Jenis Amar Putusan Pengadilan yang Seketika dapat Dieksekusi Tanpa Jurusita Pengadilan

LEGAL OPINION

Question: Apakah semua putusan pengadilan perkara perdata, hanya dapat dieksekusi putusannya bila pihak yang kalah gugatan tidak secara sukarela melaksanakan perintah sesuai isi amar putusan hakim, lewat peran jurusita dari pengadilan? Jika putusan pidana, eksekutornya ialah dari Kejaksaan, maka apakah dalam putusan perdata, tanpa adanya sikap kooperatif dari pihak jurusita pengadilan, artinya kemenangan dalam gugatan tidak lagi memiliki artinya karena tidak dapat dieksekusi sendiri secara swadaya oleh pihak penggugat yang menang gugatan?

Brief Answer: Jumlah jurusita di pengadilan sangatlah terbatas, disamping sifatnya sangat kaku-formalistis dan birokratis yang tidak jarang lebih kompleks daripada memenangkan sebuah perkara gugatan, mengingat masih sangat maraknya kolusi di lembaga peradilan akibat monopolistik kewenangan jurusita pengadilan sehingga “daya tawar” masyarakat pencari keadilan seolah-olah lebih lemah dan tertekan secara politis, disamping berbagai pungutan liar dan tidak jarang terjadi pengabaian dan penelantaran terhadap permohonan eksekusi oleh pihak warga yang telah mengantungi kemenangan gugatan ketika menghadap pengadilan.

Mengingat pula begitu masifnya jumlah perkara gugatan serta kebutuhan masyarakat, yang tidak pernah berbanding lurus dengan sarana maupun fasilitas eksekusi perdata di pengadilan, maka sudah sejak lama terdapat jenis-jenis amar putusan perkara perdata yang dalam “best practice” tataran eksekusinya mengeliminir alias tidak membutuhkan peran jurusita pengadilan sama sekali—keberlakuan “asas pragmatis-kemanfaatan” disamping “asas kepastian hukum”, mengingat asas keadilan telah tertuang dalam amar putusan yang selanjutnya hanya cukup ditindak-lanjuti oleh para stakeholders.

Sebagai contoh, putusan perkara perceraian, yang dalam amar putusan menyebutkan, “Menyatakan putus perkawinan antara Penggugat dan Tergugat akibat perceraian.Amar putusan demikian bahkan sama sekali tidak membutuhkan peran jurusita pengadilan untuk mengeksekusinya, dimana warga yang mengajukan gugat-menggugat perceraian cukup berbekal amar putusan dapat menghadap sendiri kantor atau instansi Catatan Sipil untuk mendaftarkan perceraiannya, dimana pihak petugas pada Catatan Sipil setempat cukup mencatat pendaftarannya berdasarkan amar putusan yang otentik. Pada prinsipnya, adalah mustahil dengan jumlah personel jurusita pengadilan yang terbatas, mampu mengakomodir seluruh kebutuhan eksekusi putusan oleh ribuan atau bahkan puluhan ribu gugatan yang terjadi sepanjang tahunnya.

Sama halnya dengan jenis amar putusan gugatan perdata terkait gugat-menggugat “Hak Asuh” anak, maka secara administrasi kependudukan sang anak dapat secara serta-merta ditindak-lanjuti oleh pihak Catatan Sipil setempat untuk memindahkan kedudukan hukum atau domisili dalam Kartu Keluarga kepada salah satu Kartu Keluarga orangtuanya yang diberikan “Hak Asuh” terhadap sang anak karena perceraian membawa konsekuensi Kartu Keluarga kedua orangtuanya saling terpisahkan serta bisa jadi saling berbeda domisili tempat tinggal kependudukan.

Sama halnya dalam konteks Penetapan Pengadilan terhadap permohonan warga, semisal “Penetapan Audit Investigasi”, “Penetapan Pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa” ketika kuorum tidak memenuhi standar ketentuan yang ada, “Penetapan Wali Anak Dibawah Umur” dimana sang orangtua hendak mewakili anaknya yang belum cakap hukum untuk melakukan perbuatan hukum untuk serta atas nama sang anak, “Penetapan Pengampuan”, dan lain sebagainya, kesemua itu bahkan sama sekali tidak membutuhkan peran pengadilan ataupun jurusita pengadilan untuk mengeksekusi dan menindak-lanjutinya, dimana karenanya dapat dieksekusi sendiri oleh pihak Pemohon secara serta-merta dan secara mandiri.

PEMBAHASAN:

Dalam sebuah amar putusan maupun penetapan pengadilan perkara perdata, dapat mengandung salah satu atau lebih dari tiga jenis opsi karakter amar putusan yang dapat dijatuhkan oleh Majelis Hakim di persidangan, yang sangat bergantung pada “petitum” atau pokok permintaan di dalam surat gugatan para pihak yang bersengketa maupun berdasarkan permohonan warga pemohon, yakni:

- amar bersifat “declaratoir” atau bersifat “deklaratif”, dimana karakternya ialah hanya sebatas mendeklarasikan semata. Ciri khasnya, ialah terletak pada frasa “menyatakan”. Sebagai contoh, hakim lewat amar putusan maupun penetapan pengadilan mempertegas bahwasannya : “Menyatakan bahwa Objek Sengketa adalah milik Penggugat”, “Menyatakan bahwa Pelawan adalah Pelawan yang benar”, “Menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum”, “Menyatakan bahwa hibah wasiat tertanggal ... telah melanggar hak mutlak ahli waris (legitime portie)”, “Menyatakan bahwa Penggugat ialah wali dari anaknya yang bernama ... untuk melakukan perbuatan hukum terkait ...”, dsb;

- amar bersifat “constitutief” atau bersifat “konstitutif”, dimana karakternya ialah merubah status hukum dari yang sebelumnya menjadi berkebalikan dengan status hukum semula. Sebagai contoh, amar putusan dengan bunyi : “Menyatakan pailit pihak Termohon Pailit sejak putusan ini dibacakan”, “Menyatakan batal Sertifikat Hak Guna Bangunan nomor ... ”, “Menyatakan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat putus karena perceraian”, “Menyatakan batal perjanjian nomor ... tanggal ... karena tidak memenuhi syarat sah perjanjian”, “Menyatakan batal Surat Keputusan Gubernur ... nomor ... tanggal ... tentang Izin Reklamasi”, “Menyatakan batal Undang-Undang ... Nomor ... Tahun ... tentang ...”, dsb; dan/atau

- amar bersifat “condemnatoir” bersifat “menghukum” (dari akar kata “to condemn”). Ciri khas tipe amar putusan ini, dicirikan oleh bunyinya tegas didahului oleh frasa “Menghukum...” atau berupa frasa “Memerintahkan...”. Sebagai contoh, amar putusan berbunyi : “Menghukum Tergugat untuk membayar hutang sebesar Rp. ...”, “Menghukum Tergugat untuk mengosongkan Objek Sengketa dan menyerahkannya kepada Penggugat”, “Memerintahkan Tergugat untuk menghentikan perbuatannya berupa pembangunan rumah baru tanpa Izin Mendirikan Bangunan”, “Menghukum Tergugat untuk membayar Nafkah Hak Alimentasi anak dan Nafkah bagi mantan istri sebesar Rp. ... untuk setiap bulannya”, dsb.

Dalam praktik peradilan maupun kebijakan yang berlaku di Mahkamah Agung Republik Indonesia, hanya jenis amar putusan “condemnatoir” semata yang dapat dimohon eksekusinya kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat lewat jurusita pengadilan—prinsip yang mana berlaku bagi amar putusan hakim maupun terhadap “Acta Van Dading”. Sehingga, dengan kata lainnya, tipe atau jenis amar putusan “declaratoir” maupun tipe amar putusan “constitutief” SAMA SEKALI TIDAK DAPAT DIEKSEKUSI LEWAT PERAN JURUSITA PENGADILAN KARENA BUKAN DOMAIN PENGADILAN UNTUK MENGEKSEKUSINYA—namun bisa jadi kewenangan instansi pemerintahan terkait sesuai kewenangannya masing-masing Lembaga Eksekutif.

Secara tataran falsafah hukum acara perdata, “Lembaga Yudikatif” semestinya hanya berwenang mengadili, bukan mengeksekusi. Karenanya, seorang jurusita pengadilan sekalipun bernaung pada berbagai lembaga pengadilan, sejatinya secara administrasi tata usaha negara tergolong sebagai “Lembaga Eksekutif”. Karenanya, mengingat seorang jurusita pengadilan adalah terolong “eksekutif”, maka para “eksekutif” lainnya pada berbagai “Lembaga Eksekutif” di kantor-kantor pemerintahan juga memiliki kewenangan yang sama untuk mengeksekusi putusan pengadilan. itulah sebabnya, Kejaksaan menjadi eksekutor putusan pidana, dimana Kejaksaan termasuk pula “Lembaga Eksekutif”.

Bukan amar putusan dengan jenis amar bertipe “condemnatoir” menjadi domain jurusita pengadilan untuk mengeksekusinya, maka putusan maupun penetapan pengadilan yang mengandung amar putusan “constitutief” menjadi kewenangan masing-masing instansi pemerintahan terkait sesuai kewenagannya untuk menindak-lanjuti amar putusan secara serta-merta setelah status putusan maupun penetapan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) tanpa memerlukan peran penengah semacam jurusita pengganti.

Sebagaimana kita ketahui, secara konsep dasariahnya, seluruh pejabat negara ataupun instansi pemerintah lengkap dengan Aparatur Sipil Negara yang bertugas sesuai tugas pokok, fungsi, dan kewenangannya, merupakan Lembaga Eksekutif, yang artinya disamping memiliki kewenangan menjalankan regulasi yang berlaku, juga berwenang untuk mengeksekusi putusan pengadilan terutama terkait administrasi maupun amar berjenis “constitutief”. Karenanya juga, “eksekusi pengosongan” sepanjang telah terdapat putusan yang “inkracht”, dapat juga menjadi domain Lembaga Kepolisian, bukan hanya kewenangan jurusita pengadilan, karena sama-sama tergolong sebagai “(Lembaga) Eksekutif”.

Sebagai contoh, amar putusan “constitutief” berupa “Menyatakan batal Sertifikat Hak Pakai Nomor ... yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan ...”, yang mana biasanya juga menyertai amar “condemnatoir” berupa “Memerintahkan Kantor Pertanahan ... untuk mencoret Buku Tanah Nomor ...”. Dalam perkara kepailitan, kurator yang kemudian mengeksekusinya sebagai likuidator dan eksekutor penetapan pailit. Begitupula perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pihak pengurus yang ditunjuk dalam amar putusan yang secara serta-merta berwenang melakukan kewenangan eksekusinya, tanpa peran jurusita pengadilan.

Sama halnya dengan sebuah agunan yang telah dibebani Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang-piutang, pihak kreditor pemegang Hak Tanggungan dapat secara serta-merta mengeksekusi dengan kewenangannya sendiri dengan berbekal Sertifikat Hak Tanggungan ke hadapan Kantor Lelang Negara, sama sekali TANPA PERAN PENGADILAN SERTA TANPA PERAN SEORANG JURUSITA. Adalah sangat tidak efisien disamping tidak efektif, bilamana untuk eksekusi terhadap jaminan Fidusia maupun Hak Tanggungan memerlukan keterlibatan pengadilan maupun seorang jurusita pengadilan untuk mengeksekusinya.

Kesimpulan serta rekomendasi SHIETRA & PARTNERS:

Kerap terjadi, kemenangan dalam gugatan perdata menjadi lembaran baru permasalahan hukum yang lebih kompleks daripada memenangkan gugatan itu sendiri, mengingat betapa sukarnya menghadapi birokrasi peradilan disamping sikap jurusita pengadilan yang kurang bersahabat disamping pula berbagai aksi “pungutan liar” (pungli) yang masif dan berbiaya tinggi. Karenanya, kemenangan dalam sebuah gugatan, bukan akhir dari segalanya, namun tidak jarang terjadi menjadi awal dari lembaran baru sengketa hukum yang lebih problematik karena termonopoli kewenangan jurusita pengadilan.

Untuk mengatasi potensi putusan pengadilan tidak dapat dieksekusi akibat tidak kooperatifnya pihak jurusita pengadilan, maka seorang litigator dituntut untuk mampu merancang “petitum” (yakni pokok permintaan dalam surat gugatan maupun surat permohonan) yang disusun sedemikian rupa agar dapat dieksekusi secara serta-merta serta secara efisien disamping efektif dengan cara menyisihkan peran jurusita pengadilan dalam eksekusinya. Untuk itu kreativitas disamping ketelitian dalam menyusun “petitum”, menjadi krusial dalam rangka memastikan gugatan tidak menjelma “menang diatas kertas”. Kemenangan dan memenangkan gugatan, adalah satu hal, sementara eksekusinya menjadi hal lain lagi yang sejatinya tidak terpisahkan sebagai satu kesatuan “grand design” atau “blue print” sejak semula merancang surat gugatan.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.