Evolution Like a Butterfly

An enemy,
Always fighting with us,
Until one day actually began intertwined relationship of friendship,
Departing from the hostilities.
However,
Also may be otherwise,
Friendship that led to hostility.
Or even a little hostility became great hostility.
A man who at one time, so we hate,
One day, transformed into a budding romances.
Also may be otherwise,
A married husband and wife,
Because of love,
But the quarrel led to the separation.
Drama of life.
Love incarnate hatred.
Budding romances,
And love the fall.
Revolution has always had a different face from evolution.
An evolution is always the same with a small snail creeping running,
However, because the slug focused on one goal,
He will arrive on time.
Even snail weak and helpless,
Can achieve its objectives.
That's the power of evolution.
Only a matter of time,
Sooner or later.
But a revolution,
Changes happen so suddenly,
surprisingly,
In fact, often at the expense of bloodshed.
There are times when we need to move slowly but surely,
There are times when we need to make a major life decision.
Dare to make drastic changes in our mindset.
But the revolution should not always be interpreted as bloodshed.
Just as a prince of an empire that chose to remove all the luxuries,
And began a life of asceticism.
The drastic changes and the practice of self-training,
Decisions remarkable and dramatic contrast.
Just as someone who moves from a dark world into the world of light,
Or vice versa,
It may also happen, a revolution takes place through evolution.
See Prince Siddharta Gaotama,
Changes in the life seemed revolutionary.
But who thought,
Bodhisattvas, a candidate of Buddha, planted the seed of good karma in past lives for billions of life,
Saving good karma from one life to the next,
From one life is continued in the next life,
Then matured in her life as a prince named Siddharta.
The struggle to live a Bodhisattva, towards the realization of Buddha,
Is an evolution.
In the small picture,
We may see it as a revolution.
But in the big picture,
All of it is an evolution.
Whatever it is,
Neither revolution nor evolution,
It all starts from a seed,
That is our mind itself.
Life is always characterized by both of these changes.
And we always reserve the right to choose,
Stagnant in the present circumstances,
Or gradually make changes.
Change itself, are the seeds of a long evolution.
Deciding to change the patterns of thinking, is the revolution itself,
Continuing the evolution of attitudes themselves, gradually.
While a long evolution,
If we look from a distance,
That is called a revolution.
Always so,
There never was that suddenly occur.
Just as a person to be intelligent,
Is through lifelong learning.
Like an ugly caterpillar,
Transformed into a cocoon,
Metamorphosis into a charming butterfly.
According to me,
O my friend,
The caterpillar evolved into a butterfly,
Or, did the caterpillar make a revolution in order to turned into a butterfly?
Whatever the answer,
Stay tuned, butterflies are beautiful creatures.

© HERY SHIETRA Copyright.

Seorang musuh,
Selalu bertengkar dengan kita,
Sampai suatu ketika justru mulai terjalin hubungan persahabatan,
Berangkat dari permusuhan itu.
Namun,
Juga bisa terjadi sebaliknya,
Pertemanan yang berujung permusuhan.
Atau bahkan permusuhan kecil menjadi permusuhan besar.
Seorang yang suatu waktu sangat kita benci,
Suatu hari menjelma menjadi cinta yang bersemi.
Juga bisa terjadi sebaliknya,
Seorang menikah menjadi suami-istri,
Karena cinta,
Namun terjadi pertengkaran berujung pada perpisahan.
Drama kehidupan.
Cinta yang menjelma kebencian.
Cinta yang bersemi,
Dan cinta yang gugur.
Revolusi selalu memiliki wajah yang berbeda dengan evolusi.
Sebuah evolusi selalu sama dengan seekor siput kecil yang berjalan merayap,
Namun karena berfokus pada satu tujuan,
Ia akan tiba pada waktunya.
Bahkan seekor siput yang lemah dan tanpa daya,
Dapat mencapai tujuannya.
Itulah kekuatan evolusi.
Hanya persoalan waktu,
Cepat atau lambat.
Namun sebuah revolusi,
Perubahan terjadi dengan demikian mendadak,
Mengejutkan,
Bahkan seringkali dengan mengorbankan pertumpahan darah.
Ada kalanya kita perlu bergerak secara perlahan namun pasti,
Ada kalanya kita perlu membuat sebuah keputusan besar dalam hidup.
Berani melakukan perubahan drastis dalam pola pikir kita.
Namun revolusi tak harus selalu diartikan sebagai pertumpahan darah.
Sama seperti seorang pangeran sebuah kerajaan yang memilih untuk melepas semua kemewahan,
Dan mulai masuk pada kehidupan pertapaan.
Perubahan drastis dan praktik pelatihan diri,
Keputusan yang yang luar biasa dramatis dan kontras.
Sama seperti seseorang yang bergerak dari dunia gelap menuju dunia terang,
Atau sebaliknya,
Bisa juga terjadi, revolusi berlangsung lewat evolusi.
Melihat Pangeran Siddharta Gaotama,
Perubahan dalam satu kehidupannya tampak revolusioner.
Namun siapa yang menyangka,
Seorang Boddhisatva calon Buddha menanam benih karma baik dalam kehidupan lampau selama miliaran kehidupan,
Menabung karma baik demi karma baik,
Dari satu kehidupan yang dilanjutkan pada kehidupan selanjutnya,
Kemudian matang pada kehidupannya sebagai seorang pangeran bernama Siddharta.
Perjuangan hidup seorang Bodhisatva menuju realisasi Buddha,
Adalah sebuah evolusi.
Dalam gambaran kecil,
Kita mungkin melihatnya sebagai sebuah revolusi.
Namun dalam gambaran besar,
Semua itu adalah sebuah evolusi.
Apapun itu,
Baik revolusi maupun evolusi,
Semua dimulai dari sebuah benih,
Yakni pikiran kita itu sendiri.
Hidup senantiasa diwarnai oleh kedua perubahan tersebut.
Dan kita senantiasa berhak untuk memilih,
Stagnan pada keadaan sekarang,
Atau berangsur-angsur melakukan perubahan.
Perubahan itu sendirilah bibit dari evolusi yang panjang.
Memutuskan perubahan pola berpikir adalah revolusi itu sendiri,
Yang berlanjut pada evolusi sikap diri secara bertahap.
Sementara suatu evolusi yang panjang,
Bila kita lihat dari kejauhan,
Itulah yang disebut dengan revolusi.
Selalu demikian adanya,
Tak pernah ada yang secara tiba-tiba terjadi.
Sama seperti seseorang menjadi cerdas,
Adalah lewat pembelajaran sepanjang hayat.
Bagai seekor ulat buruk rupa,
Menjelma kepompong,
Metamorfosis menjadi seekor kupu-kupu yang menawan.
Menurutku wahai kawanku,
Ulat itu melakukan evolusi menjadi kupu-kupu,
Ataukah ulat itu melakukan revolusi menjelma kupu-kupu?
Apapun jawabannya,
Kupu-kupu tetaplah indah.


© Hak Cipta HERY SHIETRA.

The Stone Head, Hard Like a Rock

Ignorance does not know the age,
Ignorance also do not know the gender,
Not knowing race,
Not recognize color,
Does not recognize ethnicity,
Not recognize citizens,
Not knowing educated or uneducated,
Not knowing rich or poor,
Do not know handsome or ugly.
Ignorance is owned and attached to every living creature.
Without exception.
There was no such a race, which since birth,
Born holy and wise.
Nothing is also an ethnic,
Which is destined to become righteous,
And other ethnic be the bad guy.
Man becomes good or bad,
Not because of his birth,
But because of his behavior,
The quality of his soul,
Because of his free choices.
Every human,
Both white or black,
Both the woman or man,
Both the English and German-speaking,
Both thin nor fat,
All have the potential to do wrong and evil,
And all of that,
Has the potential to do good and to purify themselves.
What for,
God gave birth to humans only for predestined to hell from the beginning of creation?
Every human being has the potential of so-called free choice,
Regardless of gender,
Regardless of its citizens,
Regardless of skin color,
Whatever your mother tongue,
Whatever the profession,
Whatever his background.
Every human,
Ever was born as a woman,
Ever was also born as a man,
No exception had also born as a white,
Born as black,
Born as royalty,
Born as a vagrant,
Born as dignitaries,
Born as a defect,
And had also been born with physical captivating.
We all have the same potential,
Only the color is different.
The yellow color does not more qualified than the purple color,
The green color is not better than an orange color,
And the red color does not more beautiful than blue.
Each color has its own character and charm.
Everyone has the same potential,
Potential to choose to enter the abyss of ignorance,
Or choose to climb the hill freedom from ignorance.
No one is born intelligent naturaly
No one is to be smart without learning.
Similarly people who are struggling to purify themselves,
Or not be the monopoly of a particular person.
As well as,
Ignorance was not the monopoly of a certain class of people.
Each of us need to guard against our own ignorance.
Our opponents are not invaders from the outside,
But ignorance of our own.
It never looked at skin color or class.
Once we careless
Then we will be mired in ignorance.
Ignorance means,
No fear and no shame,
To hurt yourself,
Or hurt others.
And that is what is referred to as,
Seed of suffering.
Something called a true,
Not because it was right by nature,
However, based on the results of verification.
Although we believe that the Sun orbits the Earth,
The Sun remains the Sun itself,
Earth and Earth is still spinning around the sun,
Whatever we believe,
Although we believe that on the contrary,
The Sun never around the Earth.
We just need to adjust on the truth,
Not truth adjust to what we believe.
Do not be stubborn.
Stone in the river is still even harder than our heads.
There is nothing more I feared,
Instead of my own ignorance.
The belief which educate, open our eyes,
Not shut and blinds us.

© HERY SHIETRA Copyright.

Kebodohan batin tak mengenal usia,
Kebodohan batin juga tak mengenal gender,
Tak mengenal ras,
Tak mengenal warna kulit,
Tak mengenal etnis,
Tak mengenal warga negara,
Tak mengenal berpendidikan atau tidak berpendidikan,
Tak mengenal kaya atau miskin,
Tak mengenal tampan atau buruk rupa.
Kebodohan batin dimiliki dan melekat pada setiap makhluk hidup.
Tanpa terkecuali.
Tak ada ras yang sejak lahir,
Terlahir suci dan bijaksana.
Tak ada juga suatu etnis,
Yang ditakdirkan untuk menjadi orang benar,
Dan etnis lain menjadi orang jahat.
Manusia menjadi baik atau buruk,
Bukan karena kelahirannya,
Namun karena perilakunya,
Kualitas jiwanya,
Karena pilihan bebasnya.
Setiap manusia,
Baik yang berkulit putih atau berkulit hitam,
Baik yang wanita atau pria,
Baik yang berbahasa Inggris maupun yang berbahasa Jerman,
Baik yang kurus maupun yang gemuk,
Semua memiliki potensi untuk berbuat salah dan jahat,
Dan semua orang itu pula,
Memiliki potensi untuk berbuat baik dan mensucikan diri.
Untuk apakah,
Tuhan melahirkan manusia hanya untuk ditakdirkan menuju neraka sejak dari awal diciptakan?
Setiap manusia memiliki potensi yang disebut pilihan bebas,
Apapun gendernya,
Apapun warga negaranya,
Apapun warna kulitnya,
Apapun bahasa ibunya,
Apapun profesinya,
Apapun latar belakang kehidupannya.
Setiap manusia,
Pernah terlahir sebagai seorang wanita,
Pernah juga terlahir sebagai seorang pria,
Tak terkecuali terlahirkan sebagai seorang kulit putih,
Terlahir sebagai kulit hitam,
Terlahir sebagai bangsawan,
Terlahir sebagai gelandangan,
Terlahir sebagai orang terpandang,
Terlahir sebagai cacat,
Dan pernah pula terlahir dengan fisik menawan.
Kita semua punya potensi yang sama,
Hanya saja warnanya yang berbeda.
Warna kuning tak lebih berkualitas dari warna ungu,
Warna hijau tak lebih baik dari warna oranye,
Dan warna merah tak lebih indah dari warna biru.
Setiap warna memiliki karakter dan pesonanya sendiri.
Setiap orang memiliki potensi yang sama,
Potensi untuk memilih memasuki jurang kebodohan,
Atau memilih untuk menapaki bukit kebebasan dari kebodohan.
Tak ada orang yang terlahir cerdas secara alamiahnya.
Tak ada orang yang menjadi pandai tanpa belajar.
Begitupula orang yang berjuang untuk mensucikan diri,
Bukan menjadi monopoli kaum atau orang tertentu.
Sama halnya,
Kebodohan batin pun bukan monopoli golongan orang tertentu.
Masing-masing dari kita perlu waspada terhadap kebodohan batin kita sendiri.
Lawan kita bukanlah penjajah dari luar,
Tapi kebodohan batin kita sendiri.
Ia tidak pernah memandang warna kulit ataupun golongan.
Sekali kita lengah,
Maka kita akan terperosok dalam kegelapan batin.
Kegelapan batin artinya,
Tak takut dan tak malu,
Untuk menyakiti diri sendiri,
Ataupun menyakiti orang lain.
Dan itulah yang disebut sebagai,
Benih penderitaan.
Sesuatu disebut sebagai benar,
Bukan karena sudah benar dari sananya,
Namun berdasarkan hasil pembuktian.
Sekalipun kita percaya matahari yang mengelilingi Bumi,
Matahari tetaplah matahari,
Dan Bumi tetaplah Bumi yang berputar mengitari matahari,
Apapun yang kita yakini,
Sekalipun kita meyakini yang sebaliknya,
Matahari tak pernah mengelilingi Bumi.
Hanya kita yang perlu menyesuaikan diri pada kebenaran,
Bukan kebenaran yang menyesuaikan diri pada apa yang kita yakini.
Janganlah keras kepala.
Batu di sungai masih lebih keras daripada kepala kita.
Tak ada yang lebih kutakutkan,
Ketimbang kebodohan batinku sendiri.
Keyakinan yang mencerdaskan membuka mata kita,
Bukan menutup dan membutakan mata kita.


© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Unconditional Love

If we really love our lovers,
So we need to be ready to keep loved when he fell ill.
If we want to love our lovers,
So we need to be ready to keep loved when he became old and ugly.
If we love our lovers,
So we need to be prepared to keep love him, when he become impoverished.
If we truly love our lovers,
So we need to be ready to keep loved when she afflicted.
If we are determined to love our lovers,
So we need to be ready to keep love him unconditionally.
If we honestly love our lovers,
So we need to be ready for the ups and downs with him.
If we decide to love our lovers,
So we need to be ready to bear the burden with him.
If we genuinely love our lovers,
So we need to be prepared to remain honest with any bitter reality.
When we love someone we love,
We will give happiness to her life,
Not claimed the happiness of her / his life.
When we honor our loved ones,
We will appreciate and understand the feelings of his soul,
Though perhaps he will give his heart to others.
When we present to our loved ones,
We'll give him a smile and a helping hand when he / she was hit by the difficulties of life.
If we truly love our loved ones,
We will leave it to have wings to fly freely.
When we put the heart in people we love,
Can smile and laugh happily watched her / him from a distance,
It is enough for us.
We love him, what it is,
Not the love of our own desires.
Love,
Supposedly is a wonderful thing,
Not be a source of fear and destruction.
Providing our love,
Not taking his love.

© HERY SHIETRA Copyright.

Bila kita benar-benar mencintai kekasih kita,
Maka kita perlu siap untuk tetap mengasihinya dikala ia jatuh sakit.
Bila kita hendak mencintai kekasih kita,
Maka kita perlu siap untuk tetap mengasihinya dikala ia menjadi tua dan buruk rupa.
Bila kita mencintai kekasih kita,
Maka kita perlu siap untuk tetap mengasihinya dikala ia jatuh miskin.
Bila kita sungguh-sungguh mencintai kekasih kita,
Maka kita perlu siap untuk tetap mengasihinya dikala ia tertimpa musibah.
Bila kita bertekad untuk mencintai kekasih kita,
Maka kita perlu siap untuk tetap mengasihinya tanpa syarat.
Bila kita jujur mencintai kekasih kita,
Maka kita perlu siap untuk jatuh-bangun bersama dengannya.
Bila kita memutuskan untuk mencintai kekasih kita,
Maka kita perlu siap untuk menanggung beban bersama dengannya.
Bila kita tulus mencintai kekasih kita,
Maka kita perlu siap untuk tetap jujur terhadapnya sepahit apapun kenyataannya.
Bila kita mengasihi orang yang kita cintai,
Kita akan memberi kebahagiaan hidup padanya,
Bukan merenggut kebahagiaan hidupnya.
Bila kita menghormati orang yang kita cintai,
Kita akan menghargai dan memahami perasaan jiwanya,
Sekalipun mungkin ia akan memberikan hatinya kepada orang lain.
Bila kita hadir untuk orang yang kita cintai,
Kita akan memberinya senyum dan uluran tangan ketika ia sedang dilanda kesulitan hidup.
Bila kita sungguh-sungguh mengasihi orang yang kita cintai,
Kita akan membiarkannya tetap memiliki sayap untuk terbang bebas.
Bila kita menaruh hati pada orang yang kita cintai,
Dapat mengamatinya tersenyum dan tertawa bahagia dari kejauhan,
Sudah cukup bagi kita.
Kita mencintai dirinya apa adanya,
Bukan mencintai keinginan kita sendiri.
Cinta,
Semestinya adalah hal yang indah,
Bukan menjadi sumber ketakutan dan kerusakan.
Memberikan cinta kita,
Bukan mengambil cinta miliknya.


© Hak Cipta HERY SHIETRA.