Talents are Less Degrees to the Simplicity and Honesty of Life

There is someone who has a talent in the form of a genius brain,
Able to create firearms and weapons of mass destruction.
But look now,
The world is like a battlefield,
Not unlike the hell of the world.
The talent of intelligence that incarnates disaster for the civilization of mankind.
Many people also have the extraordinary ability to assemble and play words,
So that he was able to overturn the logic of his audience,
Manipulating the brains of his listeners,
Or to give rise to a false belief nestled to the mind of his audience.
A talent that can also potentially incarnate disaster for others as well as for himself.
Not a few also to be able to meet people who have a natural talent to move many people,
Mobilize large crowds of people,
Having thousands of followers who even willingly die, in order to defend the leader,
With a charisma capable of bewitching his fans,
To make his followers like bloodthirsty robots that have been brainwashed.
Did not Lord Acton ever warn us,
Strength tend to become corrupt,
While the absolute power, gave birth to a completely corrupt attitude.
Maybe also a beauty,
Like a beautiful flower that is blooming seductively,
Drawing the attention of the naughty men,
Resulting in his own fears about the fate of the beautiful-looking girl.
While,
Women with ugly faces,
Having difficulty living in looking for lovers,
Though it can also be interpreted as a natural talent in the form of an aura to keep the good-looking man away from him ... (Just kidding!)
Some have the talent for being materially rich,
But it would be more beautiful to have a natural talent to be able to survive amid all the economic limitations, which has been entrapping him,
Is not it?
But there are also people who do not have any talent brought by him since birth,
But because of hard work and persistent nature to take the difficult path with the existing limitations,
Himself a source of inspiration that is able to move many people to be able to appreciate life.
There are also many of us who do not have any talent,
But amid the attitude of simple life,
Reflected the nature of honesty and pure sincerity,
Being the moonlight when the sky is black,
Illuminate many of the Earth's inhabitants in the dark.

© HERY SHIETRA Copyright.

Ada seseorang yang memiliki bakat berupa otak yang jenius,
Mampu menciptakan senjata api dan senjata pemusnah masal.
Namun lihatlah kini,
Dunia bagai medan tempur,
Tidak berbeda dengan neraka dunia.
Bakat kecerdasan yang menjelma petaka bagi peradaban umat manusia.
Banyak juga orang yang memiliki kemampuan luar biasa dalam merangkai dan memainkan kata,
Sehingga dirinya mampu untuk menjungkir-balikkan logika para pendengarnya,
Memanipulasi otak para pendengarnya,
Atau untuk menimbulkan keyakinan semu yang disarangkan pada pikiran para pendengarnya.
Sebuah bakat yang juga dapat berpotensi menjelma petaka bagi orang lain maupun bagi dirinya sendiri.
Tidak sedikit pula untuk dapat kita jumpai orang-orang yang memiliki talenta alami untuk menggerakkan banyak orang,
Memobilisasi kerumunan manusia dalam jumlah besar,
Memiliki ribuan pengikut yang bahkan rela mati demi membela sang pemimpin,
Dengan kharisma yang mampu menyihir para penggemarnya,
Hingga membuat para pengikutnya bagai robot-robot haus darah yang telah dicuci otak.
Bukankah Lord Acton pernah memperingatkan kita,
Kekuatan cenderung atau bertendensi menjadi korup,
Sementara kekuatan yang absolut, melahirkan sikap korup sepenuhnya.
Mungkin juga sebuah kecantikan,
Bagai sekuntum bunga indah yang sedang mekar secara menggoda,
Menarik perhatian para pria nakal,
Mengakibatkan ketakutan tersendiri terhadap nasib sang gadis berwajah cantik tersebut.
Sementara,
Wanita-wanita dengan wajah buruk rupa,
Mengalami kesulitan hidup dalam mencari kekasih,
Meski bisa juga itu ditafsirkan sebagai, talenta natural berupa aura untuk menjauhkan lelaki tampan dari dirinya... (Hanya bercanda!)
Ada yang memiliki bakat untuk menjadi kaya secara materi,
Namun akan lebih indah memiliki talenta alamiah untuk mampu bertahan hidup ditengah segala keterbatasan ekonomi yang menjerat dirinya,
Bukankah begitu?
Namun ada juga orang-orang yang tidak memiliki bakat apapun yang dibawa olehnya sejak lahir,
Namun karena kerja keras dan sifat gigihnya menempuh jalan yang sukar dengan keterbatasan yang ada,
Dirinya menjadi sumber inspirasi yang mampu menggerakkan banyak orang untuk mampu menghargai hidup.
Banyak juga orang-orang diantara kita yang tidak memiliki talenta apapun,
Namun ditengah sikap hidup sederhanya,
Tercermin sifat kejujuran dan ketulusan yang murni,
Menjadi cahaya rembulan dikala langit hitam pekat,
Menerangi banyak penghuni Bumi ini disaat kegelapan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Free Choice Always Lies in Our Ability to be Honest with Ourselves

The greatest treasure of mankind,
It is free will and free choice,
That is the potential to choose and make decisions for himself,
It is not a being that lies outside of us.
Many of us,
Who do not even realize the hidden treasure within themselves.
The potential of free will and free choice thus,
Need to be sharpened and excavated,
In order not to become dull or even begin to rust.
The boundaries of free will and free choice are thus,
It is a taste of morality and a sense of responsibility as a dignified and civilized human being.
When the choice and free will are deprived of a person,
Through physical coercion and blind adherence ideology,
It is then that a person can no longer be called a human being,
But as a prisoner or as a slave.
Even,
A prisoner of war may choose to remain in possession of an independent mind and belief,
Though their bodies were handcuffed by heavy, strangling chains.
The main problem,
Not because we're in captivity or imprisoned,
But often,
We forget or neglect our free choice and our ability to have free will.
Choice and free will need to be addressed with wisdom,
Should we be silent, or have to take immediate action at that moment,
Whether we should say something, or temporarily hold back,
Do we have to save, or have to dare to invest,
Whether we should hide, or take risks against,
Do we have to bow down, or rebel,
Do we have to do it instantaneously, rovolution, or need to carry out evolution,
Whether we should hurry, or settle the matter for a while,
Should we agree, or object to,
Whether we should accept, or reject and argue,
Do we have to swallow, or vomit,
Whether we should choose to starve, or steal someone else's food,
Or when we are dealing with various situations felt dilemma though.
Maybe we feel cornered or depressed by an unfortunate circumstance,
But we always have a free choice to choose,
And often the wisest choice is the most painful and the most bitter option for us.
But is not the fact always bitter?
Nevertheless,
We will not be able to grow if we do not dare to face the pain and fear.
Forever we will be cowards,
Hiding behind the excuse there is no other choice,
Although we always have a free will to choose,
Even if the last option is to starve to death,
Instead of having to make others suffer from hunger due to the selfishness of ourselves.
Free choice always lies in our ability to be honest with ourselves.

© HERY SHIETRA Copyright.

Harta terbesar umat manusia,
Ialah kehendak bebas dan pilihan bebas,
Yakni potensi untuk memilih dan mengambil keputusan bagi dirinya sendiri,
Bukan suatu wujud yang terletak diluar diri kita.
Banyak diantara kita,
Yang bahkan tidak menyadari harta terpendam didalam diri mereka sendiri.
Potensi kehendak bebas dan pilihan bebas demikian,
Perlu diasah dan digali,
Agar tidak menjadi tumpul atau bahkan mulai berkarat.
Batasan dari kehendak bebas dan pilihan bebas demikian,
Ialah citarasa moralitas dan rasa bertanggung jawab sebagai manusia yang bermartabat sekaligus beradab.
Ketika pilihan dan kehendak bebas tersebut dicabut dari diri seseorang,
Lewat paksaan fisik maupun ideologi kepatuhan membuta,
Maka pada saat itulah seseorang tidak lagi dapat disebut sebagai seorang manusia,
Namun sebagai seorang tawanan atau sebagai seorang budak.
Bahkan,
Seorang tawanan perang sekalipun dapat memilih untuk tetap memiliki pikiran dan keyakinan yang merdeka,
Sekalipun tubuh mereka diborgol oleh rantai yang berat dan mencekik.
Masalah utamanya,
Bukan karena kita sedang ditawan atau dipenjara,
Namun kerap terjadi,
Kita lupa atau abai terhadap pilihan bebas dan kemampuan kita untuk memiliki kehendak bebas.
Pilihan dan kehendak bebas perlu disikapi dengan kebijaksanaan,
Apakah kita harus bersikap diam, atau harus mengambil tindakan segera pada saat itu,
Apakah kita harus mengucapkan sesuatu, atau untuk sementara menahan diri,
Apakah kita harus menabung, atau harus berani berinvestasi,
Apakah kita harus bersembunyi, atau mengambil resiko melawan,
Apakah kita harus tunduk, atau berontak,
Apakah kita harus melakukan secara seketika, revolusi, atau perlu menjalankan evolusi,
Apakah kita harus terburu-buru, atau mengendapkan masalah itu untuk sementara waktu,
Apakah kita harus setuju, atau menyatakan keberatan,
Apakah kita harus menerima, atau menolak dan membantah,
Apakah kita harus menelan, atau memuntahkannya,
Apakah kita harus memilih untuk kelaparan, ataukah mencuri makanan milik orang lain,
Atau dikala kita berhadapan dengan berbagai keadaan yang dirasakan dilematis sekalipun.
Mungkin kita merasa tersudutkan atau tertekan oleh suatu keadaan yang tidak menguntungkan,
Namun kita selalu memiliki pilihan bebas untuk memilih,
Dan seringkali pilihan yang paling bijak ialah pilihan yang paling menyakitkan sekaligus paling pahit bagi diri kita.
Akan tetapi bukankah fakta selalu pahit adanya?
Meski demikian,
Kita tidak akan mampu bertumbuh bila tidak berani menghadapi rasa sakit dan rasa takut itu.
Selamanya kita akan menjadi pengecut,
Yang bersembunyi dibalik alasan tiada pilihan lain,
Meski sejatinya kita selalu memiliki kehendak bebas untuk memilih,
Sekalipun opsi terakhirnya itu ialah untuk mati kelaparan,
Daripada harus membuat orang lain menderita kelaparan akibat keegoisan diri kita sendiri.
Pilihan bebas selalu terletak pada kemampuan kita untuk bersikap jujur terhadap diri kita sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Choose to Follow or Against the Current of the Times

As the Age became more and more sophisticated,
Should the quality of human life increase and the happiness of our lives as the people of this world should be more full of happiness.
But who would have thought,
Along with the various conveniences offered by sophistication and technological advancement,
Precisely at the same time, the more burdens are borne by every human being, whom born today.
Unimaginable burden of children a century to come,
How they should study harder,
Must go to school longer,
Must work harder,
And even to die, maybe they will get a tremendous difficulty in the end.
Could it be the birth of a child,
Bringing happiness to the child,
Or just the opposite?
Economic imbalances,
Making the rich richer,
While the poor are getting poorer.
However, far more poor people are living miserably throughout their lives.
Will more and more suffer the life of the child,
Facing a world that has been so cruel,
When parents actually come to harm the life of the child.
Evidently,
There is something we have to pay for every sophistication we enjoy,
In the form of ecosystem damage,
Natural damage,
The demand to continue to follow the progress of time endless and exhausting,
Until it becomes so attached and weighed down by the sophisticated equipment that is increasingly dictating our lives,
Being a slave of the technological sophistication itself.
Who would have thought,
Mankind creates technology,
To in turn become a tech slave?
Actually what does this life offer,
Besides the endless burdens of life?
Simple life in the past,
Make us have to walk to get somewhere,
Drawing water from wells for clean water needs,
Threatened by starvation when entering winter or drought,
But life at that moment is not heavier than life at the moment,
With different forms of difficulty,
With a much larger burden, amid increasingly limited natural resources.
When we choose not to keep up with the times,
Then we will be marginalized, and said to be out of date.
From this point on,
Mankind became the object of the age,
It is no longer a subject of the times.
Fully dictated by the times.
However,
There are also those who, because of the firm principles of self,
Keeping the principles of virtue conservatively,
Not consumed by time nor by age,
Not eroded by changes in people's lifestyles,
Keeping to the principles of authenticity,
Like honesty,
Justice,
The attitude of the knight,
Can be trusted,
In harmony between words and deeds,
While most of us are swept away by the changing currents of civilization increasingly corrupted morality.
Times may change,
But the standard of morality must be upheld,
Such a gem that must be held tightly as identity.
The noble struggle always moves against the current,
Not the other way around, following the flow of defilements.
We need to always remember,
Greed never know the word satisfied,
As much as any greed we follow and obey.
In this way,
We can no longer be mocked by the development of any age.

© HERY SHIETRA Copyright.

Ketika Zaman menjadi semakin dan demikian canggih,
semestinya kualitas hidup manusia semakin meningkat dan kebahagiaan hidup kita sebagai penduduk dunia inipun semestinya semakin penuh kebahagiaan.
Namun siapa akan menyangka,
Seiring dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh kecanggihan dan kemajuan teknologi,
Justru disaat bersamaan semakin berat beban yang ditanggung oleh setiap umat manusia yang terlahir saat kini.
Tidak terbayangkan beban anak-anak satu abad yang akan datang,
Betapa mereka harus belajar lebih giat,
Harus bersekolah lebih lama,
Harus bekerja lebih keras,
Dan bahkan untuk mati pun mungkin mereka akan mendapatkan kesukaran yang luar biasa pada akhirnya.
Mungkinkah kelahiran seorang anak,
Membawa kebahagiaan bagi sang anak,
Atau justru sebaliknya?
Ketimpangan ekonomi,
Membuat si kaya semakin kaya,
Sementara si miskin semakin miskin.
Namun, jauh lebih banyak orang-orang miskin yang hidup menderita sepanjang hidupnya.
Akan semakin menderita hidup sang anak,
Menghadapi dunia yang sudah sedemikian kejam ini,
Bila orangtua justru ikut mencelakai kehidupan sang anak.
Ternyata,
Ada yang harus kita bayarkan atas setiap kecanggihan yang kita nikmati tersebut,
Berupa kerusakan ekosistem,
Kerusakan alam,
Tuntutan untuk terus mengikuti kemajuan zaman yang tiada habisnya dan meletihkan,
Hingga menjadi demikian melekat dan terbebani oleh berbagai peralatan canggih yang kian mendikte hidup kita,
Menjadi budak dari kecanggihan teknologi itu sendiri.
Siapa akan menyangka,
Umat manusia menciptakan teknologi,
Untuk pada gilirannya menjadi budak teknologi?
Sebenarnya apakah yang ditawarkan oleh hidup ini,
Selain segala beban hidup yang tidak berkesudahan?
Kehidupan yang sederhana dimasa lampau,
Membuat kita harus berjalan kaki untuk menuju suatu tempat,
Menimba air dari sumur untuk kebutuhan air bersih,
Terancam kelaparan saat memasuki musim dingin atau kekeringan,
Namun hidup disaat itu tidaklah lebih berat daripada kehidupan disaat kini,
Dengan bentuk kesukaran yang berbeda,
Dengan beban yang jauh lebih besar ditengah kian terbatasnya sumber daya alam.
Ketika kita memilih untuk tidak selalu mengikuti perkembangan zaman,
Maka kita akan tersisih dan dikatakan sebagai ketinggalan zaman.
Sejak saat inilah,
Umat manusia menjadi objek dari zaman,
Bukan lagi sebagai subjek dari zaman.
Sepenuhnya terdikte oleh zaman.
Namun,
Ada juga yang karena teguhnya prinsip diri,
Tetap menjaga prinsip-prinsip kebaikan secara konservatif,
Tidak termakan oleh waktu maupun oleh zaman,
Tidak tergerus oleh perubahan pola hidup masyarakat,
Tetap berpegang pada prinsip-prinsip otentik,
Seperti kejujuran,
Keadilan,
Sikap ksatria,
Dapat dipercaya,
Selaras antara ucapan dan perbuatan,
Sementara sebagian besar diantara kita hanyut terbawa arus perubahan peradaban yang kian rusak moralitasnya.
Zaman boleh saja berubah,
Namun standar moralitas harus dijunjung tinggi,
Seperti permata yang harus terus dipegang erat sebagai jati diri.
Perjuangan yang mulia selalu bergerak melawan arus,
Bukan sebaliknya, mengikuti arus kekotoran batin.
Kita perlu selalu mengingat,
Ketamakan tidak pernah mengenal kata puas,
Sebanyak apapun ketamakan tersebut kita ikuti dan turuti.
Dengan cara demikianlah,
Kita tidak lagi dapat dipermainkan oleh perkembangan zaman apapun.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.

So I am Currently Diving Into Myself

Recently a friend who has not talked for a long time,
Sending messages and asking me for news,
And ask me whether I am, during this holiday.
So I gave an answer,
When people are busy traveling,
Trapped stuck in the middle of the road to a place for a vacation,
So I am currently diving into myself.
The friend asked again,
What is diving into yourself?
So, for that I explain as follows,
No matter how much we travel,
Traveling out of ourselves,
And however much we are looking for entertainment outside of ourselves,
Will never be able to overcome the causes of the shackles of life's suffering.
A hermit,
Looking for peace of life within himself,
It is not attached to objects outside of themselves.
A wise ascetic,
Satisfied with themselves, alone,
A self that will never inexhaustible to dive.
Because,
The highest mountain and deepest ocean,
Located within the soul and mind of ourselves.
Those who never dive into himself,
Will live like alienated from themselves,
Even if they live in crowded people,
Even live in the middle of urban buzz.
They are like a mountain climber,
The ones climbing the mountain only to go back downhill towards the valley and arrive back in the lowlands.
As much as any climber climbs a mountain and dives into the ocean,
Will never finish putting an end to the pain of life permanently.
An effort that is just a waste of time.
A vanity.
A waste of energy.
A vacuum of the soul, that's what they feel all along,
So they are always looking, looking out of themselves,
Like a chick looking for a scream and running for her mother,
So many of mankind, live their lives,
Pacing without meaning,
Just to add age,
Just run away from boredom,
Just looking for a pseudo-sensation or self-esteem,
Or busy taking care of other people's business,
Or even busy doing misbehavior, which makes the hassle of other people's lives.
But they never want to realize that the essence of life is within themselves.
But how can they be expected to be aware of such things,
If they even feel bored with themselves,
So they always try to get out of themselves,
Looking frenzied,
Looking for conversation,
Seeking everything to forget themselves,
Or even looking for and make a fuss.
They never even know or may also hate themselves.
Truly nothing is more vain than looking out of ourselves.

© HERY SHIETRA Copyright.

Baru-baru ini seorang kawan yang telah lama tidak berbincang,
Mengirim pesan dan menanyakan kabar saya,
Dan menanyakan sedang apakah saya pada saat liburan ini.
Maka aku pun memberi jawaban,
Dikala orang-orang sibuk menempuh perjalanan,
Terjebak macet di tengah jalan menuju tempat untuk berlibur,
Maka saya pada saat ini sedang menyelam ke dalam diri saya sendiri.
Sang kawan kembali bertanya,
Apakah yang dimaksud dengan menyelam ke dalam diri sendiri?
Saya pun menjelaskan sebagai berikut,
Seberapa banyak pun kita melakukan perjalanan,
Perjalanan ke luar dari diri kita sendiri,
Dan sebanyak apapun kita mencari hiburan diluar diri kita,
Tidak akan pernah mampu mengatasi sebab-sebab belenggu penderitaan kehidupan.
Seorang pertapa,
Mencari kedamaian hidup di dalam dirinya sendiri,
Bukan melekat pada objek di luar diri mereka.
Seorang pertapa yang bijaksana,
Cukup puas dengan diri mereka sendiri, seorang diri,
Seorang diri yang tidak akan pernah habis-habisnya untuk diselami.
Sebab,
Gunung tertinggi dan samudera terdalam,
Terletak di dalam jiwa dan pikiran diri kita sendiri.
Mereka yang tidak pernah menyelami dirinya sendiri,
Akan hidup bagai teralienasi dari diri mereka sendiri,
Sekalipun mereka hidup ditengah keramaian orang,
Sekalipun hidup ditengah gegap-gempita perkotaan.
Mereka bagaikan seorang pendaki gunung,
Yang mendaki gunung hanya untuk kembali menurun menuju lembah dan tiba kembali di dataran rendah.
Sebanyak apapun seorang pendaki mendaki gunung dan menyelami samudera,
Tidak akan pernah menyelesaikan terlebih mengakhiri derita kehidupan secara permanen.
Suatu usaha yang hanya membuang-buang waktu.
Suatu kesia-siaan.
Suatu pemborosan energi.
Suatu kehampaan, itulah yang selama ini mereka rasakan,
Sehingga mereka selalu mencari-cari keluar dari diri mereka,
Bagai anak ayam mencari menjerit-jerit dan berlari-lari mencari induknya,
Demikianlah banyak diantara umat manusia menjalani hidupnya,
Mondar-mandir tanpa makna,
Sekadar menambah umur,
Sekadar lari dari rasa bosan,
Sekadar mencari sensasi atau harga diri yang semu,
Atau sibuk mengurusi urusan orang lain,
Atau bahkan sibuk berbuat kenakalan yang membuat repot hidup orang lain.
Namun mereka tidak pernah mau menyadari bahwa esensi hidup ada di dalam diri mereka sendiri.
Namun bagaimana mereka dapat diharapkan untuk menyadari hal demikian,
Bila mereka bahkan merasa bosan dengan diri mereka sendiri,
Sehingga mereka selalu berusaha pergi keluar dari diri mereka,
Mencari hingar-bingar,
Mencari perbincangan,
Mencari segala sesuatu untuk melupakan diri mereka sendiri,
Atau bahkan mencari dan membuat keributan.
Mereka bahkan tidak pernah mengenal atau mungkin juga membenci diri mereka sendiri.
Sungguh tidak ada yang lebih sia-sia daripada mencari-cari keluar dari diri kita sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.