JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Efektivitas Hukum Vs. Efektivitas Moralitas

Sungguh Kasihan Negara yang Memproduksi Begitu Banyak Aturan Hukum namun Pelanggaran Kian Masif

Hanya Bangsa yang Miskin Moralitas yang Perlu Banyak Diatur oleh Hukum

Question: Saat ini aturan-aturan hukum dibentuk begitu masif, sudah menyerupai “hutan rimba belantara”. Ini dan itu itu diatur, namun mengapa justru kian banyak masyarakat yang melanggarnya? Kita menjadi patut untuk curiga, percuma mengatur banyak hal tentang ini dan itu kedalam aturan-aturan hukum yang melarangnya, bila moralitas penduduk suatu bangsa atau negaranya tergolong “bobrok”. Sebaliknya, dengan tingkat moralitas yang baik, negara bahkan tidak perlu terlampau terobsesi untuk produktif memproduksi berbagai aturan hukum dan undang-undang. Lagipula, bukankah semakin banyak dan tebal undang-undang seolah warga tidak punya pekerjaan lain, maka semakin sedikit orang yang mau membacanya? Jika semakin sedikit orang yang mau membacanya, maka atas dasar apa pemerintah berdelusi bahwa rakyatnya mau patuh terhadap hukum?

Brief Answer: Kita tahu bahwa rata-rata atau mayoritas penduduk Indonesia tergolong “agamais”, dalam artian mereka lebih memakan serta termakan hukum-hukum agama-syariat ketimbang hukum negara. Alhasil, sebanyak apapun hukum negara mengatur larangan, namun bila hukum agama justru menegasikannya lewat dogma-dogma KORUP semacam “PENGAMPUNAN / PENGHAPUSAN DOSA” maupun “PENEBUSAN DOSA” (abolition of sins), seakan menjadi percuma atau tidak mampu mengerem ataupun mengekang dan mengontrol sifat-sifat kehewanan serta premanisme penduduknya yang berparadigma “BUAT DOSA, SIAPA TAKUT? ADA PENGHAPUSAN DOSA!

Kita juga paham bahwa ideologi KORUP semacam “PENGHAPUSAN DOSA” bagi para “KORUPTOR DOSA” demikian, sifatnya selalu bundling alias berkomplomenter dengan “DOSA-DOSA UNTUK DIHAPUSKAN”. Ketika umat manusia tidak lagi takut berbuat dosa dan kejahatan seperti menyakiti, melukai, maupun merugikan pihak-pihak lainnya, maka “standar moralitas” umat pemeluknya menjadi serupa dengan “manusia hewan”—alih-alih berwatak “manusia manusia” terlebih “manusia dewa”. Para “KORUPTOR DOSA” demikian, dapat dipastikan akan senantiasa mencari-cari “celah hukum”, “pasang badan ketika melanggar hukum”, hingga “cuci tangan” maupun “cuci dosa” yang pada pokoknya ialah berkelit dari konsekuensi atas perbuatan-perbuatan buruknya sendiri.

PEMBAHASAN:

Miskin dan minimnya moralitas, membuat seseorang menyerupai ORANG BUTA, dimana yang baik dipandang sebagai buruk dan sebaliknya, yang tercela dipandang sebagai terpuji, sebagaimana khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID IV”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:

46 (3) Api

“Para bhikkhu, ada tujuh api ini. Apakah tujuh ini? Api nafsu, api kebencian, api delusi, api dari mereka yang layak menerima pemberian, api perumah tangga, api dari mereka yang layak menerima persembahan, api kayu. Ini adalah ketujuh api itu.”

~0~

47 (4) Pengorbanan

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu Brahmana Uggatasarīra telah melakukan persiapan untuk suatu pengorbanan besar. Lima ratus sapi jantan telah digiring ke tiang pengorbanan. Lima ratus kerbau … Lima ratus sapi muda … Lima ratus kambing … Lima ratus domba telah digiring ke tiang pengorbanan.

Kemudian Brahmana Uggatasarīra mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah-tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Aku telah mendengar, Guru Gotama, bahwa mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan adalah berbuah dan bermanfaat besar.”

“Aku juga, Brahmana, telah mendengar hal ini.”

Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya Brahmana Uggatasarīra berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut: “Aku telah mendengar, Guru Gotama, bahwa mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan adalah berbuah dan bermanfaat besar.”

“Aku juga, Brahmana, telah mendengar hal ini.”

“Kalau begitu [42] Guru Gotama dan aku sepenuhnya sepakat.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada Brahmana Uggatasarīra: “Brahmana, para Tathāgata seharusnya tidak ditanya sebagai berikut: ‘Aku telah mendengar, Guru Gotama, bahwa mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan adalah berbuah dan bermanfaat besar.’ Para Tathāgata seharusnya ditanya: ‘Bhante, aku ingin mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan. Sudilah Sang Bhagavā menasihatiku dan mengajariku sedemikian sehingga dapat mengarahkan aku pada kesejahteraanku dan kebahagiaanku untuk waktu yang lama.’”

Kemudian Brahmana Uggatasarīra berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, aku ingin mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan. Sudilah Guru Gotama menasihatiku dan mengajariku sedemikian sehingga dapat mengarahkan aku pada kesejahteraanku dan kebahagiaanku untuk waktu yang lama.”

“Brahmana, seseorang yang mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan, bahkan sebelum pengorbanan, telah mengacungkan tiga pisau yang tidak bermanfaat dan memiliki penderitaan sebagai hasil dan akibatnya. Apakah tiga ini? Pisau jasmani, pisau ucapan, dan pisau pikiran.

“Brahmana, seseorang yang mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan, bahkan sebelum pengorbanan, membangkitkan pemikiran sebagai berikut: ‘Mari menyembelih sapi sebanyak ini dalam pengorbanan! Mari menyembelih kerbau sebanyak ini … sapi-sapi muda sebanyak ini … kambing sebanyak ini … menyembelih domba sebanyak ini dalam pengorbanan!’

Walaupun ia [berpikir], ‘Biarlah aku melakukan kebaikan,’ namun ia melakukan kejahatan. Walaupun ia [berpikir], ‘Biarlah aku melakukan apa yang bermanfaat,’ namun ia melakukan apa yang tidak bermanfaat. Walaupun ia [berpikir], ‘Biarlah aku mengejar jalan menuju kelahiran kembali yang baik,’ namun ia mengejar jalan menuju kelahiran kembali yang buruk. Seseorang yang mengobarkan api pengorbanan dan [43] mendirikan tiang pengorbanan, bahkan sebelum pengorbanan, telah mengacungkan pisau pertama ini, pisau pikiran, yang tidak bermanfaat dan memiliki penderitaan sebagai hasil dan akibatnya.

“Kemudian, Brahmana, seseorang yang mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan, bahkan sebelum pengorbanan, telah mengucapkan ucapan sebagai berikut: ‘Mari menyembelih sapi sebanyak ini dalam pengorbanan! Kerbau sebanyak ini … sapi-sapi muda sebanyak ini … kambing sebanyak ini … menyembelih domba sebanyak ini dalam pengorbanan!’

Walaupun ia [berpikir], ‘Biarlah aku melakukan kebaikan,’ namun ia melakukan kejahatan. Walaupun ia [berpikir], ‘Biarlah aku melakukan apa yang bermanfaat,’ namun ia melakukan apa yang tidak bermanfaat. Walaupun ia [berpikir], ‘Biarlah aku mengejar jalan menuju kelahiran kembali yang baik,’ namun ia mengejar jalan menuju kelahiran kembali yang buruk. Seseorang yang mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan, bahkan sebelum pengorbanan, telah mengacungkan pisau ke dua ini, pisau ucapan, yang tidak bermanfaat dan memiliki penderitaan sebagai hasil dan akibatnya.

“Kemudian, Brahmana, seseorang yang mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan, bahkan sebelum pengorbanan, pertama-tama melakukan persiapan untuk menyembelih sapi-sapi dalam pengorbanan. Ia pertama-tama melakukan persiapan untuk menyembelih kerbau-kerbau dalam pengorbanan … untuk menyembelih sapi-sapi muda dalam pengorbanan … untuk menyembelih kambing-kambing dalam pengorbanan … untuk menyembelih domba-domba dalam pengorbanan.

Walaupun ia [berpikir], ‘Biarlah aku melakukan kebaikan,’ namun ia melakukan kejahatan. Walaupun ia [berpikir], ‘Biarlah aku melakukan apa yang bermanfaat,’ namun ia melakukan apa yang tidak bermanfaat. Walaupun ia [berpikir], ‘Biarlah aku mengejar jalan menuju kelahiran kembali yang baik,’ namun ia mengejar jalan menuju kelahiran kembali yang buruk. Seseorang yang mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan, bahkan sebelum pengorbanan, telah mengacungkan pisau ke tiga ini, pisau jasmani, yang tidak bermanfaat dan memiliki penderitaan sebagai hasil dan akibatnya.

“Brahmana, Seseorang yang mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan, bahkan sebelum pengorbanan, telah mengacungkan ketiga pisau ini yang tidak bermanfaat dan memiliki penderitaan sebagai hasil dan akibatnya.

(1) – (3) “Ada, Brahmana, tiga api ini yang harus ditinggalkan dan dihindari dan seharusnya tidak dilatih. Apakah tiga ini? [44] Api nafsu, api kebencian, dan api delusi.

(1) “Dan mengapakah api nafsu harus ditinggalkan dan dihindari dan tidak dilatih? Seseorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai konsekuensinya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Oleh karena itu api nafsu harus ditinggalkan dan dihindari dan seharusnya tidak dilatih.

(2) – (3) “Dan mengapakah api kebencianapi delusi harus ditinggalkan dan dihindari dan tidak dilatih? Seseorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai konsekuensinya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Oleh karena itu api delusi harus ditinggalkan dan dihindari dan seharusnya tidak dilatih.

“Ini adalah tiga api yang harus ditinggalkan dan dihindari dan seharusnya tidak dilatih.

(4) – (6) “Ada, Brahmana, tiga api ini yang harus dijaga dan dipelihara dengan baik dan dengan bahagia, setelah menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakannya. Apakah tiga ini? [45] Api mereka yang layak menerima pemberian, api perumah tangga, dan api mereka yang layak menerima persembahan.

(4) “Dan apakah api mereka yang layak menerima pemberian? Ibu dan ayah seseorang disebut api mereka yang layak menerima pemberian. Karena alasan apakah? Karena adalah dari mereka maka seseorang berasal-mula dan terlahir. Oleh karena itu, api mereka yang layak menerima pemberian ini harus dijaga dan dipelihara dengan baik dan dengan bahagia, setelah menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakannya.

(5) “Dan apakah api perumah tangga? Anak-anak, istri, para budak, para pelayan, dan para pekerja seseorang disebut api perumah tangga. Oleh karena itu, api perumah tangga ini harus dijaga dan dipelihara dengan baik dan dengan bahagia, setelah menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakannya.

(6) “Dan apakah api mereka yang layak menerima persembahan? Para petapa dan brahmana yang menghindari kemabukan dan kelengahan, yang kokoh dalam kesabaran dan kelembutan, yang telah jinak, tenang, dan berlatih untuk mencapai nibbāna disebut api mereka yang layak menerima persembahan. Oleh karena itu, api mereka yang layak menerima persembahan ini harus dijaga dan dipelihara dengan baik dan dengan bahagia, setelah menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakannya.

“Ini, Brahmana, adalah tiga api yang harus dijaga dan dipelihara dengan baik dan dengan bahagia, setelah menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakannya.

(7) “Tetapi, Brahmana, kayu api ini kadang-kadang harus dinyalakan, kadang-kadang harus dilihat dengan keseimbangan, kadang-kadang harus dipadamkan, dan kadang-kadang harus disingkirkan.”

Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Uggatasarīra berkata kepada Sang Bhagavā: “Bagus sekali, Guru Gotama! Bagus sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada seseorang yang tersesat, atau memegang pelita di dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung pada Guru Gotama, pada Dhamma, dan pada Sagha para bhikkhu. Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung mulai hari ini hingga seumur hidup.

“Guru Gotama, Aku membebaskan kelima ratus sapi itu dan membiarkan mereka hidup. Aku membebaskan kelima ratus kerbau itu dan membiarkan mereka hidup. Aku membebaskan kelima ratus sapi muda itu dan membiarkan mereka hidup. Aku membebaskan kelima ratus kambing itu dan membiarkan mereka hidup. Aku membebaskan kelima ratus domba itu dan membiarkan mereka hidup. Biarlah mereka memakan rumput hijau, meminum air sejuk, dan menikmati angin sejuk.”

Para “agamais” di republik bernama Indonesia, selama ini mabuk serta kecanduan ideologi KORUP bernama “PENGHAPUSAN DOSA” alias “KORUPSI DOSA”, mengingat sifatnya yang bundling dengan “DOSA-DOSA UNTUK DIHAPUSKAN”, sehingga sebanyak apapun hukum negara membuat aturan, maka dapat dipastikan akan terbentur pada fakta-realita bahwa moralitas penduduknya telah menjelma “tidak takut dan tidak malu berbuat dosa”, alias kompromistik terhadap dosa dan maksiat meski disaat bersamaan begitu intoleran terhadap kaum yang berbeda keyakinan—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:

- No. 4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan ampunan sebesar itu pula.

- No. 4857 : “Barang siapa membaca Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus kali dalam sehari, maka dosanya akan dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.

- No. 4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a; Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, selamatkanlah aku,”

- Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi. Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan sepenuh bumi pula. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No. 3540]

Mengapa puluhan nabi rasul Allah, kesemuanya gagal memusnahkan satupun maksiat paling primitif yang dikenal oleh peradaban umat manusia? Karena Allah butuh dosa dan maksiat agar iming-iming KORUP-nya berupa “PENGHAPUSAN DOSA” laku keras dimakan dan dipeluk oleh para PENDOSA yang menjadi umatnya. Bung, hanya seorang PENDOSA yang butuh PENGHAPUSAN DOSA, alias kaum atau kasta paling rendah, hina, kotor, tercela, nista, serta dangkal—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:

- No. 4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukkan sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku lakukan.’”

- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku,  serta ampunilah kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku,”

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]