(DROP DOWN MENU)

KODE ETIK MANUSIA : Jangan Terlampau Cepat Membuat Penilaian maupun Menghakimi Orang Lain

Pertimbangan yang Prematur Tidaklah Bijaksana disamping Menghakimi secara Tidak Adil

Bijaksana artinya Tidak Membuat Penilaian maupun Penghakiman secara Serampangan

Question: Apa memang ada yang namanya Kode Etik Umat Manusia? Kan ada itu, Kode Etik Pers, Kode Etik Polisi, Kode Etik Notaris, Kode Etik Pengacara, dan lain sebagainya.

Brief Answer: Ada, salah satunya ialah “tidak secara prematur membuat penilaian terhadap orang lain”. Terlampau dini atau terlampau cepat—bahkan secara gegabah, secara terbias, secara parsial, maupun secara “conflict of interest”—membuat penilaian, itulah yang kerap menjurus pada penghakiman yang tidak pada tempatnya, bahkan dapat menjelma fitnah ataupun “pembunuhan karakter” terhadap seseorang yang di-“hakim”-i. Hanya saja, Kode Etik Manusia lebih mendekati “norma sosial” ketimbang dibakukan dalam suatu peraturan perundang-undangan selayaknya “norma hukum” Kode Etik kalangan profesi formal sebagaimana disinggung dalam pertanyaan di atas.

Salah satu wujud kedewasaan seseorang, ialah kemampuannya untuk mengendalikan diri untuk secara prematur membuat penilaian terhadap orang lain, terlebih yang tampak ialah hanya sebatas “kulit”-nya atau sepotong / sepenggal momen ataupun peristiwa di permukaan yang tidak utuh, dimana seringkali kita tidak pernah mengetahui kondisi maupun latar-belakang yang melingkupi orang tersebut secara lebih dalam, yang sebenarnya seperti apa dan selengkapnya yang bisa jadi dan besar kemungkinan sama sekali tidak kita ketahui ataupun pahami.

PEMBAHASAN:

Sebaliknya, seseorang yang memiliki karakter / sifat kekanak-kanakan, lebih cenderung membuat penilaian secara serampangan dan tidak proporsional, alias “ignorant”. Sebuah ilustrasi nyata berikut ini dapat cukup mewakili perihal penilaian seseorang dapat cenderung menjurus pada “penghakiman yang buta sekaligus tuli”, bila tidak disertai kedewasaan berpikir (kebijaksaan) yang memadai dalam menimbang dan membaca situasi, terutama bagi mereka yang berprofesi sebagai seorang hakim di pengadilan yang memiliki kekuasaan serta kewenangan sahih oleh negara untuk memutus perkara (menghakimi) sengketa antar warga, baik pidana maupun perdata.

Bertahun-tahun yang lampau, ketika penulis selaku utusan mengurus suatu perizinan pada suatu lembaga kementerian, penulis meminta nomor kontak seluler pihak aparatur pada lembaga dimaksud saat bertatap-muka, dalam rangka efisiensi bilamana ada persyaratan perlu klarifikasi lebih lanjut tanpa perlu kembali pulang-pergi dari dan ke kantor / instansi tersebut sekadar untuk menanyakan berkas persyaratan—negeri bernama Indonesia ialah ialah negeri yang sangat tidak efisien, ditengah kemajuan zaman dan kecanggihan teknologi, masih juga warga harus datang langsung ke kantor yang bersangkutan, mengantri, dengan pengorbanan waktu, tenaga, serta biaya (ongkos plus “potential loss” akibat tidak bisa bekerja karena waktu yang tersita), sekalipun pertanyaan dan jawaban cukup dilayangkan via email, telepon, messenger, ataupun sosial media sebagaimana pendekatan perusahaan-perusahaan swasta terhadap pelanggan mereka.

Meski, terdapat juga segelintir instansi pemerintahan yang cukup akomodatif, semisal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang secara sigap menjawab pertanyaan masyarakat via email, sehingga patut penulis apresiasi, karena adanya “political will” pimpinan institusi bersangkutan terhadap kepentingan dan menghargai waktu masyarakat. Akan tetapi pada umumnya lebih banyak institusi pemerintahan yang mencantumkan info nomor kontak telepon maupun email sekadar sebagai “gimmick” pemanis, mengingat tidak pernah difungsikan sebagaimana peruntukannya semula. Kembali pada kasus di atas, setelah membawa pulang nomor kontak seluler aparatur dimaksud, telah ternyata ada kendala dalam memenuhi persyaratan yang dimintakan oleh aparatur dimaksud oleh internal lembaga dimana penulis berkomunitas, dan menilai ada permintaan yang “janggal” sebagaimana yang diminta oleh aparatur bersangkutan.

Alhasil, pihak internal lembaga kemudian mencoba menghubungi aparatur dimaksud untuk klarifikasi, dengan bekal nomor kontak seluler yang tempo hari penulis mintakan dari aparatur bersangkutan. Tidak lama berselang, penulis mendapat kabar dari pihak lembaga, bahwa nomor seluler tersebut ternyata “salah alamat” karena dimiliki oleh orang lain, dan orang yang ditelepon tersebut “marah-marah” ketika dihubungi. Mulanya penulis tidak percaya, dan beberapa waktu kemudian mencoba sendiri untuk menghubungi nomor seluler tersebut, dimana telah ternyata memang nomor seluler tersebut dimiliki oleh orang yang berbeda dari aparatur yang sebelumnya penulis menghadap dan mintakan nomor telepor selulernya, dan memang “marah-marah” seketika itu juga ketika penulis hubungi “Halo, selamat pagi Bapak ...”—karena yang mengangkat teleponnya telah ternyata ialah seorang wanita, dan ia menyatakan dirinya bukanlah orang dimaksud, serta agar jangan mengganggunya lagi.

Bila kita gegabah, kita akan jatuh pada penghakiman dengan membuat stigma bahwa wanita di ujung telepon tersebut adalah seorang “pemarah”, “tidak sopan”, “tidak ramah”, dan bahkan dapat dinilai sebagai mengidab “sakit jiwa” alias gangguan psikologis. Kecenderungan manusia pada umumnya ialah, terutama yang belum matang tingkat kedewasaan berpikirnya sekalipun usianya telah tergolong tua dan beramput putih-beruban (bukan jaminan mutu), seketika itu pula tanpa pertimbangan mendalam, melakukan penilaian secara prematur sebelum kemudian tergelincir kedalam hasrat atau kebiasaan untuk menghakimi seseorang meski kesemua yang tampak di mata kita ialah “kulit”-nya semata terkait pihak yang bersangkutan (pihak eksternal diri).

Penulis kemudian mencoba melakukan analisa secara mendalam, terutama perihal konteks yang melingkupi peristiwa janggal alias tidak lazimnya ini. Nada suara wanita tersebut terdengar frustasi, meski mimik wajahnya tidak dapat penulis lihat, seperti letih menghadapi gangguan telepon dari pihak-pihak tidak dikenal yang “salah alamat”. Kemudian, penulis meluangkan waktu untuk membuat pertimbangan mendalam dengan pikiran yang jernih, kira-kira bagaimana perasaan penulis bila ditempatkan di posisi wanita tersebut?—inilah yang disebut sebagai Kecerdasan Emosional, alias empati, yang tidak dapat dimaknai sebagai “EQ artinya banyak teman” mengingat banyak kasus dimana seseorang memiliki banyak relasi dan jejaring pertemanan yang luas namun ternyata terjerat kasus korupsi yang mengorupsi hak-hak rakyat yang lebih miskin dari yang bersangkutan, alias miskin empati.

Ternyata berikut inilah kemungkinan yang akan terjadi ketika penulis dihadapkan pada kondisi serupa seperti yang dialami dan dihadapi oleh sang wanita seperti contoh kejadian di atas. Satu atau dua kali terjadinya, ditelepon pihak yang tidak dikenal, salah alamat, terganggu oleh telepon-telepon demikian pada waktu-waktu tidak terduga seperti ketika sedang berada di toilet, sedang memasak, sedang bekerja, sedang berbaring-istirahat, dsb, lalu meluangkan waktu mengangkat telepon yang ternyata ialah gangguan yang tidak diundang dan tidak diduga, bilamana sedari sejak awal kita tahu bahwa yang menelepon kita ialah “tamu-tamu tidak diundang” maka tentu kita memilih untuk tidak mau diganggu waktu ataupun diusik ketenangan hidupnya.

Satu atau dua kali mendapati telepon demikian, kita masih bisa bersabar. Namun coba bayangkan, bila itu terjadi untuk belasan kalinya, puluhan kalinya, kesabaran kita pun akan habis. Kita tidak boleh menuntut orang lain untuk bersikap sabar tanpa batasan. Meremehkan dan menyepelekan perasaan korban, merupakan ciri mentalitas kriminil. Kini, setelah melakukan pertimbangan mendalam lewat pikiran yang jernih, penulis sampai pada satu pemahaman yang bertolak-belakang dari kesan pertama, bahwa sebetulnya kita selaku pihak “outsider” perlu memaklumi wanita tersebut, dimana semestinya kita memohon maaf telah mengganggu ketenangan hidupnya dan mendoakan yang bersangkutan agar sehat serta tidak lagi terganggu oleh “penzoliman” berupa nomor “salah alamat” maupun sikap tidak bertanggung-jawab sang aparatur yang memberikan nomor seluler yang mengecoh demikian (setidaknya berbuat kesalahan secara teledor).

Dari contoh kejadian “sederhana” demikian—namun tidak akan dipandang “sederhana” oleh sang wanita penerima telepon yang nomor kontak selulernya dibuat “salah alamat” serta privasinya terganggu—kita dapat belajar dan memetik sebuah kesimpulan, bahwa pertimbangan yang mendalam lewat pikiran yang jernih dapat menghadirkan pemahaman baru yang lebih transparan, bahkan dapat menyuguhkan kesimpulan yang bertolak-belakang dengan asumsi prematur kita sebelumnya. Dalam banyak kejadian, hipotesis demikian selalu terafirmasi, sehingga dapat kita sebut sebagai sebuah postulat perihal kebijaksanaan dalam relasi sosial antar manusia.

Salah satu contoh lainnya ialah, mengapa orang-orang baik justru cenderung “pemarah”? Jawabannya ialah semata karena orang-orang baik tidak pernah menyakiti, melukai, ataupun merugikan orang lain sehingga merasa berhak untuk tidak disakiti, dilukai, maupun dirugikan sebagai kompensasinya—dimana bila kemudian sang orang baik justru dilukai, disakiti, maupun dirugikan oleh pihak-pihak lainnya, maka rasa keadilannya pun terusik, nuraninya tergoncang dengan hebatnya, merasa diperlakukan secara tidak patut karena hak-haknya untuk tidak dilukai, tidak disakiti, maupun untuk tidak dirugikan telah dilanggar, sehingga memicu emosinya meluap dan “meledak”.

Begitupula kalangan introvert yang lebih cenderung memendam kemarahan, satu atau dua kali diusik ketenangan hidupnya tidak membuatnya merespons dan tetap bergeming karena emosinya dipendam. Namun ketika kesemua itu terakumulasi dan menggunung tidak lagi terbendung, kemarahannya pun memuncak dan “meledak”, sehingga banyak masyarakat kita yang pandangannya cukup dangkal / kerdil, akan seketika membuat penghakiman bahwa seorang introvert adalah identik dengan seorang “pemarah” yang “meledak-ledak emosinya”.

Sama halnya ketika seseorang akibat kurangnya kedewasaan dalam menilai dan menimbang, menyamaratakan orang-orang yang tidak sama, dan secara sewenang-wenang meng-judge seorang introvert sebagai orang yang “aneh”—sekalipun secara ilmu psikologi orang-orang memang dibedakan menjadi introvert dan ekstrovert, adalah lumrah saja, normal, dan sah-sah saja, sehingga memakai standar ekstrovert untuk menghakimi seorang introvert justru mengindikasikan buruknya kedewasaan berpikir sang komentator alias sang warga yang meng-“hakim”-i (hakim yang buruk) warga lainnya yang berbeda orientasi sosial dengannya. Seorang introvert jarang menghakimi watak seorang ekstrovert, sementara itu kalangan ekstrovert kerap cenderung menghakimi kalangan introvert sebagai “tidak normal”, itulah salah satu cerminan lainnya “penghakiman yang tidak rasional” akibat dangkalnya pengetahuan.

Sebagai penutup, keadilan bukan terletak pada ke-sembrono-an dalam melihat dan menimbang suatu perkara, namun ketika kita telah melakukan pemikiran mendalam secara jernih atas suatu persoalan dan melihatnya dengan sudut pandang yang meluas dan tidak terbias. Dunia ini indah, bilamana semua umat manusia mau memahami prinsip-prinsip dibalik Kode Etik Manusia, salah satunya sebagaimana contoh ilustrasi di atas yang telah penulis jabarkan secara lugas apa adanya, dimana dalam kesempatan yang akan datang akan kita bahas bersama Kode Etik Manusia lainnya secara gamblang yang juga tidak kalah pentingnya saat hidup berdampingan meski antar individu adalah unik dalam artian tidak pernah seragam apa yang menjadi minat, tendensi, gender, psikologi, ataupun orientasinya satu sama lainnya.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.