Sungguh Kasihan Negara yang Memproduksi Begitu Banyak Aturan Hukum namun Pelanggaran Kian Masif
Hanya Bangsa yang Miskin Moralitas yang Perlu Banyak
Diatur oleh Hukum
Question: Saat ini aturan-aturan hukum dibentuk begitu masif, sudah menyerupai “hutan rimba belantara”. Ini dan itu itu diatur, namun mengapa justru kian banyak masyarakat yang melanggarnya? Kita menjadi patut untuk curiga, percuma mengatur banyak hal tentang ini dan itu kedalam aturan-aturan hukum yang melarangnya, bila moralitas penduduk suatu bangsa atau negaranya tergolong “bobrok”. Sebaliknya, dengan tingkat moralitas yang baik, negara bahkan tidak perlu terlampau terobsesi untuk produktif memproduksi berbagai aturan hukum dan undang-undang. Lagipula, bukankah semakin banyak dan tebal undang-undang seolah warga tidak punya pekerjaan lain, maka semakin sedikit orang yang mau membacanya? Jika semakin sedikit orang yang mau membacanya, maka atas dasar apa pemerintah berdelusi bahwa rakyatnya mau patuh terhadap hukum?
Brief Answer: Kita tahu bahwa rata-rata atau mayoritas
penduduk Indonesia tergolong “agamais”, dalam artian mereka lebih memakan serta
termakan hukum-hukum agama-syariat ketimbang hukum negara. Alhasil, sebanyak
apapun hukum negara mengatur larangan, namun bila hukum agama justru
menegasikannya lewat dogma-dogma KORUP semacam “PENGAMPUNAN / PENGHAPUSAN DOSA”
maupun “PENEBUSAN DOSA” (abolition of
sins), seakan menjadi percuma atau tidak mampu mengerem ataupun mengekang
dan mengontrol sifat-sifat kehewanan serta premanisme penduduknya yang
berparadigma “BUAT DOSA, SIAPA TAKUT? ADA
PENGHAPUSAN DOSA!”
Kita juga paham bahwa ideologi KORUP semacam
“PENGHAPUSAN DOSA” bagi para “KORUPTOR DOSA” demikian, sifatnya selalu bundling
alias berkomplomenter dengan “DOSA-DOSA UNTUK DIHAPUSKAN”. Ketika umat manusia
tidak lagi takut berbuat dosa dan kejahatan seperti menyakiti, melukai, maupun
merugikan pihak-pihak lainnya, maka “standar moralitas” umat pemeluknya menjadi
serupa dengan “manusia hewan”—alih-alih berwatak “manusia manusia” terlebih
“manusia dewa”. Para “KORUPTOR DOSA” demikian, dapat dipastikan akan senantiasa
mencari-cari “celah hukum”, “pasang badan ketika melanggar hukum”, hingga “cuci
tangan” maupun “cuci dosa” yang pada pokoknya ialah berkelit dari konsekuensi
atas perbuatan-perbuatan buruknya sendiri.
PEMBAHASAN:
Miskin dan minimnya moralitas, membuat seseorang
menyerupai ORANG BUTA, dimana yang baik dipandang sebagai buruk dan sebaliknya,
yang tercela dipandang sebagai terpuji, sebagaimana khotbah Sang Buddha
dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID IV”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”,
diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications
2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah
Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:
46 (3) Api
“Para bhikkhu, ada tujuh api
ini. Apakah tujuh ini? Api nafsu, api kebencian, api delusi, api dari mereka yang
layak menerima pemberian, api perumah tangga, api dari mereka yang layak menerima
persembahan, api kayu. Ini adalah ketujuh api itu.”
~0~
47 (4) Pengorbanan
Pada suatu ketika Sang Bhagavā
sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu Brahmana Uggatasarīra
telah melakukan persiapan untuk suatu pengorbanan besar. Lima ratus
sapi jantan telah digiring ke tiang pengorbanan. Lima ratus kerbau … Lima ratus
sapi muda … Lima ratus kambing … Lima ratus domba telah digiring ke tiang
pengorbanan.
Kemudian Brahmana Uggatasarīra
mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka
telah mengakhiri ramah-tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang
Bhagavā:
“Aku telah mendengar, Guru
Gotama, bahwa mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan
adalah berbuah dan bermanfaat besar.”
“Aku juga, Brahmana, telah
mendengar hal ini.”
Untuk ke dua kalinya … Untuk ke
tiga kalinya Brahmana Uggatasarīra berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut:
“Aku telah mendengar, Guru Gotama, bahwa mengobarkan api pengorbanan dan
mendirikan tiang pengorbanan adalah berbuah dan bermanfaat besar.”
“Aku juga, Brahmana, telah
mendengar hal ini.”
“Kalau begitu [42] Guru Gotama
dan aku sepenuhnya sepakat.”
Ketika hal ini dikatakan, Yang
Mulia Ānanda berkata kepada Brahmana Uggatasarīra: “Brahmana, para Tathāgata
seharusnya tidak ditanya sebagai berikut: ‘Aku telah mendengar, Guru Gotama, bahwa
mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan adalah berbuah dan
bermanfaat besar.’ Para Tathāgata seharusnya ditanya: ‘Bhante, aku ingin
mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan. Sudilah Sang Bhagavā
menasihatiku dan mengajariku sedemikian sehingga dapat mengarahkan aku pada
kesejahteraanku dan kebahagiaanku untuk waktu yang lama.’”
Kemudian Brahmana Uggatasarīra
berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, aku ingin mengobarkan api
pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan. Sudilah Guru Gotama menasihatiku
dan mengajariku sedemikian sehingga dapat mengarahkan aku pada
kesejahteraanku dan kebahagiaanku untuk waktu yang lama.”
“Brahmana, seseorang yang
mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan, bahkan sebelum
pengorbanan, telah mengacungkan tiga pisau yang tidak bermanfaat dan memiliki
penderitaan sebagai hasil dan akibatnya. Apakah tiga ini? Pisau jasmani,
pisau ucapan, dan pisau pikiran.
“Brahmana, seseorang yang
mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan, bahkan sebelum
pengorbanan, membangkitkan pemikiran sebagai berikut: ‘Mari menyembelih sapi
sebanyak ini dalam pengorbanan! Mari menyembelih kerbau sebanyak ini …
sapi-sapi muda sebanyak ini … kambing sebanyak ini … menyembelih domba sebanyak
ini dalam pengorbanan!’
“Walaupun ia [berpikir],
‘Biarlah aku melakukan kebaikan,’ namun ia melakukan kejahatan. Walaupun ia
[berpikir], ‘Biarlah aku melakukan apa yang bermanfaat,’ namun ia melakukan apa
yang tidak bermanfaat. Walaupun ia [berpikir], ‘Biarlah aku mengejar jalan
menuju kelahiran kembali yang baik,’ namun ia mengejar jalan menuju kelahiran
kembali yang buruk. Seseorang yang mengobarkan api pengorbanan dan [43]
mendirikan tiang pengorbanan, bahkan sebelum pengorbanan, telah mengacungkan
pisau pertama ini, pisau pikiran, yang tidak bermanfaat dan memiliki
penderitaan sebagai hasil dan akibatnya.
“Kemudian, Brahmana, seseorang
yang mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan, bahkan
sebelum pengorbanan, telah mengucapkan ucapan sebagai berikut: ‘Mari
menyembelih sapi sebanyak ini dalam pengorbanan! Kerbau sebanyak ini …
sapi-sapi muda sebanyak ini … kambing sebanyak ini … menyembelih domba sebanyak
ini dalam pengorbanan!’
“Walaupun ia [berpikir],
‘Biarlah aku melakukan kebaikan,’ namun ia melakukan kejahatan. Walaupun ia
[berpikir], ‘Biarlah aku melakukan apa yang bermanfaat,’ namun ia melakukan apa
yang tidak bermanfaat. Walaupun ia [berpikir], ‘Biarlah aku mengejar jalan
menuju kelahiran kembali yang baik,’ namun ia mengejar jalan menuju kelahiran
kembali yang buruk. Seseorang yang mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan
tiang pengorbanan, bahkan sebelum pengorbanan, telah mengacungkan pisau ke dua
ini, pisau ucapan, yang tidak bermanfaat dan memiliki penderitaan sebagai hasil
dan akibatnya.
“Kemudian, Brahmana, seseorang
yang mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan, bahkan
sebelum pengorbanan, pertama-tama melakukan persiapan untuk menyembelih
sapi-sapi dalam pengorbanan. Ia pertama-tama melakukan persiapan untuk
menyembelih kerbau-kerbau dalam pengorbanan … untuk menyembelih sapi-sapi muda
dalam pengorbanan … untuk menyembelih kambing-kambing dalam pengorbanan … untuk
menyembelih domba-domba dalam pengorbanan.
“Walaupun ia [berpikir],
‘Biarlah aku melakukan kebaikan,’ namun ia melakukan kejahatan. Walaupun ia
[berpikir], ‘Biarlah aku melakukan apa yang bermanfaat,’ namun ia melakukan apa
yang tidak bermanfaat. Walaupun ia [berpikir], ‘Biarlah aku mengejar jalan
menuju kelahiran kembali yang baik,’ namun ia mengejar jalan menuju kelahiran
kembali yang buruk. Seseorang yang mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan
tiang pengorbanan, bahkan sebelum pengorbanan, telah mengacungkan pisau ke tiga
ini, pisau jasmani, yang tidak bermanfaat dan memiliki penderitaan sebagai
hasil dan akibatnya.
“Brahmana, Seseorang yang
mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan, bahkan sebelum
pengorbanan, telah mengacungkan ketiga pisau ini yang tidak bermanfaat dan
memiliki penderitaan sebagai hasil dan akibatnya.
(1) – (3) “Ada, Brahmana, tiga
api ini yang harus ditinggalkan dan dihindari dan seharusnya tidak dilatih.
Apakah tiga ini? [44] Api nafsu, api kebencian, dan api delusi.
(1) “Dan mengapakah api
nafsu harus ditinggalkan dan dihindari dan tidak dilatih? Seseorang yang
tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh
nafsu, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai
konsekuensinya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali
di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Oleh
karena itu api nafsu harus ditinggalkan dan dihindari dan seharusnya tidak
dilatih.
(2) – (3) “Dan mengapakah api
kebencian … api delusi harus ditinggalkan dan dihindari dan tidak
dilatih? Seseorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran
dikuasai oleh delusi, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan
pikiran. Sebagai konsekuensinya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia
terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah,
di neraka. Oleh karena itu api delusi harus ditinggalkan dan dihindari dan
seharusnya tidak dilatih.
“Ini adalah tiga api yang harus
ditinggalkan dan dihindari dan seharusnya tidak dilatih.
(4) – (6) “Ada, Brahmana, tiga
api ini yang harus dijaga dan dipelihara dengan baik dan dengan bahagia,
setelah menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakannya. Apakah tiga
ini? [45] Api mereka yang layak menerima pemberian, api perumah tangga, dan api
mereka yang layak menerima persembahan.
(4) “Dan apakah api mereka yang
layak menerima pemberian? Ibu dan ayah seseorang disebut api mereka yang layak
menerima pemberian. Karena alasan apakah? Karena adalah dari mereka maka seseorang
berasal-mula dan terlahir. Oleh karena itu, api mereka yang layak menerima
pemberian ini harus dijaga dan dipelihara dengan baik dan dengan bahagia,
setelah menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakannya.
(5) “Dan apakah api perumah
tangga? Anak-anak, istri, para budak, para pelayan, dan para pekerja seseorang
disebut api perumah tangga. Oleh karena itu, api perumah tangga ini harus dijaga
dan dipelihara dengan baik dan dengan bahagia, setelah menghormati, menghargai,
menjunjung, dan memuliakannya.
(6) “Dan apakah api mereka yang
layak menerima persembahan? Para petapa dan brahmana yang menghindari
kemabukan dan kelengahan, yang kokoh dalam kesabaran dan kelembutan, yang telah
jinak, tenang, dan berlatih untuk mencapai nibbāna disebut api mereka yang
layak menerima persembahan. Oleh karena itu, api mereka yang layak menerima
persembahan ini harus dijaga dan dipelihara dengan baik dan dengan bahagia, setelah
menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakannya.
“Ini, Brahmana, adalah tiga api
yang harus dijaga dan dipelihara dengan baik dan dengan bahagia, setelah
menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakannya.
(7) “Tetapi, Brahmana, kayu api
ini kadang-kadang harus dinyalakan, kadang-kadang harus dilihat dengan
keseimbangan, kadang-kadang harus dipadamkan, dan kadang-kadang harus disingkirkan.”
Ketika hal ini dikatakan,
Brahmana Uggatasarīra berkata kepada Sang Bhagavā: “Bagus sekali, Guru Gotama!
Bagus sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam berbagai
cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang
tersembunyi, menunjukkan jalan kepada seseorang yang tersesat, atau memegang
pelita di dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat
bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung pada Guru Gotama, pada Dhamma, dan pada
Saṅgha para bhikkhu. Sudilah Guru
Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung mulai hari
ini hingga seumur hidup.
“Guru Gotama, Aku
membebaskan kelima ratus sapi itu dan membiarkan mereka hidup. Aku membebaskan
kelima ratus kerbau itu dan membiarkan mereka hidup. Aku membebaskan kelima
ratus sapi muda itu dan membiarkan mereka hidup. Aku membebaskan kelima ratus
kambing itu dan membiarkan mereka hidup. Aku membebaskan kelima ratus domba itu
dan membiarkan mereka hidup. Biarlah mereka memakan rumput hijau, meminum air
sejuk, dan menikmati angin sejuk.”
Para “agamais” di republik
bernama Indonesia, selama ini mabuk serta kecanduan ideologi KORUP bernama
“PENGHAPUSAN DOSA” alias “KORUPSI DOSA”, mengingat sifatnya yang bundling
dengan “DOSA-DOSA UNTUK DIHAPUSKAN”, sehingga sebanyak apapun hukum negara
membuat aturan, maka dapat dipastikan akan terbentur pada fakta-realita bahwa
moralitas penduduknya telah menjelma “tidak takut dan tidak malu berbuat dosa”,
alias kompromistik terhadap dosa dan maksiat meski disaat bersamaan begitu
intoleran terhadap kaum yang berbeda keyakinan—kesemuanya dikutip dari Hadis
Sahih Muslim:
- No.
4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi
bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan
ampunan sebesar itu pula.”
- No.
4857 : “Barang siapa membaca
Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus
kali dalam sehari, maka dosanya akan
dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.”
- No.
4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a;
Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”
- No.
4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk
Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian
disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini
warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku,
kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku
rizki).”
- No.
4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya
saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha
Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu
memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
selamatkanlah aku,”
- Aku
mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja
yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya,
‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih
Bukhari 6933]
- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah
ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap
kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi.
Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai
setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi
ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan
sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan
sepenuh bumi pula”. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No.
3540]
Mengapa
puluhan nabi rasul Allah, kesemuanya gagal memusnahkan satupun maksiat paling
primitif yang dikenal oleh peradaban umat manusia? Karena Allah butuh dosa dan
maksiat agar iming-iming KORUP-nya berupa “PENGHAPUSAN DOSA” laku keras dimakan
dan dipeluk oleh para PENDOSA yang menjadi umatnya. Bung, hanya seorang PENDOSA
yang butuh PENGHAPUSAN DOSA, alias kaum atau kasta paling rendah, hina, kotor,
tercela, nista, serta dangkal—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:
- No.
4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah
tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah
menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa
sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan
yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No.
4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang
do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia
menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku
lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No.
4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari keburukkan
sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku
lakukan.’”
- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan
perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku, serta ampunilah
kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada
diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas
dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang
aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya
daripada aku,”
- Aisyah
bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya
bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu
maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi
seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR
Bukhari Muslim]