(DROP DOWN MENU)

Bangsa yang Paling Menakutkan, TIDAK TAKUT BERBUAT DOSA

ARTIKEL HUKUM

Inilah Tipe Manusia yang Lebih Berbahaya daripada Hewan, yakni Mereka (para Pendosa) yang Merasa Butuh Iming-Iming Korup semacam “Penghapusan Dosa” maupun “Penebusan Dosa”

Percuma saja, berdasarkan pengalaman pribadi penulis berhadapan dengan para penjahat, kita berkonfrontasi terhadap mereka dengan bertanya, “Kalian tidak takut, terhadap ancaman sanksi hukum (negara)?” Jika ancaman sanksi Hukum Karma, ancaman akan masuk neraka, maupun berbuat dosa pun, mereka tidak takut, maka terlebih sekadar ancaman yang dapat dikorup dan diamputasi keberlakuannya semacam ancaman sanksi hukum negara? Itu jugalah, cara paling mudah untuk mengukur kedangkalan seorang manusia, yakni ketika mereka tidak takut berbuat dosa ataupun kejahatan terhadap manusia lainnya.

Biasanya, andalan utama penulis ketika berhadapan dengan orang-orang jahat yang berbuat jahat seperti menyakiti, merugikan, ataupun melukai orang lain, ialah sebuah kalimat konfrontatif berupa pertanyaan sebagai berikut : “Tidak takut dosa, kamu itu dengan melukai / menyakiti / merugikan orang lain?” Mengerikan, jawaban mereka ialah, “Berbuat dosa, siapa (yang) takut?” Fakta yang lebih mencengangkan, mereka adalah para “agamais”, dimana Bangsa Indonesia tergolong sebagai bangsa yang amat teramat “agamais”—alias “religius”, ditandai oleh rajin beribadah, berbusana maupun mengenakan asesoris serba “agamais”, mengaku ber-Tuhan, serta percaya perihal neraka yang penuh dengan siksaan.

Telah ternyata, terdapat ideologi yang saling menegasikan antar dogma dalam internal keyakinan keagamaan itu sendiri. Sebagai contoh, disebutkan adanya perintah dan larangan Tuhan, berupa larangan serta perintah untuk menjauhi dosa ataupun maksiat, namun disaat bersamaan dinegasikan oleh dogmatis ajaran internal mereka sendiri yang menyatakan perihal “manusia dilahirkan dengan mewarisi dosa manusia pertama”, “umat manusia dikodratkan menjadi pendosa”, hingga iming-iming janji-janji surgawi semacam “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”.

Jadilah, perihal ceramah tentang kehidupan yang baik, suci, mulia, humanis, hanya sekadar menjadi jargon “gincu” polesan bibir semata, alias “gimmick”, kemasan atau “kedok” belaka, membungkus sebuah “Agama DOSA” menjelma menyerupai “Agama SUCI” dalam rangka menjaring umat sebanyak-banyaknya yang terjebak dan terperangkap karena pada mulanya mereka mengira itu adalah “Agama SUCI yang bersumber dari Kitab SUCI” untuk mensucikan diri dan menjadi suciwan, namun ternyata hanyalah sebuah “Agama DOSA yang bersumber dari Kitab DOSA”, menjadikan sang umat menjelma pendosa yang berlumuran dosa serta bergelimang dosa, tertimbun oleh setumpuk dosa yang menggunung. Bukankah menjadi ambivalensi yang bertubulensi hebat, ketika seorang pendosa yang penuh dosa dan memeluk perbuatan penuh dosa justru berceramah perihal perbuatan baik, hidup suci, dan hidup secara mulia dari mulut, lidah, serta bibirnya?

Ketika kita menjumpai atau berhadapan atau tinggal dalam satu negara dengan orang-orang yang “tidak takut berbuat dosa”, alhasil kita selaku korban-lah yang paling patut menjadi merasa takut serta paranoid ataupun trauma berulang-kali menjadi korban—terkecuali Anda menjadi salah satu dari para pendosa yang gemar berbuat jahat tersebut, maka kepentingan Anda ialah berbuat dosa sebebas-bebasnya serta sebanyak-banyaknya namun tanpa konsekuensi sanksi apapun. Dengan kata lain, ideologi “korup” yang menyerupai “virus mematikan” bernama “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, sungguh telah merusak “standar moralitas” umat manusia, dari semula takut berbuat dosa menjadi menjelma sebuah hewan yang “hewanis” sekaligus “predatoris”.

Lama sebelum “agama samawi” dilahirkan, “Prinsip Emas” (golden principles) telah menyebutkan, agar kita memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan dan jangan perlakukan orang lain sebagaimana kita tidak ingin diperlakukan. Bila kita tidak suka disakiti, dirugikan, ataupun dilukai, mengapa kita tanpa rasa malu ataupun rasa takut menyakiti, merugikan, dan melukai orang lain? Dengan demikian, “agama samawi” lewat iming-iming “ikonik”-nya bernama “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, jelas-jelas telah menyimpang serta bertentangan dengan “prinsip emas” yang selama ini menjadi rambu-rambu serta “standar moral” bagi bangsa manusia yang “humanis” dan “berbudi”, sekaligus menjadikan manusia yang semula beradab menjelma biadab.

Ketika orang-orang jahat tidak takut berbuat jahat sehingga tidak takut pula berbuat dosa, maka itu urusan yang bersangkutan jika masuk neraka ataupun “menggali lubang kuburnya sendiri” dan menjadi Karma Buruk yang bersangkutan untuk dipetik buahnya oleh yang bersangkutan itu sendiri. Namun ketika orang-orang “agamais” yang meyakini telah terjamin masuk surga, masih juga dirusak “standar moralitasnya” lewat iming-iming “too good to be true” semacam “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, jadilah manusia benar-benar tidak takut menyakiti, melukai, maupun merugikan orang lain, bahkan berbondong-bondong serta berlomba-lomba menanam dan menimbun diri dengan dosa, mengoleksi dosa, mengubur diri dengan dosa, makan dan hidup dari dosa, menceburkan diri dan berkubang dalam kolam dosa, serta menjadi pendosa yang berdosa, penuh dosa.

Dengan demikian, “Agama DOSA” hanya menjadikan umat manusia pemeluknya (para pendosa) merasa bebas merdeka untuk berbuat dosa, meleburkan dirinya dengan perbuatan jahat, menjadi seorang penjahat yang berdosa, dan memangsa para korbannya yang terus berjatuhan dengan genangan darah korbannya membasahi tangan serta sekujur tubuh sang pendosa, menjadikan orang-orang baik sebagai sasaran serta “mangsa empuk” untuk dikorbankan, merasa merugi bila sekadar menjadi “pendosa kecil”, hingga termotivasi untuk menjadi “pendosa besar” alias “penjahat kelas kakap”. Karenanya, “Agama DOSA” bertolak-belakang dan bergerak menentang apa yang menjadi paham “ahimsa” yang selama ini digaungkan oleh “Agama SUCI”.

Hanya ada satu pilihan paling rasional bagi kita ketika hidup di tengah-tengah para “pendosa yang tidak takut berbuat dosa”, yakni menjaga jarak dan menjauhi / menghindarinya sebisa mungkin serta sejauh mungkin, dimana yang paling ideal ialah menanam banyak Karma Baik sehingga kita hanya berjodoh dengan orang-orang baik saja. Masih pula para pendosa tersebut meyakini bahwa dirinya akan masuk surga setelah sekian banyak perbuatan jahat dan perbuatan buruk yang ditanam olehnya dengan rasa bangga ketika hidup sebagai seorang manusia. Semakin “agamais” sang pendosa, semakin kita harus menjaga jarak darinya, karena semakin berbahaya diri yang bersangkutan sekaligus sebagai pertanda semakin penuh dosanya sang “agamais”.

Cobalah tanyakan pertanyaan berikut sebagai cerminan instrospeksi, susah-langka atau mudah menemukan orang-orang jujur serta berbaik hati di negeri “agamais” ini? Banyak atau sedikitnya orang-orang baik dan jujur dalam suatu bangsa, merupakan indikator nyata tingkat “agamais” suatu bangsa. Kurang “agamais” apa, para penduduk Bangsa Indonesia ini? setiap selang jarak seratus meter, kita dapat menemukan tempat ibadah. Di jalan-jalan penuh sesak para manusia berbusana “agamais”. Sinetron-sinetron di televisi penuh oleh jargon-jargon “agamais”. Ceramah-ceramah “agamais” dilantunkan setiap harinya lewat pengeras suara. Hingga untuk urusan makanan pun serba “agamais”. Namun mengapa justru faktanya demikian langka orang jujur dan baik di republik “agamais” ini?

Bila “Agama SUCI” menyebutkan bahwa ketika perbuatan buruk dilakukan dengan perasaan senang melakukannya sebelum, ketika, serta setelah berbuat jahat, maka buah Karma Buruknya akan berbuah miliaran kali lipat pada sang pelaku (selengkapnya, lihat Abhidhamma Pitaka), maka berkebalikan serta bertolak-belakang dengan itu, “Agama DOSA” mengajarkan pada umatnya untuk merasa merugi bila tidak menyakiti, merugikan, ataupun melukai orang lain. Demikian kompromistis terhadap dosa, maksiat, maupun perbuatan buruk, namun disaat bersamaan sangat tidak kompromistis terhadap kaum dengan keyakinan yang berbeda. Dengan demikian, ibadahnya ialah berbuat dosa itu sendiri, yakni menjadi seorang pendosa yang berdosa.

Umat pemeluk “Agama SUCI”, menjelma manusia-manusia yang “ahimsa” serta “suci”. Sementara itu, para “agamais” yang memeluk “Agama DOSA”, akan menjelma para pendosa yang lebih dosa daripada para pendosa manapun. Seorang suciwan, tidak akan pernah membiarkan dirinya tercemar oleh setitik noda bernama dosa sekecil apapun, apapun alasannya. Sementara itu, para pendosa, selalu mencari-cari alasan dan membuat-membuat alasan, bahkan seringkali dengan alasan yang mengada-ngada serta alasan yang dicari-cari alias dibuat-buat sebagai pembenaran diri atas perbuatan buruknya.

Dapat kita bayangkan sendiri atau mungkin pernah dan seringkali kita alami sendiri, perbuatan jahat semacam apa yang dapat dilakukan oleh orang-orang yang “tidak takut berbuat dosa” atau yang “Berbuat dosa, siapa (yang) takut?”. Tiada lagi kontrol diri. Tiada lagi pengendalian diri. Tiada lagi “ahimsa”. Tiada lagi saling menghormati ataupun saling menghargai. Tiada lagi sifat “humanis”, namun yang ada ialah wajah-wajah “premanis”, “koruptis”, “hewanis”, serta “predatoris”. Tiada lagi sifat-sifat mulia seorang manusia yang membedakan mereka dari seekor hewan. Tiada lagi budi-pekerti terlebih etika kemanusiaan. Tiada lagi pembeda antara jiwa mereka dengan perilaku seekor iblis yang jahat dan busuk. Tiada lagi martabat sebagai seorang manusia, namun semata sebagai seorang pendosa. Tiada lagi harga diri, menjadi pendosa alih-alih sebagai seorang suciwan. Tiada lagi jiwa ksatria yang berani mempertanggung-jawabkan segala perbuatan buruknya, perbuatan-perbuatan buruk yang besar maupun yang kecil, tanpa terkrecuali.

Yang tidak dapat penulis terima diatas kesemua itu, ialah sikap mereka, para “agamais” tersebut, penuh oleh “standar ganda”. Dalam satu sisi mereka, para pendosa tersebut, senang dan tidak takut menyakiti orang lain. Namun disaat bersamaan, mereka menolak disakiti oleh orang lain. Pada satu sisi mereka, para pendosa demikian, dengan rasa senang hati menipu orang lain. Namun disaat bersamaan, mereka akan merasa marah dan tidak terima ketika terkena tipu para penipu lainnya. Pada satu sisi, para pendosa yang sama, gemar melukai orang lain dan lari dari tanggung jawab terhadap kondisi korbannya serta bersikap “mau menang sendiri” disamping “mau enaknya sendiri”. Akan tetapi disaat bersamaan, para pendosa tersebut menolak serta reaktif sedemikian rupa ketika dilukai oleh pihak lain, bahkan melakukan pembalasan dendam secara lebih sadistik.

Ibadahnya para umat pemeluk “Agama SUCI”, ialah berbuat kebaikan dan menjadi suciwan. Ibadanya umat dari “Agama DOSA”, ialah berbuat dosa dan ritual “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”. Segala bentuk ketiadaan rasa malu maupun rasa takut untuk berbuat dosa, terdapat justifikasi serta legitimasinya secara dogmatis lewat “Agama DOSA” yang bersumber dari sebuah “Kitab DOSA” (alih-alih “Agama SUCI” yang bersumber dari “Kitab SUCI”), dalam beberapa kutipan berikut:

- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka."

- “Pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta kaki mereka.”

- Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”

- “Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah seluruh jari mereka.”

- “Perangilah mereka, niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”

- “Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”

- Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”

- “Bunuhlah orang-orang ... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”

Seolah-olah, Tuhan telah pada satu sisi menciptakan neraka sebagai ancaman sanksi hukuman bagi para pendosa, akan tetapi pada sisi lainnya menawarkan maksiat ataupun perbuatan buruk-jahat-tercela lainnya, dan diantaranya Tuhan menawarkan pula iming-iming “janji-janji surgawi” bernama “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”. Maka, jelas menjadi merugi, bila seseorang umat pemeluknya memilih untuk menempuh jalan kesucian maupun jalan “ahimsa”. Menjadi orang-orang suci-bersih-baik justru tidak mendapatkan insentif, akan tetapi mendapatkan dis-insentif semata menjadi “mangsa empuk” para pendosa (para “agamais” yang haus dosa maupun haus darah).

Di mata orang-orang “korup” serta para kalangan pendosa, jelas saja bila tidak memanfaatkan seoptimal mungkin tawaran berupa iming-iming “janji-janji surgawi” semacam “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, jadilah rambu-rambu moralitas maupun etika kemanusiaan hingga semangat “humanis” menjadi barang langka di dunia manusia yang kian dijauhi dan kian sepi peminat. Bahkan, “Tuhanis” menjadi identik dengan “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, dimana faktanya hanya para pendosa yang membutuhkan kecurangan penuh keserakahan semacam “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.