidang pencegahan maupun penindakan.
Dengan demikian, sekali lagi, Pemohon dalam Perkara Nomor 112/PUU-XX/2022
dinilai telah memenuhi syarat serta mempunyai kualifikasi sebagai pimpinan KPK
yang secara faktual dibuktikan dengan posisinya saat itu telah terpilih dan
sedang menjabat sebagai pimpinan KPK.
[3.13.2] Bahwa lebih lanjut, jika dicermati pertimbangan hukum tersebut
sekilas tidak berbeda dengan argumentasi yang didalilkan para Pemohon dalam permohonan
Perkara Nomor 68/PUU-XXII/2024 a quo,
di mana para Pemohon menjelaskan terhalang untuk mendaftar sebagai calon
pimpinan KPK akibat adanya perubahan syarat usia paling rendah berupa kenaikan
dari usia 45 (empat puluh lima) tahun menjadi usia 50 (lima puluh) tahun.
Namun, jika dicermati secara saksama keduanya terdapat perbedaan yang bersifat
mendasar.
Perbedaan antara Perkara a quo
dengan Perkara Nomor 112/PUU-XX/2022 adalah bahwa para Pemohon dalam Perkara a quo saat ini belum pernah memiliki
pengalaman menjadi pimpinan KPK, sementara pemohon dalam perkara Nomor
112/PUU-XX/2022 telah pernah atau sedang menjabat sebagai pimpinan KPK.
Oleh karena itu, baik secara yuridis maupun faktual keduanya tidak serta merta
dapat dipersamakan, hal tersebut dikarenakan adanya kelebihan-kelebihan tersendiri
bagi yang pernah memiliki pengalaman menjadi pimpinan untuk dapat memenuhi
kualifikasi yang kemudian menjadi alasan bagi Mahkamah untuk menyepadankan atau
mengalternatifkan dengan syarat usia untuk menjadi pejabat publik in casu termasuk menjadi calon pimpinan
KPK.
Berkenaan dengan penyepadanan atau pengalternatifan a quo, Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
141/PUU-XXI/2023 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada
tanggal 29 November 2023 telah menyatakan pendiriannya bahwa berkenaan dengan
penyepadanan atau pengalternatifan soal syarat usia menjadi kewenangan
pembentuk undang-undang. Sekalipun putusan tersebut berkaitan dengan syarat
untuk menjadi presiden dan/atau wakil presiden, namun karena putusan
Mahkamah Konstitusi bersifat erga omnes
maka semangat dari prinsip tersebut tidak boleh dibedakan dengan
putusan-putusan Mahkamah Konstitusi lainnya.
[3.13.3] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas telah
jelas bahwa adanya perubahan syarat usia sebagaimana juga yang terjadi dan
dialami oleh semua anggota masyarakat, termasuk dalam hal ini dialami para
Pemohon, selain yang sedang atau pernah menjabat sebagai pimpinan termasuk in casu pimpinan KPK karena adanya perubahan
syarat usia paling rendah menjadi 50 (lima puluh) tahun, adalah tidak dapat
dinilai sebagai persoalan konstitusionalitas norma.
Penegasan demikian sekaligus menunjukkan bahwa substansi permasalahan
yang dihadapi para Pemohon berbeda dengan substansi permasalahan dalam Perkara
Nomor 112/PUU-XX/2022, walaupun semua perkara dimaksud berkaitan dengan
syarat usia paling rendah sebagaimana yang didalilkan para Pemohon.
[3.14] Menimbang bahwa para Pemohon juga mendalilkan pembatasan bagi warga
negara yang belum berusia 50 (lima puluh) tahun untuk mendaftar sebagai pimpinan
KPK, padahal banyak warga negara Indonesia berusia di bawah 50 (lima puluh)
tahun namun mempunyai kualifikasi dan/atau kemampuan menjadi pimpinan KPK,
dapat berakibat antara lain hilangnya dan berkurangnya peluang untuk mendapatkan
calon pimpinan KPK yang mempunyai kemampuan atau kualifikasi istimewa.
Di samping itu, menurut para Pemohon calon-calon pimpinan KPK tersebut
diperlukan di tengah-tengah kebutuhan untuk memperbaiki KPK yang sedang berada
di titik nadir dan mengalami krisis kepemimpinan [vide permohonan para Pemohon hlm. 36].
Terhadap dalil para Pemohon a quo
Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut.
[3.14.1] Bahwa dalam perspektif yang lebih sempit argumentasi para
Pemohon menurut Mahkamah dapat dipahami kebenarannya, namun jika dilihat dari kepentingan
yang lebih besar, tidak atau belum adanya kesempatan para Pemohon untuk
mengikuti pendaftaran calon pimpinan pada periode saat ini, tidak serta merta menutup
upaya perbaikan lembaga KPK yang menurut para Pemohon sedang berada di titik
nadir dan mengalami krisis kepemimpinan.
Apabila hal yang didalilkan para Pemohon benar, Mahkamah berpendapat
bahwa perbaikan lembaga KPK dapat dilakukan dengan proses seleksi yang
menghasilkan calon-calon pimpinan yang lebih baik, berintegritas, memiliki
kompetensi yang handal, serta teruji independensinya.
Sementara itu, sembari menunggu kesempatan pada periode berikutnya
untuk mendaftarkan diri sebagai calon pimpinan KPK pada saat para Pemohon telah
memenuhi syarat untuk mendaftar sebagai calon pimpinan KPK khususnya syarat
yang berkaitan dengan usia paling rendah, para Pemohon tetap dapat memberikan
kontribusi melalui peran serta masyarakat untuk turut serta melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan KPK, sebagaimana diamanatkan
Pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi juncto Pasal 1 angka 4 UU 19/2019.
Oleh karena itu, terhadap pegawai KPK yang telah memenuhi persyaratan,
termasuk syarat usia paling rendah, tidak terhalang untuk mengikuti proses
seleksi pimpinan KPK.
Berdasarkan pertimbangan pada Pertimbangan Hukum sebelumnya, dan juga
telah dikemukakan pada beberapa putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu, penentuan
batasan usia paling rendah ataupun batasan usia paling tinggi dalam suatu
undang-undang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, yang hanya
dapat dinilai atau diadili oleh Mahkamah apabila penentuan usia demikian
melanggar berbagai batasan kebijakan hukum terbuka, sebagaimana telah
dipertimbangkan pada Paragraf [3.12], Sub-paragraf [3.12.1], Sub-paragraf [3.12.2],
serta dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya.
Dengan mendasarkan pada pertimbangan hukum demikian, terhadap perubahan
syarat usia paling rendah calon pimpinan KPK dalam perkara a quo Mahkamah tidak menemukan adanya pelanggaran batasan suatu
kebijakan hukum terbuka, dan kebijakan hukum demikian tidak pula menimbulkan
problematika kelembagaan.
Artinya, di samping tidak ditemukan adanya pelanggaran terhadap prinsip-prinsip
kebijakan hukum terbuka, Mahkamah menilai sejauh ini perubahan syarat usia
paling rendah sebagai pimpinan KPK tidak membuat ketentuan atau norma demikian
menjadi tidak dapat atau tidak mungkin dilaksanakan. Atau setidak-tidaknya
Mahkamah tidak menemukan adanya potensi yang kuat bahwa perubahan syarat
usia demikian mengakibatkan kebuntuan hukum (deadlock) serta menghambat pelaksanaan tugas-tugas KPK sebagai
lembaga pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi.
[3.14.2] Bahwa lebih lanjut Mahkamah juga menilai permasalahan yang
dihadapi KPK saat ini, sebagaimana diuraikan oleh para Pemohon, tidak
berkorelasi langsung dengan syarat usia paling rendah atau syarat usia paling
tinggi untuk menjadi pimpinan KPK.
Menurut Mahkamah, permasalahan yang dikemukakan para Pemohon, jika hal
tersebut benar, lebih berkaitan dengan permasalahan komitmen dan integritas,
baik secara personal dari pimpinan KPK dan jajarannya maupun secara
kelembagaan, seperti yang para Pemohon sendiri kutipkan dalam permohonan para
Pemohon, walaupun terhadap argumentasi para Pemohon a quo menurut Mahkamah diperlukan fakta dan data yang lebih valid
dan konkret.
Berkenaan dengan hal di atas, sesungguhnya dengan mengubah batas syarat
paling rendah usia calon pimpinan KPK, menjadi lebih rendah atau menjadi lebih
tinggi, menurut Mahkamah tidak akan serta-merta mengakibatkan bertambahnya
jumlah pendaftar yang berintegritas atau berkurangnya jumlah pendaftar yang
berintegritas.
Apalagi jika diasumsikan bahwa faktor syarat usia paling rendah an sich menentukan kualitas integritas
pimpinan KPK terpilih. Sebab, dalam proses seleksi pimpinan lembaga negara (in casu KPK) menurut Mahkamah terdapat
banyak faktor yang mempengaruhi hasil seleksi selain masalah usia, antara lain
kemampuan manajerial (leadership)
untuk mengelola dan mensinergikan semua sumber daya yang bekerja bersama di
bawah KPK.
Kemampuan demikianlah yang bagi Mahkamah justru secara substansial membedakan
antara persyaratan seleksi pimpinan KPK dengan persyaratan seleksi pegawai KPK.
Sebab, antara pimpinan KPK dengan pegawai KPK terdapat perbedaan karakter tugas
serta tanggung jawab. Terlebih, proses seleksi pimpinan KPK dengan proses
rekrutmen pegawai KPK memiliki perbedaan.
Namun demikian, melalui putusan dalam permohonan a quo Mahkamah memandang penting untuk menegaskan bahwa berkenaan
proses seleksi calon pimpinan KPK harus memperhatikan salah satu pertimbangan
hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022, di mana salah
satu alasan Mahkamah menyesuaikan masa jabatan pimpinan KPK yang semula 4 (empat)
tahun menjadi 5 (lima) tahun adalah agar pada saat penggantian, calon pimpinan
KPK, termasuk Dewan Pengawas KPK, yang dihasilkan oleh panitia seleksi tidak
lagi diajukan, disetujui, dan diangkat oleh pemerintahan pada periode yang sama
dengan periode pemerintahan ketika pimpinan KPK dan Dewan Pengawas KPK tersebut
diangkat.
Pendapat Mahkamah demikian didasarkan pada pertimbangan bahwa pimpinan
KPK dan Dewan Pengawas KPK yang dihasilkan dalam proses seleksi dan disetujui /
diangkat pada pemerintahan yang berbeda akan lebih menjamin independensi KPK
karena tidak ada keterpengaruhan / ketergantungan kepada pemerintahan
sebelumnya yang terlibat dalam pelaksanakan proses seleksi.
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut
di atas Mahkamah berpendapat dalil-dalil para Pemohon berkenaan dengan
inkonstitusionalitas norma Pasal 29 huruf e UU 19/2019 sebagaimana telah dimaknai
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022, telah ternyata tidak
menimbulkan persoalan diskriminasi maupun ketidakpastian hukum yang adil
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat
(1), Pasal 28D ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, dan karenanya
tidak sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon.
Dengan demikian, menurut Mahkamah dalil para Pemohon adalah tidak
beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.16] Menimbang bahwa terhadap hal-hal selain dan selebihnya tidak dipertimbangkan
lebih lanjut oleh Mahkamah karena dinilai tidak ada relevansinya.
4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas,
Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;
[4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;
[4.3] Permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan menurut hukum;
[4.4] Pokok permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili:
Dalam Provisi
- Menolak permohonan provisi
para Pemohon.
Dalam Pokok Permohonan
- Menolak permohonan para
Pemohon untuk seluruhnya.
------------------
6. PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING
OPINION)
Terhadap putusan Mahkamah a quo,
terdapat pendapat berbeda (Dissenting
Opinion) dari 1 (satu) orang Hakim Konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Arsul
Sani yang menyatakan sebagai berikut:
Sehubungan dengan Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 68/PUU-XXII/2024,
saya, Hakim Konstitusi Arsul Sani menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion) terhadap
pertimbangan hukum dan amar putusan yang dijatuhkan. Selengkapnya pendapat
berbeda dari saya terurai sebagai berikut:
1. Menimbang bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (selanjutnya
disebut “KPK”) merupakan lembaga negara yang memiliki kedudukan serta peran
strategis dan sentral dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Mahkamah
telah mengemukakan pandangan tentang kedudukan dan peran strategis KPK dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022, Paragraf [3.15.1], yang pada
pokoknya menyatakan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa pembentukan KPK sesuai dengan amanat Pasal 43 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai respon
terhadap tingginya angka tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia.
Berdasarkan amanat tersebut dibentuk UU 30/2002 yang menjadi payung hukum bagi
KPK. Adapun tujuan pembentukan KPK adalah untuk membantu lembaga-lembaga utama penegak
hukum yaitu Kepolisian dan Kejaksaan yang belum optimal menjalankan fungsinya
dalam memberantas korupsi secara efektif dan efisien.
Dalam sistem ketatanegaraan, KPK merupakan auxiliary organ yaitu lembaga penunjang yang dibentuk untuk
mendorong peranan dari lembaga utama (Kepolisian dan Kejaksaan) yang memiliki
tugas dan fungsi untuk memberantas tindak pidana korupsi. Meskipun sebagai lembaga
penunjang (auxiliary organ), namun
kedudukan KPK strategis dalam rangka pemberantasan korupsi maka KPK dikenal
juga sebagai lembaga yang tergolong ke dalam lembaga constitutional importance.
Kedudukan penting dan strategis lembaga KPK tampak jelas dalam Pasal 3 UU
30/2002 yang menyatakan bahwa KPK merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan
manapun.
Terhadap pengakuan tentang penting dan strategisnya kedudukan serta peran
KPK ini, saya juga berpendapat menjadi penting bagi KPK untuk memiliki pimpinan
dengan kualitas, kompetensi personal dan pengalaman yang baik untuk dapat
melaksanakan “core business” KPK yang
ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 (UU 30/2002) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 (UU 19/2019), yakni tugas,
fungsi dan kewenangan KPK di bidang pemberantasan korupsi.
Kepemimpinan KPK menjadi elemen krusial karena selain tuntutan dapat melaksanakan
tugas, fungsi dan kewenangan KPK dengan baik serta efektif, pimpinan KPK
sebagai insan-insan penegak hukum juga diharapkan menjadi contoh panutan (role model) tidak hanya bagi seluruh
jajaran pegawai KPK, namun juga bagi pimpinan dan jajaran kementerian / lembaga
lainnya di Indonesia.
Untuk kepentingan internal kelembagaan, kemampuan pimpinan KPK untuk
dapat menjadi role model dalam
pelaksanaan tugas, fungsi dan kewenangan KPK dengan baik dan efektif juga
diyakini akan berdampak langsung terhadap tingkat kepercayaan publik terhadap
KPK.
Studi manajemen organisasi menunjukkan bahwa keberhasilan menjadi role model pimpinan bagi internal suatu
lembaga berdampak bukan hanya pada terbangunnya tingkat kepercayaan baik
internal maupun eksternal, namun juga menjadi modal kuat untuk meningkatkan
kinerja kelembagaan itu sendiri (Diyah Dumasari Siregar, “Kepemimpinan dan
Kepercayaan pada Pemimpin dalam Membangun Perilaku Bawahan”, Artikel Manajemen,
PPM, 2 Agustus 2022; Alaa Arab, “Shaping Employee Experience in the Public
Sector”, Insight, New Metrics Newsletter, 2024).
2. Menimbang bahwa dengan mengacu pada studi manajemen organisasi publik,
terdapat korelasi langsung antara kredibilitas kepemimpinan pada suatu lembaga
dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga yang bersangkutan
(Robert Denhardt, “Trust as Capacity: the Role of Integrity and Responsiveness”,
Public Organization Review 2 (1), March 2002; OECD, Trust and Public Policy:
How Better Governance Can Help Rebuild Public Trust, OECD Publishing, Paris,
2017).
Korelasi seperti ini juga berlaku bagi KPK, yang antara lain indikasinya
dapat dilihat dari berbagai hasil survei tingkat kepercayaan dan/atau kepuasan
publik terhadap lembaga negara / institusi pemerintahan yang memasukkan KPK
sebagai salah satu lembaga yang disurvei.
Salah satu yang dapat dirujuk adalah hasil survei Centre for Strategic and
International Studies (CSIS) pada tahun 2023, yang menunjukkan persentase
kepercayaan publik terhadap KPK hanya berada di kisaran 58,8 (lima puluh
delapan koma delapan) persen sehingga berada di peringkat paling rendah di
antara lembaga penegak hukum lainnya (vide Bukti P-49). Hasil survei yang lain
adalah dari Litbang Harian Kompas yang dilakukan dalam kurun waktu 27 Mei
sampai dengan 2 Juni 2024 di 38 provinsi.
Berdasarkan Hasil Survei Litbang Kompas ini, citra positif dan tingkat
kepuasan publik terhadap KPK ada pada kisaran 56 (lima puluh enam) persen dan
menduduki peringkat ke-8, di bawah dua lembaga penegak hukum lainnya, yakni
Polri yang menempati posisi ke-2 dan Kejaksaan yang menempati posisi ke-4
(Tempo.co, 23 Juni 2024).
Dari paparan hasil-hasil survei setidaknya selama 3 (tiga) tahun terakhir
ini harus diakui bahwa KPK mengalami penurunan tingkat kepercayaan publik, terutama
jika dibandingkan hasil survei pada periode-periode kepemimpinan sebelumnya.
Hal-hal yang diyakini menjadi penyebab turunnya tingkat kepercayaan
publik terhadap KPK, antara lain, penilaian publik terhadap kinerja pimpinan
KPK yang tidak memuaskan dan permasalahan etik yang melibatkan beberapa
individu pimpinan KPK. Keadaan ini tentu menjadi tanggung jawab para pemangku
kepentingan KPK, terutama yang berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif maupun
legislatif, guna melakukan pembenahan dan perbaikan ke depan.
Di antara langkah yang perlu dilakukan untuk membenahi kelembagaan KPK adalah
memastikan proses seleksi pimpinan KPK yang lebih berkualitas dan transparan.
Proses seleksi seyogianya menjadi ikhtiar untuk menemukan dan memilih pimpinan
KPK yang mendekati sosok ideal penegak hukum dengan integritas, etika, dan
pengetahuan serta pemahaman hukum yang mumpuni tentang due process of law.
Saya memahami bahwa proses ini memang tidak hanya bertumpu pada panitia
seleksi yang dibentuk oleh Presiden, tetapi juga bertumpu pada DPR RI yang akan
memilih 5 (lima) pimpinan KPK.
3. Menimbang bahwa berkenaan dengan persyaratan proses seleksi pimpinan KPK,
Mahkamah telah menguraikan pendapatnya dalam Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022
Paragraf [3.16] yang pada pokoknya menyatakan hal-hal berikut:
Bahwa menurut Mahkamah, dalam proses seleksi pemilihan pimpinan KPK,
terdapat dua persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon pimpinan yang akan
mengikuti seleksi yaitu syarat yang bersifat formal atau disebut sebagai syarat
administrasi dan syarat substansi yang salah satunya dapat berupa pendidikan
dan pengalaman kerja.
Berdasarkan Pasal 29 UU 19/2019, pembentuk undang-undang telah secara
jelas mengatur persyaratan untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan KPK, antara
lain syarat pendidikan, keahlian, dan pengalaman paling sedikit 15 (lima belas)
tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan, serta syarat usia
minimal dan maksimal.
Berkaitan dengan persyaratan tersebut, penting bagi Mahkamah untuk
menegaskan bahwa syarat pendidikan, keahlian, dan terlebih lagi pengalaman
merupakan persyaratan yang secara substansial adalah esensial daripada persyaratan
batasan usia yang bersifat formal semata.
Sebab, calon pimpinan KPK yang telah memiliki pengalaman memimpin KPK
selama satu periode sebelumnya memiliki nilai lebih yang akan memberikan keuntungan
tersendiri bagi lembaga KPK, karena telah memahami sistem kerja, permasalahan-permasalahan
yang dihadapi lembaga serta target kinerja yang ingin dicapai oleh lembaga.
Terlebih, persoalan-persoalan yang ditangani dan menjadi kewenangan
lembaga KPK mempunyai karakter khusus yaitu berkaitan dengan perkara-perkara
yudisial yang membutuhkan pengalaman. Seseorang yang berpengalaman akan mampu
membangun tim yang kuat dengan cara memberikan bimbingan untuk menyelesaikan
setiap tantangan dan rintangan yang dihadapi oleh lembaga.
Terlebih lagi mengingat KPK memiliki tugas dan wewenang yang sangat berat
dan luas sebagaimana diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 UU 19/2019.
Sehingga, dengan mendasarkan pada pertimbangan di atas, seseorang yang pernah
atau sedang menjabat sebagai pimpinan KPK dan kemudian akan mencalonkan diri
kembali, baik seketika maupun dengan jeda, sepanjang jika yang bersangkutan memenuhi
persyaratan lainnya, misalnya rekam jejak yang baik, maka yang bersangkutan
merupakan calon yang potensial untuk dipertimbangkan oleh panitia seleksi
karena pengalaman memimpin KPK yang dimilikinya.
Berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah dalam Putusan a quo telah menekankan bahwa pengalaman
(kerja) merupakan salah satu persyaratan yang substansial dan dinilai oleh
Mahkamah lebih esensial dibandingkan persyaratan batasan usia yang bersifat
formal semata pada proses seleksi pimpinan KPK.
Selain itu, meskipun calon pimpinan KPK pada umumnya berasal dari
berbagai lembaga publik maupun kalangan / organisasi masyarakat sipil dengan
latar belakang pekerjaan dan pengalaman yang berbeda-beda, namun Mahkamah
mengakui bahwa calon pimpinan KPK yang telah memiliki pengalaman memimpin KPK
selama satu periode sebelumnya dinilai memiliki nilai lebih yang akan
memberikan keuntungan tersendiri bagi KPK.
Mereka dinilai telah memahami sistem kerja, permasalahan-permasalahan
yang dihadapi serta target kinerja yang ingin dicapai oleh lembaga anti korupsi
tersebut. Terlebih, hal-hal terkait pemberantasan korupsi baik pada ranah pencegahan
maupun penindakan (penegakan hukum) tidak jarang membutuhkan pengalaman yang
memadai dalam pelaksanaannya.
4. Menimbang bahwa terhadap hal yang dikemukakan dalam Putusan Mahkamah di
atas, saya menyepakati bahwa posisi pimpinan KPK ini seyogianya diisi oleh orang-orang
yang bukan saja hanya memenuhi syarat yang ditentukan oleh syarat yang secara
formal ditetapkan dalam angka 21 dari UU 19/2019 yang mengubah Pasal 29 UU
30/2002, tetapi juga seyogianya membuka ruang bagi orang yang meskipun
belum mencapai usia minimum yang ditentukan UU 19/2019 namun memiliki
kemampuan (kompetensi) dan pengalaman dalam melaksanakan tugas, fungsi dan
kewenangan KPK di bidang pemberantasan korupsi serta pemahaman terhadap sistem
kerja, permasalahan, dan target kinerja yang hendak dicapai oleh KPK.
Berdasarkan Putusan Mahkamah a quo,
ruang seperti ini berlaku bagi pimpinan KPK yang sedang menjabat dan secara hukum
masih dimungkinkan untuk mengikuti proses seleksi guna dipilih sebagai pimpinan
KPK untuk periode kedua atau periode terakhir bagi yang bersangkutan dalam hal
terpilih kembali, namun belum mencapai usia minimum setelah adanya syarat usia
minimum baru yang ditetapkan dalam UU 19/2019.
5. Menimbang bahwa terkait dengan pertimbangan dalam angka 4 di atas,
dalam batas penalaran yang wajar, menurut saya, jika dalam Putusan a quo Mahkamah telah memberikan ruang
pengecualian terhadap Pimpinan KPK yang terpilih berdasarkan proses seleksi
dengan syarat-syarat yang diatur dalam UU 30/2002, namun belum mencapai syarat
umur minimum 50 (lima puluh) tahun untuk dapat dipilih (kembali) menjadi
pimpinan KPK berdasarkan UU 19/2019, maka dengan mengacu pada prinsip
rasionalitas seyogianya Mahkamah juga memberikan ruang pengecualian yang sama
kepada pegawai yang bekerja di KPK untuk menjadi calon pimpinan KPK, meskipun
dengan menetapkan persyaratan tertentu bagi pegawai KPK yang bersangkutan yang berbeda
dengan persyaratan untuk pimpinan KPK yang akan mengikuti kembali proses seleksi.
Persyaratan tertentu bagi pegawai KPK yang belum berumur 50 (lima
puluh) tahun yang akan mengikuti proses seleksi pimpinan KPK ini setidaknya,
menurut saya, mencakup 2 (dua) hal. Pertama, pegawai KPK yang bersangkutan
sekurang-kurangnya telah bekerja selama 10 (sepuluh) tahun berturut-turut, dan
kedua, pegawai KPK tersebut bekerja di bidang pencegahan korupsi dan/atau
penindakan (penegakan hukum) tindak pidana korupsi.
Menurut saya, masa waktu 10 (sepuluh) tahun tersebut cukup untuk menjadi ukuran
guna menguji kompetensi dan kapabilitas yang bersangkutan dalam melaksanakan
tugas dan fungsi kepemimpinan di KPK. Masa kerja 10 (sepuluh) tahun ini memang
berarti berbeda dengan hitungan masa kerja seorang pimpinan KPK yang 5 (lima)
tahun, namun perbedaan ini saya yakini masih dapat diterima dalam batas
penalaran yang wajar, oleh karena ruang lingkup tugas dan fungsi serta
tanggung jawab seorang pimpinan KPK berbeda dengan pegawai KPK.
Ukuran kuantitatif waktu atau masa bekerja di atas tentu harus dikaitkan
pula dengan pemenuhan syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam UU 19/2019.
Selain itu, masa kerja tersebut juga harus diuji dalam proses seleksi dengan
melihat rekam jejak dan capaian kinerja serta catatan etik pegawai KPK yang
akan mengikuti proses seleksi calon pimpinan KPK tersebut.
6. Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas dan dalam rangka
menjamin hak konstitusional berupa kesempatan yang sama dalam pemerintahan
sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945, menurut saya, dalil
para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian dan permohonan para
Pemohon patut dikabulkan sebagian, meskipun tidak sebagaimana yang dimohonkan
oleh Pemohon.
Oleh karenanya, Mahkamah seharusnya menyatakan Pasal 29 huruf e Undang- Undang
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “atau berpengalaman sebagai
Pegawai KPK yang bekerja di bidang pencegahan atau penindakan (penegakan hukum)
tindak pidana korupsi sekurangkurangnya selama 10 (sepuluh) tahun
berturut-turut”.
Sehingga selengkapnya Pasal 29 huruf e UU a quo berbunyi “Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: e. berusia
paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan
KPK atau berpengalaman sebagai Pegawai KPK yang bekerja di bidang pencegahan
atau penindakan (penegakan hukum) tindak pidana korupsi sekurang-kurangnya
selama 10 (sepuluh) tahun secara berturut-turut atau paling tinggi berusia 65
(enam puluh lima) tahun”.
***
Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh delapan Hakim
Konstitusi, yaitu Suhartoyo selaku Ketua merangkap Anggota, Saldi Isra,Enny
Nurbaningsih, Arsul Sani, Anwar Usman, Arief Hidayat, Daniel Yusmic P. Foekh,
dan M. Guntur Hamzah
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.