(DROP DOWN MENU)

Mungkinkah AGAMA SUCI Mengajarkan Penghapusan / Penebusan DOSA?

SENI PIKIR & TULIS

AGAMA SUCI Mempromosikan dan Mengkampanyekan PENGHAPUSAN / PENEBUSAN DOSA?

Suciwan manakah yang Butuh Penghapusan / Penebusan Dosa? HANYA SEORANG PENDOSA, YANG MEMBUTUHKAN PENGHAPUSAN / PENEBUSAN DOSA

Apakah mungkin, sesuatu yang disebut sebagai “Agama SUCI” justru mengkampanyekan “penghapusan / pengampunan DOSA” maupun “penebusan DOSA”? Bagaikan berjualan, agar laku dan “laris manis” banyak pelanggan dan peminat yang berbondong-bondong “membeli”-nya, jika perlu rela mengantri (selama ada demand, maka selama itu pula akan ada supply), tentu saja promosinya terkadang diluar akal sehat dan cenderung bombastis, dan tidak jarang mengandung unsur manipulasi pikiran disamping penipuan.

Ketika suatu keyakinan keagamaan mengandung dogma-dogma semacam “penghapusan / pengampunan DOSA” maupun “penebusan DOSA”, maka substansi atau esensinya ialah “Agama DOSA” sekalipun kemasannya memakai judul “Agama SUCI”. Tepatlah pepatah yang mengatakan, “Don’t judge the book by the cover!”, jangan menilai sebuah “Kitab DOSA” oleh sampul luarnya yang bertuliskan “Kitab SUCI”—suatu tipu-muslihat yang amat mengecoh, dimana para pemeluknya (para umat “Agama DOSA”) tersebut akan seketika reaktif ketika agama yang dipeluk dan diyakini olehnya disebut sebagai ajaran “sesat” yang menyesatkan.

Sebuah agama, semestinya “otentik”, yakni sesat sebagai sesat, jahat sebagai jahat, dosa sebagai dosa. Untuk itu, umatnya pun perlu untuk bersikap “otentik”, dalam pengertian tanpa perlu banyak berkilah, seketika itu pula dengan berjiwa besar mengakui bahwa agama yang dipeluk olehnya adalah “Agama DOSA” semacam “Agama TEROR!SME”. Bagaimana mungkin, “dosa” dikemas dengan bungkus berlabel “suci”, bagaikan kotoran yang berbau busuk dibungkus dengan kemasan berlabel parfum? Bagaikan iblis berbaju malaikat, tetap saja isinya adalah iblis lengkap dengan otak milik iblis. Baju kemasan dan label kerapkali dirancang serta digunakan untuk tujuan mengecoh “konsumen”-nya agar laku terjual—dimana para pendosa berdelusi bahwa dirinya adalah orang-orang “suci”, sebuah fatamorgana yang terlampau berlebihan dan tidak rasional (too good to be true).

Betapa tidak, ketika suatu “Agama DOSA” mempromosikan dan mengkampanyekan “penghapusan / pengampunan DOSA” maupun “penebusan DOSA”, maka yang terjadi kemudian ialah para umatnya menjelma kompromistis terhadap “dosa” maupun “maksiat”, disertai pula efek berantainya mulai dari menyepelekan perbuatan-perbuatan yang jahat (menyakiti, merugikan, ataupun melukai orang lain), bersekutu dengan dosa dan kejahatan, hingga meremehkan perasaan para korban mereka, sebagai konsekuensi logisnya.

Mereka menjelma sesosok individu yang demikian toleran dan mengoleksi berbagai dosa, menimbun dosa hingga setinggi gunung, berkubang dalam lautan dosa, hidup dari perbuatan dosa, bersatu dengan dosa itu sendiri, bersekutu pada dosa, lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berbuat dosa, namun disaat bersamaan demikian tidak kompromistis terhadap kaum yang memiliki paham keyakinan berbeda—seolah-olah sesama umat manusia yang hanya saja berbeda keyakinan, tidak lebih bernilai daripada iblis yang bersekutu dengan sang pendosa.

Dahulu, sebelum lahirnya “Agama DOSA” yang mempromosikan “penghapusan / pengampunan DOSA” maupun “penebusan DOSA”, semua orang baik dan suciwan, termasuk para ksatria, sudah jaminan mutu akan masuk alam surgawi setelah meninggal dunia, sekalipun mereka notabene seorang “ateis”—dimana sebagian besar nenek moyang kita adalah para “ateis”, apakah hendak kita kutuk nenek moyang kita sendiri untuk “masuk neraka” semata karena seorang “ateis” sebagai wujud rasa bakti? Sungguh durhaka, para nabi yang justru mengutuk nenek moyang mereka sendiri, seolah mengingkari sejarah bahwa para nabi tersebut dilahirkan oleh seseorang yang nenek moyangnya notabene adalah para “ateis”.

Namun, setelah lahirnya “Agama DOSA”, justru para pendosa yang penuh dosa dijanjikan iming-iming “angin surga” semacam janji-janji surgawi bernama “penghapusan / pengampunan DOSA” maupun “penebusan DOSA”, seolah-olah alam surgawi merupakan “tong sampah” raksasa untuk menampung para pendosa, sementara itu para suciwan, orang-orang baik, dan para ksatria justru tersingkirkan, mengungsi, dan dilempar ke alam neraka yang kini kosong melompong oleh sebab para pendosa telah berbondong-bondong menjadi penyembah dan pengikut dogma “penghapusan / pengampunan DOSA” maupun “penebusan DOSA”.

Konstelasi alam semesta menjadi terputar-balik bagai jungkir-balik akrobatik yang mencederai akal sehat serta nurani (bila masih ada nurani yang tersisa bila kata hati tidak dibutakan sepenuhnya), alam surgawi yang semula dihuni oleh para dewata yang suci, baik, dan berjiwa ksatria, menjelma alam yang dijejali oleh para pendosa yang berbondong-bondong mengoleksi dosa semata untuk bisa memasuki alam surgawi dan menjadi penghuni baru di dalamnya—sebelum kemudian menjelma menjadi “dunia manusia jilid kedua”, dimana perbuatan jahat dan tercela dilakukan antar penghuninya, tidak ubahnya perilaku manusia-manusia jahat berdosa di dunia manusia. Rugi, bila tidak berbuat dosa, semata agar “penghapusan / pengampunan DOSA” maupun “penebusan DOSA” tidak mubazir. Perbuatan jahat pun, kemudian di-obral dan surga turut di-obral dengan demikian murahnya seolah-olah “murahan”.

Faktanya, orang-orang baik, para suciwan, maupun kalangan ksatria, tidak pernah membutuhkan iming-iming “murahan” semacam “penghapusan / pengampunan DOSA” maupun “penebusan DOSA”. “Agama SUCI” hanya mengajarkan jalan dan cara hidup kesucian, bebas dari segala perbuatan dosa, tidak ternoda dan bebas dari cela. “Agama BAIK” hanya mengajarkan kebaikan dan disaat bersamaan menghindari diri dari perbuatan buruk yang tercela, terlebih merasa bangga berbuat dosa tanpa mendapat hukuman. Sementara itu “Agama KSATRIA” hanya mengajarkan sikap hidup berkeadilan disamping penuh tanggung jawab. Kontras dengan itu, “Agama DOSA” justru mempromosikan kecurangan dan sikap tidak jantan semacam “penghapusan / pengampunan DOSA” maupun “penebusan DOSA”, yang menjadi favorit para penjahat paling busuk yang dapat kita jumpai di muka bumi maupun di alam semesta.

“Agama DOSA”, hanya diminati oleh para pelaku kejahatan (para pendosa yang berdosa). Sementara itu, tiada korban yang bila diberi hak untuk bersuara dan menyampaikan pendapatnya perihal keadilan, tentu akan berkeberatan terhadap obral “penghapusan / pengampunan DOSA” maupun “penebusan DOSA”—semata karena seolah Tuhan lebih PRO terhadap pendosa yang telah berdosa dan menyakiti, melukai, ataupun merugikan korban-korban para pendosa tersebut, sementara itu tiada keadilan apapun bagi pihak korban yang dapat ditawarkan.

Dengan demikian, dogma “penghapusan / pengampunan DOSA” maupun “penebusan DOSA” telah merampas hak-hak para korban untuk bersuara terlebih untuk mendapatkan keadilan (baca : cara untuk membungkam para korban sang pendosa). Anda, pilih dan memeluk yang mana? Menjadi korban, rugi di dunia dan di akherat. Menjadi pendosa, untung di dunia dan di akherat. Tiada insentif bagi korban yang ditawarkan oleh “Agama DOSA”, yang ada justru dis-insentif, merugi seorang diri dijadikan sebagai korban. Karenanya, menjadi korban adalah hal yang “tabu” serta “ditabukan” dalam kacamata “Agama DOSA”. Berbuat dan mengoleksi dosa, justru menjadi insentif bagi para pendosa yang notabene pemeluk “Agama DOSA”.

Mari kita lakukan sebuah simulasi singkat, untuk memperjelas sekaligus menguji pemahaman kita perihal “Agama DOSA” yang menyaru dengan label kemasan sebagai “Agama SUCI”, suatu serigala berbulu domba. Berikut di bawah ini, merupakan kutipan-kutipan dari sebuah “Kitab SUCI” yang menjadi sumber ajaran “Agama SUCI” ataukah justru sebaliknya, “Kitab DOSA” yang menjadi sumber “Agama DOSA”?

- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka."

- “Pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta kaki mereka.”

- Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”

- “Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah seluruh jari mereka.”

- “Perangilah mereka, niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”

- “Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”

- Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”

- “Bunuhlah orang-orang ... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”

Apa yang kemudian terjadi, ketika umat manusia hingga mayoritas penduduk bumi ini, adalah para “zombie” penganut dogma “korup” semacam “penghapusan / pengampunan DOSA” maupun “penebusan DOSA”? Jadinya ialah keadaan seperti dewasa ini, bahkan sejak “Agama DOSA” dilahirkan hingga kini dan sampai kapan pun dimasa mendatang, telah tercatat dinodai serta dipenuhi oleh berbagai sejarah pertumpahan darah, dimana perbuatan-perbuatan dosa dipertontonkan dan direproduksi setiap harinya dan setiap tahunnya, seolah menjadi menu sehari-hari, seakan bila tidak berbuat dosa dalam satu harinya seakan-akan belum makan nasi, seakan-akan dosa bila belum berbuat dosa, berbuat dosa dengan menjahati dan menyakiti ataupun merugikan orang lain seolah-olah adalah hal remeh-temeh bagai mengoleksi mainan, berlomba-lomba mencetak dosa-dosa baru, sibuk berbuat dosa, menjadi seorang bergelar “Sarjana DOSA”, bahkan antara dosa dan sang umat pemeluk “Agama DOSA” seakan-akan tidak lagi dapat saling dipisahkan satu sama lainnya.

Menjadi pertanyaan menarik, akan menjadi alam surgawi semacam apakah bila penghuninya justru mayoritas atau bahkan seluruhnya, diisi oleh para manusia-manusia pendosa penyembah / penganut dogma “penghapusan / pengampunan DOSA” maupun “penebusan DOSA”? Jawabannya ialah, kondisi alam surgawi akan lebih buruk ketimbang dunia manusia, semata-mata karena para pendosa tersebut adalah para “agamais” yang rajin beribadah, dimana dosa-dosa mereka setiap harinya dibuat seketika itu pula dihapus oleh penghapusan maupun penebusan dosa, sehingga tiada hal semacam polisi ataupun hakim dan penjara bagi para pendosa tersebut yang bebas berbuat dosa sebebas-bebasnya tanpa terkendalikan di alam surgawi. Apakah Anda berminat, hidup bertetangga dan berdampingan dengan sang atau para pendosa, di alam duniawi maupun di alam surgawi setelah ajal menjelang?

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.