(DROP DOWN MENU)

Kiat Menghadapi Orang yang Suka Memaksa Saat Berbicara bagai Interogasi, Seolah Kita Tidak Punya Hak untuk DIAM dan MENOLAK BICARA / DIGANGGU

ARTIKEL HUKUM

HAK UNTUK DIAM (dan UNTUK TIDAK DIGANGGU) ADALAH HAK ASASI MANUSIA

SERI SENI HIDUP : Jangan Pernah Bersikap Seolah-Olah Kita Hanya Dibolehkan Menjadi “MR. NICE GUY”, Bersikaplah Seolah-Olah Selalu Punya Pilihan Bebas untuk Memilih dan Dipilih, Termasuk Opsi Pilihan untuk menjadi seseorang yang Bukan “MR. NICE GUY” serta bebas dari perbudakan ataupun penjajahan mental oleh sesama anak bangsa.

MIRANDA RIGHTS : “You have the right to remain silent. Anything you say can and will be used against you in a court of law.”

Selamat datang pada kurikulum “Universitas Kehidupan” dalam kesempatan edisi “seni komunikasi” ini, dengan topik bahasan yang akan sangat berfaedah bagi para pembaca dan para pembelajar “Kehidupan”, mengingat sifat kedekatannya dengan kehidupan kita sehari-hari untuk kita terapkan langsung keterampilan praktis berikut. Bangsa Indonesia ialah “bangsa PREMANIS” yang kerap bersikap gemar memaksa, dalam segala hal dan segala aspek, tanpa mau menyadari maupun menghormati hak-hak warga lainnya untuk bersikap bebas dan membuat pilihan bebas atas hidupnya sendiri—singkat kata, sifat-sifat ekploitatif dan manipulatif sangat kental dalam berbagai gaya tutur-kata komunikasi maupun sikap perilakunya terhadap sesama anak bangsa, seolah-olah martabat dirinya seorang yang lebih tinggi daripada harkat dan martabat orang lain, sekalipun secara hukum seluruh warganegara ialah sederajat dan terlahirkan sederajat adanya di mata hukum tanpa adanya “kasta” ataupun kelas sosial.

Dalam segala hal, anasir-anasir pemaksaan dalam wujud intimidasi, eksploitasi, hingga manipulasi, terjadi dalam segala aspek bahkan hingga tataran paling mendasar seperti berkomunikasi yang menjadi menjelma menyerupai sebuah “interogasi” alih-alih dialog dua subjek hukum yang saling sederajat dan mandiri—alias tiada penghormatan terhadap lawan bicara. Sering kali, kita dibuat berbicara dan menjawab bukan atas dasar kehendak bebas kita, namun dipaksakan untuk berbicara dan menjawab, yang sangat menyerupai pen-dikte-an secara satu arah tanpa menyisakan ruang bebas bagi kita untuk membuat pilihan lain seperti untuk diam dan tidak bicara serta tidak menjawab. Yang tidak menjawab, disebut “tidak sopan” dan “sombong”—seolah-olah yang memaksakan kita untuk berbicara dan menjawab, ialah “sudah sopan” dan “tidak bak diktator-otoriter yang minta dihormati”.

Orang-orang Indonesia ialah masyarakat yang sangat “irasional” disamping “arogan”, dengan tidak logis, seolah merasa dirinya seorang lebih berhak mendikte serta mengatur orang lain untuk diam ataupun untuk berbicara, seolah-olah warganegara lainnya ialah “budak jajahan” sementara sang pendikte bersikap bak “penjajah”—sangat menyerupai “dalang”, komunikasi dua arah namun dimainkan oleh semata satu pihak secara linear dan mendominasi.

Seringkali, penulis bahkan sampai harus melontarkan argumentasi sebagai berikut—yang mana sangat membuang-buang waktu untuk menghadapi orang-orang “tidak logis” yang “tidak etis” semata karena daya pikir “primitif ala bar-bar” yang mereka pelihara, dimana sejatinya dapat mereka pikirkan dan sadari sendiri alih-alih sampai harus merepotkan kita untuk memberitahukan mereka tentang apa itu “etika komunikasi” paling mendasar:

Memangnya Anda siapa, Polisi? Seorang Tersangka saja punya hak untuk diam ketika didatangi polisi, memangnya Anda itu siapa ingin merampas kedaulatan, kemerdekaan, serta hak atas kebebasan saya, serta mengharuskan saya untuk bicara dan meladeni kemauan ataupun interogasi Anda? Sikap Anda mirip dan tidak ubahnya seorang PENJAJAH! Kamu itu seorang PENJAJAH, ya? Sejak kapan juga, saya bersedia menjadi jajahan kamu? Justru penjajahan seperti sikap Anda itu harus DIPERANGI, karena TIDAK BERADAB, itulah perintah Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia!

Mungkin kita berasumsi (baca : ber-“delusi”) bahwa dengan meladeni apa kemauan orang lain saat “menginterogasi” kita (gaya komunikasi searah yang eksploitatif yang sejatinya berbahaya dan membuat kita “rentan” karena mereka berbicara tanpa menaruh sikap hormat terhadap kita selaku lawan bicara, bukan tipe teman berbincang yang layak untuk diajak berdialog dua arah), maka kita tidak akan lagi diganggu oleh berbagai sikap-sikap memaksa yang mengganggu dan bagaikan “suara dengung nyamuk pengganggu” yang senantiasa menghantui kita karena di-cecar serta pemaksaan yang sifatnya seolah diri kita ditempatkan sebagai seorang Tersangka pada ruang interogasi lengkap dengan alat-alat siksa yang memaksa kita untuk berbicara.

Namun, dari pengalaman pribadi penulis, menuruti apa yang menjadi segala kemauan lawan bicara yang tidak menempatkan dirinya secara sederajat dan sama tinggi dengan kita, seolah harkat dan martabat diri kita lebih rendah daripada mereka, selalu membawa kita pada muaranya berupa “menyesal sendiri di kemudian hari” semata karena belum tentu serta tiada jaminan lawan bicara kita yang bergaya “memaksa” demikian memiliki itikad baik terhadap kita, disamping fakta bahwa serentetan demi rentetan pertanyaan bernada mendikte dan memaksa akan kian intens seolah “mencandu” oleh yang bersangkutan, dimana juga kian hari sikapnya kian melecehkan, kian eksploitatif, kian intimidatif, kian interogatif, disamping kian “besar kepala” dan tidak lagi mampu menunjukkan sikap hormat dan penghargaan terhadap hak-hak lawan bicara yang merasakan betapa hak atas kemerdekaan berpikir serta bersuara dan kebebasannya telah terpasung. Etika komunikasi yang buruk, adalah cerminan “Emotional Quotient” (EQ) yang tumpul, sehingga dapatlah kita sebutkan pula bahwa rata-rata masyarakat Indonesia memiliki EQ yang derajat serta tingkatnya pada tataran level yang memprihatinkan.

Berkomunikasi serta diajak berbicara atau ketika orang yang masih asing (tidak dikenal) bersuara meminta (seringkali bernada menuntut) kita untuk berbicara, terutama bila itu ialah bersumber dari Orang Indonesia, selalu tidak pernah membuat kita nyaman. Mengapa? Karena gaya berkomunikasi Orang Indonesia selalu menampilkan corak ragam yang pada pokoknya ialah eksploitatif, manipulatif, serta intimidatif seolah-olah kita sebagai lawan bicara ditempatkan dan didudukkan tidak secara sederajat, seolah-olah diri mereka lebih tinggi harkat dan martabatnya (cerminan tidak menaruh hormat dan penghargaan terhadap kita selaku sesama warganegara yang sederajat di mata hukum), alias singkat katanya secara “interogatif” (sehingga terdapat seorang “interogator” dan seorang “ter-interogasi”) dimana kita akan dipersalahkan hingga di-caci-maki ketika memilih untuk tidak memberi tanggapan, tidak memberi jawaban yang mereka inginkan, atau saat kita memilih untuk tidak menghiraukan mereka sama sekali—sekalipun sejatinya tidak jarang mereka yang tanpa “sadar diri” justru telah mengganggu aktivitas, konsentrasi, serta ketenangan hidup kita.

Karenanya, penulis selalu menggaungkan dalam berbagai kesempatan, bahwasannya “hak untuk diam” (the rights to remain silent, Miranda Principle) adalah HAK ASASI MANUSIA itu sendiri yang tidak dapat dirampas oleh warga lainnya oleh alasan apapun, mengingat kita harus melawan praktik-praktik perbudakan dan penjajahan yang menjadi musuh dari bangsa beradab, terutama praktik penjajahan dan perbudakan oleh sesama anak bangsa. Penyiksaan, adalah salah satu bentuk pemaksaan, karenanya bentuk-bentuk pemaksaan apapun, selalu adalah penyiksaan bagi lawan bicara yang sedang dijadikan objek interogasi—dimana interogasi senyatanya ialah bentuk-bentuk eksploitatif dan manipulatif. Kesemuanya ialah satu rangkaian yang tidak pernah saling terpisahkan, membentuk pola yang unik dan khas dari pemaksaan verbal maupun non-verbal, baik terang-benderang maupun terselubung adanya.

Karenanya pula, Bangsa Indonesia masih jauh dari kata beradab, terlebih untuk disandingkan dengan peradaban Bangsa Barat, sekalipun Bangsa Indonesia mengklaim sebagai “bangsa AGAMAIS” (yang ternyata jauh dari sifat-sifat Ketuhanan, dimana Kemanusiaan pun tidak tampil sebagaimana mestinya). Tidak perlu menyebutkan tentang “MIRANDA RIGHTS” ketika menghadapi seorang pembicara yang arogan dan pemaksa, karena Orang Indonesia BELUM BERADAB, alias MASIH BIADAB—sehingga adalah percuma menyebutkan konsep-konsep berperadaban tinggi terhadap bangsa dengan peradaban masih rendah.

Para pembaca boleh percaya boleh juga tidak, sering terjadi dan penulis alami secara langsung, ketika orang-orang Indonesia berbicara dalam bentuk kalimat tanya namun dengan gaya intonasi maupun nada suara yang penuh kesan pemaksaan (eksploitatif, manipulatif, serta interogatif) seolah-olah penulis ialah seorang pencuri, tersangka, ataupun buronan sekalipun sang pembica / penanya ialah “tamu asing tidak dikenal” sementara penulis notabene adalah “tuan rumah” yang tidak memiliki kewajiban untuk diganggu, namun penulis diancam akan dianiaya (di-intimidasi) semata karena penulis tidak bersedia bicara dan diinterogasi dalam arti yang sesungguhnya.

Kejadian pemaksaan verbal demikian bukanlah satu atau dua kali terjadinya, namun kerap berulang-kali terjadi oleh pelaku yang berbeda (masih oleh orang-orang Indonesia), sehingga tidaklah dapat kita sebut sebagai ulah segelintir “oknum”, namun lebih mengarah pada budaya atau kultur masyarakat Indonesia, yang konon mengaku sebagai bangsa yang penuh sopan-santun dan tata-krama.

Kita dipaksa untuk benar-benar mengandalkan serta menggunakan kecerdasan serta keterampilan kita dalam berargumentasi menghadapi manusia-manusia “Made in Indonesia” yang karena menyandang “akal sakit milik orang sakit” yang sangat “tidak logis” disamping “irasional”, semata agar kita tidak menjadi korban karena dianiaya oleh masyarakat Indonesia yang gemar “menyelesaikan segala sesuatunya dengan cara bermain kekerasan fisik dan intimidasi”, agar mereka mulai “buka mata” dan menjadi “malu sendiri” karena tidak mampu mendebat alih-alih terpancing libido birahi mereka yang tidak terkontrol untuk bermain kekerasan fisik semata karena merasa dirinya selama ini yang telah dan paling benar.

Buatlah lawan bicara Anda yang pemaksa tersebut (Orang Indonesia), agar menjadi “malu sendiri” lewat argumentasi tanggapan kita yang cerdas, dengan demikian potensi “kekerasan fisik” oleh mereka setidaknya akan sedikit berkurang meski tidak menjadi nihil sama sekali—mengingat acapkali menghindari dan bersikap diam justru akan dianggap sebagai melecehkan mereka yang tampil bak “PENJAJAH” dimana kita dipandang sebagai “budak” semata yang harus menuruti segala perintah mereka untuk berbicara dan melayani segala kemauan mereka untuk ditanggapi (minta dihormati dan dituruti, pendiktean itu sendiri). Mental “PENJAJAH” sangat kental mewarnai gaya bicara orang-orang Indonesia, membuat kita selaku lawan bicara tidak pernah benar-benar merasa nyaman berbincang secara tatap-muka langsung dengan mereka.

Pastilah diantara para pembaca pun pernah mengalami hal serupa, dimana kita sebenarnya ingin diam tidak membuka informasi terkait “hak privasi” (privacy rights) kita, namun tidak perlu-lah bagi kita untuk menyebut perihal “hak privasi” kepada orang-orang Indonesia (karena masih terbelakang, tidak akan paham mengenai konsep-konsep yang lebih beradab seperti “hak untuk diam” terlebih “hak privasi”). Namun sang penanya atau pembicara yang bernada memaksa dan interogatif demikian, terus saja mengulang-ulang dan men-cecar kita bagai seekor elang yang hendak menerkam dan memakan kita hidup-hidup sehingga sejatinya sangatlah membuat kita tidak nyaman serta merasa terganggu—cerminan gaya komunikasi yang sarat tidak mencerminkan EQ, semata karena “miskin empati”.

Seringkali penulis turut terpancing emosi, karena merasa diperlakukan tidak adil disamping “terzolimi” karena didudukkan sebagai seorang “budak” (praktik perbudakan), ketika orang lain entah itu orang dikenal maupun orang asing yang bahkan sama sekali tidak kita kenal, memaksa kita untuk berbicara dan menjawab seolah-olah kita tidak punya hak untuk tidak diganggu atau setidaknya hak untuk diam dan menolak untuk menjawab. “DITANYA, KOK MALAH DIAM, KAMU ITU TULI YA? JAWAB!

Bentakan melecehkan dan merendahkan martabat semacam demikian, bukanlah lagi “barang baru” di telinga penulis yang sama sekali tidak punya kewajiban hukum untuk meladeni sesama warga sipil demikian, bahkan seorang Penyidik Kepolisian pun tidak punya hak untuk mengintimidasi seorang Tersangka. Dalam hati selalu penulis mengumpat, “SIAPA ELU?!”, sebelum akhirnya terjadi “perang urat saraf”, dimana lagi-lagi yang mencuat ke permukaan ialah kebiasaan Bangsa Indonesia yang sangat khas, yakni : “menyelesaikan segala masalah dengan cara ANCAMAN dan KEKERASAN FISIK”. Pola demikian sangat kentara dapat kita jumpai dimana pun kita berada di Indonesia, karenanya dapat kita sebut sebagai budaya masyarakat Indonesia, bukan lagi tuduhan maupun tudingan semata.

Pernah terjadi, pada suatu siang di halaman depan kediaman rumah keluarga penulis, penulis sedang fokus pada kesibukan menyapu halaman depan rumah, sebelum kemudian datang seorang pria bertampang preman yang ternyata berperilaku benar-benar “premanis” (menurut kriminolog bernama Lambroso dari Italia, wajah preman sangatlah khas “preman”, tampaknya benar adanya), dengan motornya berhenti di depan rumah penulis, bertanya dengan tanpa memperkenalkan diri dan tanpa juga mengucap basa-basi seperti “selamat siang”, “mohon maaf mengganggu” (dimana kita dapat menanggapi “tidak dimaafkan”), “permisi” (dimana kita dapat memberi tanggapan “tidak diizinkan”), dsb, (katanya Bangsa Indonesia adalah bangsa yang tahu sopan-santu dan tata-krama, namun etika komunikasinya ternyata senantiasa bak “aroganis”), apakah kediaman rumah penulis adalah “X”, penulis jawab “Bukan” dan kembali menyapu agar dapat lekas menyelesaikan tumpukan tugas dan kesibukan lainnya untuk diselesaikan siang itu.

Adalah sebentuk kecurangan, ketika seseorang memilih memakai strategi tidak mengucapkan permohonan “izin” untuk meminta informasi, namun semata seketika itu juga sekonyong-konyong tanpa sopan-santun melontarkan pertanyaan (bertanya) dan meminta jawaban berupa keterangan ataupun informasi dari seseorang yang ditanya olehnya, seolah-olah dirinya tidak butuh “diberi izin” dan yang ditanya tidak punya hak untuk “tidak memberi izin” oleh sebab sang penanya sejak semula tidak pernah “meminta izin” untuk mengganggu, untuk menyita waktu, serta untuk mendapat keterangan ataupun informasi dari kita. Terhadap modus gaya bicara manipulatif demikian, dapatlah kita memberit tanggapan sebagai berikut : “Kapan kamu minta izin untuk berbicara pada saya? ... TIDAK SAYA IZINKAN!

Ingatlah selalu, berbuat baik namun tanpa perlu menjelekkan diri sendiri, demikian pesan Sang Buddha. Berikan “punishment” kepada orang-orang yang bersikap tidak patut terhadap kita (setidaknya dengan cara tidak bersikap kooperatif), alih-alih memberikan “reward” (dengan selalu menuruti dan mengikuti arah setir) atas sikap mereka yang tidak patut demikian, dalam rangka bersikap adil terhadap diri kita sendiri. jadilah pengacara dan “defender” alias “pembela” bagi diri kita sendiri—dimana dapat kita latih keterampilan demikian agar lebih terlatih dan terasah dalam menghadapi orang-orang Indonesia yang sangat-amat “tidak logis” disamping “irasional” yang akut.

Namun sang “interogator” kembali bertanya, “Rumahmu ini nomor berapa?” Pertanyaan demikian ialah pertanyaan yang menyerempet “hak privasi” penulis selaku tuan rumah sekaligus warga pemukim, tidak semestinya diajukan dan adalah tabu ditanyakan kepada Bangsa Barat—sayangnya, ini adalah Indonesia, dimana bangsanya belum beradab. Akanlah lebih elok, bila sang penanya bertanya, rumah nomor “X” ada di manakah? Namun ini berbeda, sang “preman” penganut agama “main otot” tersebut kemudian menjadi murka, dan menantang berkelahi semata karena penulis tidak mengacuhkan “interogasi” sang “perman bak interogator” (dengan cara tidak menghiraukan) serta kembali pada aktivitas menyapu halaman rumah.

Alih-alih melakukan introspeksi diri mengapa penulis tidak bersedia diganggu oleh sikapnya yang tidak menampilkan sopan-santun di atas tanah Nusantara yang Ketimuran ini, sang “muka preman” justru seketika itu juga membentak penulis : “KAMU ITU, KALAU DITANYA MAKA DIJAWAB!” terdapat nada perintah yang mengharuskan. Emosi penulis tersulut karena diposisikan sebagai “budak” : “MEMANGNYA ANDA ITU SIAPA, POLISI? MENGATUR-NGATUR DI SINI, SAYA INI TUAN RUMAH DI SINI, ANDA ITU TAMU YANG SEDANG BERTAMU. ALIH-ALIH MEMPERKENALKAN DIRI, JUSTRU Anda MERASA BERHAK MEMAKSA DAN INTEROGASI TUAN RUMAH? JADI, TUAN RUMAH YANG HARUS IKUT ATURAN MAIN DAN KEHENDAK SERTA SEGALA KEINGINAN TAMU YANG TIDAK TAHU SOPAN-SANTUN? HAK APA ANDA UNTUK MEMAKSA SAYA BICARA SEOLAH SAYA INI SEORANG TERSANGKA? KEWAJIBAN APA BAGI SAYA UNTUK MAU DIGANGGU OLEH ANDA YANG TELAH MENGGANGGU SAYA? SEKARANG JAWAB, SIAPA NAMA KAMU? BERAPA NOMOR KARTU TANDA PENDUDUK KAMU? DIMANA KAMU TINGGAL? BERAPA NOMOR RUMAH KAMU? KAMU PERNAH SELINGKUH PADA SIAPA SAJA? ANDA TELAH MENGGANGGU PEKERJAAN SAYA, MAKA SEKARANG ANDA HARUS MINTA MAAF PADA SAYA!

Hampir terjadi kericuhan dan aksi kekerasan fisik akibat sikap memaksa sang penanya yang tersulut akibat balasan dan respons dari penulis yang dipaksa bersuara (karena sejak semula tidak mau bersuara, akhirnya dipaksa bersuara, wajar bila keudian terjadilah “ledakan emosi”), semata karena postur tubuh penulis yang jauh lebih kecil daripada tubuh sang preman—yang tidak tahu malu jika mencoba menganiaya penulis yang dalam sehari hanya makan sebatas dua kali makan [uposata] terlebih mengeroyoki penulis, betapa pengecutnya, meski faktanya terjadi secara masif oleh masyarakat Indonesia terhadap diri penulis yang kerap menjadi korban penganiayaan dan pengeroyokan oleh sesama warga Indonesia, baik oleh “preman kulit hitam (pribumi)” maupun “preman kulit putih (etnis keturunan)”. Sifat dan sikap premanisme, ternyata tidak mengenal ras warna kulit, baik warga pribumi maupun etnik keturunan di Indonesia, selama masih “Made in Indonesia”, maka pola watak karakternya ialah seragam adanya (kultur bangsa). Tanpa bermaksud berlebihan, itulah faktanya, selamat datang di Indonesia, yang harus penulis akui bahwa “tidak patut dicintai”.

Cobalah Anda tebak, siapakah yang kemudian berhak untuk menyebut kata “penghakiman” sebagai “orang yang tidak sopan”, terhadap sang tamu ataukah terhadap sang tuan rumah? Faktanya, sang “premanis” dalam kejadian di atas, yang justru kemudian memaki penulis sebagai “orang yang tidak sopan”. MEMANG! Untuk apa juga sopan terhadap orang yang tidak tahu sopan-santun—asas resiprositas, balas ketidak-sopanan dengan ketidak-sopanan serupa sebagai pantulan cermin yang patut diberikan sebagai tanggapan yang adil dan setara sebagai “punishment” yang patut.

Sungguh selalu meletihkan disamping menguras emosi, menghadapi gaya-gaya bicara manusia “Made in Indonesia”, dimana pun itu adanya, dalam komunitas apapun, dalam umur apapun, dalam latar-belakang profesi dan pendidikan apapun, ragam corak karakternya selalu serupa dan sewarna, yakni diwarnai “pemaksaan, eksploitatif, serta interogatif” (serta selalu pula disertai ancaman kekerasan fisik sebagai intimidasinya) yang sangat tidak menaruh hormat maupun penghargaan terhadap “hak privasi” dan “hak untuk diam” disamping “hak untuk tidak diganggu” serta “hak untuk menjaga dan menentukan diri sendiri” (the right of self determination) lawan bicara—yang sayangnya dan kabar buruknya, keseluruh konsep peradaban tinggi tersebut adalah terlampau tinggi untuk dapat dicerna oleh “otak kerdil” milik manusia “Made in Indonesia”.

Sungguh, tiada yang lebih meletihkan ketika berbicara ataupun diajak berbicara oleh orang-orang Indonesia, dimana penulis tidak pernah merasa nyaman berbicara dengan orang Indonesia, “bangsa PEMAKSA”—semata disebabkan tiadanya sikap saling menghormati dan saling menghargai harkat dan martabat satu sama lain antar lawan bicara. Bangsa Indonesia ialah bangsa yang perlu diberikan pendidikan perihal “etika komunikasi”. Namun, berkat kecanggihan teknologi, kita dapat seketika “BLOKIR” penanya ataupun pembicara yang tidak menaruh sikap hormat terhadap kita selaku lawan bicara, sekalipun pembicaraan ataupun pertanyaan secara tatap-muka tidak dapat selalu kita hindari tatkala harus beraktivitas di luar rumah.

Mengapa juga, untuk tataran komunikasi via aplikasi digital, tidak pernah disebutkan bahwa melakukan “BLOKIR” ialah “tidak sopan”, namun selalu dianggap dan dihakimi sebagai “tidak sopan” bila itu terjadi dalam tatanan “tatap muka”? Bahkan, yang kita “BLOKIR” dapat kita sebut sebagai “tidak sopan” semata karena telah menyalah-gunakan nomor kontak kerja atau pribadi kita serta telah mengganggu waktu atapun kesibukan / ketenangan maupun waktu istirahat kita (spam dan spammer). Itulah bukti, betapa “irasional” dan “tidak logis” akal (sakit) milik masyarakat Indonesia.

Kini penulis mencoba memperkenalkan satu “mindset” alias pola-pikir baru untuk kita latih serta terapkan dalam kehidupan sehari-hari, serta untuk dikembangkan, yang penulis rumuskan sebagai berikut : Jangan pernah bersikap seolah-olah hanya dibolehkan menjadi “MR. NICE GUY. Sebaliknya, bersikaplah seolah-olah selalu punya pilihan bebas untuk memilih dan dipilih alias membuat pilihan bagi diri kita sendiri secara bebas sebagai manusia serta individu yang merdeka dan bebas dari segala jenis perbudakan manusia lainnya.

Singkatnya, jadilah manusia yang MERDEKA dan BEBAS, tanpa membiarkan siapapun merampas kemerdekaan dan kebebasan kita untuk membuat pilihan bagi diri kita sendiri. Bersikaplah “SEOLAH-OLAH kita selalu punya pilihan bebas”, dengan demikian alam semesta dan mental kita akan mendukung terwujudnya karakter yang kuat dan teguh karena berdaya untuk memilih dan membuat keputusan bagi diri kita sendiri. Dengan benar-benar sepenuhnya memiliki mental yang bebas dan merdeka dari penjajahan, barulah kita dapat menjadi serta bersikap “berdaya” alias “penuh daya tawar”.

Pernah dan bahkan tidak jarang terjadi, seseorang tamu tidak dikenal menghubungi nomor telepon kerja penulis, kemudian alih-alih memperkenalkan diri ataupun menyebutkan dari mana dirinya mendapat nomor kontak profesi penulis, justru mengajukan pertanyaan “super KONYOL” (yang mungkin hanya akan kita jumpai di Indonesia) sebagai berikut : “Halo, kamu siapa?” atau seperti “Halo, saya sedang bicara dengan siapa?

Terkejut mendapati tuan rumah justru di-“interogasi” layaknya Tersangka oleh Polisi, penulis menjawab balik dengan respons yang tidak perlu secara bernada ramah, sebagai berikut : “Lucu sekali, apa tidak salah itu pertanyaan? KAMU YANG SIAPA?” Alih-alih menyadari kekeliruannya dalam bertata-krama sekalipun telah dewasa dan bahkan dari riak suaranya tampak telah berusia paruh baya, sang penelepon justru kemudian memaki penulis sebagai “(tuan rumah yang) tidak sopan”.

Sehingga, sebagai kesimpulan yang dapat kita tarik dari pengalaman demikian ialah, ternyata budaya di Indonesia ialah sang tuan rumah yang harus memperkenalkan diri kepada tamu asing tidak dikenal dan tidak diundang? Kultur yang “tidak logis” serta “tidak masuk diakal”, khas “akal sakit milik orang sakit” Bangsa Indonesia. Orang jenius, tidak akan pernah mampu menerima ataupun memahami akal orang-orang “dungu”—begitu pun sebaliknya. Karenanya pula, antara orang “dungu” dan orang “jenius”, tampaknya memang dikodratkan untuk TIDAK AKAN PERNAH “NYAMBUNG”.

Pengalaman-pengalaman demikian dapat penulis pastikan pernah atau sering pula para pembaca alami sendiri secara langsung selama hidup dan menetap di Indonesia, ditengah masyarakat Indonesia yang benar-benar menyerupai “homo homini lupus” dimana manusia menjadi serigala bagi sesamanya, dimana orang-orang baik kerap menjadi “mangsa empuk”, seolah adalah dosa bila orang-orang baik dibiarkan tanpa diganggu dan tanpa di-“makan”. Suatu bangsa yang “agamais” (baca : yakin masuk surga sekalipun menimbun diri dengan segunung Karma Buruk), namun dengan “kapasitas otak yang kerdil”, “tidak malu berbuat jahat”, disamping “tidak takut berbuat jahat”—suatu watak serta karakter yang khas menjadi ciri-khas manusia “Made in Indonesia”.

Tidak perlu pula merepotkan diri mengancam akan adanya buah Hukum Karma bagi Orang Indonesia, oleh sebab jangankan perihal Hukum Karma, malu dan takut berbuat jahat pun sama sekali tidak. Bangsa Indonesia ialah bangsa yang “kebal”, “kebal dari malu” serta “kebal dari rasa takut” berbuat kejahatan. Itulah definisi “agamais” yang berlaku khusus di Republik Indonesia, jauh dari watak “Kemanusiaan” terlebih “Ketuhanan”, mengingat praktik pada tataran paling sederhana, yakni komunikasi, ternyata diwarnai aksi perbudakan dan pemaksaan yang sangat melukai hak-hak asasi manusia lawan bicara yang mana juga sebetulnya tidak perlu sampai diajarkan lewat artikel yang merepotkan proses pengerjaannya ini dimana sejatinya dapat dipikirkan sendiri oleh manusia dewasa yang masih memiliki “otak dan nurani”.

Karena itulah, antara IQ, EQ, dan SQ, tidak pernah dapat dipisahkan satu sama lain, dimana ketiganya selalu adalah satu paket alias “satu kesatuan” kecerdasan yang sama adanya tanpa pernah terpisahkan satu sama lainnya. IQ yang rendah, dapat dipastikan memiliki EQ dan SQ yang juga turut sama rendahnya pada diri orang tersebut. Disebut sebagai manusia “ignorant”, ialah ketika dirinya memiliki IQ yang dangkal, namun merasa dirinya memiliki EQ dan SQ yang tinggi.

Secara singkat, terdapat tiga metode tanggapan singkat bila kita dan para pembaca tidak bersedia membuang-buang banyak waktu dan energi yang menguras energi mental untuk bantah-membantah dan debat-mendebat dengan mereka para “premanis” pemaksa tersebut, yakni opsi tanggapan atau respons sebagai berikut:

- Diamkan (be SILENT), tidak perlu ditanggapi ataupun diberikan tanggapan apapun. Bila sang pembicara / penanya kemudian menjadi murka sendiri seolah dirinya adalah seorang PENJAJAH yang seolah merasa berhak untuk memaksa kita berbicara bagai sedang menginterogasi (atas hak apa baginya, dan atas kewajiban apa bagi kita?), merasa tersinggung semata karena “ego” libido untuk “menjajah” (baca : minta dihormati), kemudian memakai kekerasan fisik untuk menyakiti dan memaksa kita sebagai wujud intimidasinya, maka bila sistem aduan pidana di Kepolisian tiada jaminan akan ditanggapi ataupun ditindak-lanjuti, biarkan Hukum Karma yang bekerja sebagai hakim serta eksekutornya, dan cukuplah kita menjadi tahu untuk tidak berkawan ataupun berdekatan dengan orang-orang “mental primitif” demikian disamping mulai sebisa mungkin menjaga jarak setiap kali terdapat keberadaaan mereka. Yang semestinya takut ialah mereka yang berbuat jahat, karena sama artinya menanam Karma Buruk bagi dirinya sendiri. Sementara bila kita tidak berbuat kesalahan, akan tetapi tetap juga dianiaya semata karena kita memilih untuk “diam” (remain silent), maka anggap saja Karma Buruk kita sedang berbuah dan mengambil pelajaran untuk tidak menjelma menyerupai salah satu orang-orang “pemaksa” tersebut ketika berkomunikasi dengan lawan bicara serta menaruh hormat kepada lawan bicara untuk memilih berbicara atau untuk “diam dan bungkam seribu bahasa” sebagai hak asasi manusia lawan bicara;

- Jawab dengan nada tegas (meski tanpa harus menjadi “agresif”), tanpa menyisakan nada suara keraguan ataupun ketakutan apapun (ingat, adalah delusi bila bahwa Anda berasumsi bahwa dengan bersikap “takut-takut” maka Anda akan diberikan sikap baik hati oleh orang lain yang sejak semula bisa jadi berniat “memakan Anda hidup-hidup”) : “Saya TIDAK MAU JAWAB, itu jawaban saya.”; atau

- Jawab dengan nada tegas, lugas, dan berani (meski tidak sampai harus “agresif”), disertai sorot mata yang tajam langsung ke arah sepasang mata sang pemaksa : “Jika saya TIDAK BERSEDIA MENJAWAB, kamu mau apa, mau pukul saya, mau main kekerasan fisik? Atas dasar hak apa, Anda memaksa saya bicara dan menjawab? Atas dasar kewajiban apa, saya harus menjawab dan memuaskan Anda? Kamu TIDAK PUNYA HAK UNTUK MENGGANGGU SAYA, DAN SAYA PUNYA HAK UNTUK TIDAK DIGANGGU! PAHAM?

Kontras dengan gaya komunikasi orang-orang yang ber-EQ “jongkok” dan “tiarap”, dua orang jenius yang berdialog tidak akan pernah sampai pada tataran paksa-memaksa ataupun perdebatan yang alot, seringkali dua orang jenius berdialog yang kemudian terjadi ialah mudah dan cepat mencapai saling kesepahaman, dimana masing-masing telah memiliki bekal argumentasi yang logis, karenanya tidak pernah akan meletihkan mental ketika para jenius saling berdiskusi satu sama lainnya bertukar pendapat dan pandangan, sebagaimana peribahasa Belanda yang menyebutkan : “Een goed verstaander heeft maar een half woord nodig”, yang bermakna : Orang yang pandai memahami, (cukup) membutuhkan separuh perkataan. Jika masih belum jelas, tahu berbuat apa yang diharapkan dari dia.

Orang-orang jenius, seketika sadar dan paham ketika lawan bicaranya memilih “bungkam seribu bahasa” sebagai bahasa non-verbal itu sendiri. Lawan bicara yang bungkam, adalah “perkataan sekaligus jawaban” itu sendiri, yakni bahasa non-verbal implisit yang menyatakan agar kita tidak lagi mengganggu dirinya atau bahwa dirinya merasa tidak nyaman dan merasa tidak aman melanjutkan perbincangan dan mengakhirinya. Cukup sampai disitu, jangan melanjutkan, agar tidak memalukan diri sang penanya itu sendiri ketika memaksakan, sehingga secara terpaksa lawan bicara yang mulanya memilih bungkam kini harus terpaksa melecehkan-balik sang penanya agar tidak terus-menerus diganggu : “Kamu bisa tidak, bila bicara dan bertanya tidak memaksa seperti itu?” suatu teguran-balik secara terpaksa, akibat lemahnya EQ sang penanya semula yang memaksakan lawan bicara untuk bersuara. Retaknya hubungan persahabatan, kerap kali bermula dari sikap-sikap komunikasi yang diwarnai “pemaksaan” tanpa adanya penghormatan terhadap lawan bicara.

Debat-mendebat, hanya mungkin terjadi terhadap kasus-kasus dimana keseluruh pihak yang berdialog tidak tergolong jenius. Se-jenius apapun seseorang, bila lawan bicaranya tergolong “dungu” dengan IQ yang rendah, maka tetap saja akan menjelma “debat kusir” yang meletihkan dan membuang-buang energi serta waktu—semata karena sang “dungu” tidak akan mampu memahami perkataan sang jenius dimana tidak jarang sang “dungu” pun tidak paham dengan kata-kata yang dilontarkan oleh mulutnya sendiri.

Orang-orang ber-IQ tinggi dapat dipastikan selalu memiliki EQ dan SQ yang juga tinggi, oleh sebab mereka memiliki simpati serta empati disamping daya berpikir yang logis, mau memahami dan mampu saling mengerti kondisi maupun situasi satu sama lainnya, sehingga cukup hanya “separuh kata”, tanpa perlu merepotkan diri debat-mendebat berkepanjangan terlebih “bermain otot”, semata karena telah logis, rasional, dengan akal yang sehat dalam membuat pendirian, penilaian, serta pendapat. Hanya orang-orang dengan “otak yang kosong” yang lebih kerap mengandalkan “main otot” (baca : kekerasan fisik).

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.